Di pagi hari yang indah ini, awan yang terlukis indah di langit dan matahari yang masih malu menampilkan keberadaannya.
Riski kali ini jantungnya berdetak kencang, pasalnya hari ini adalah pengumuman nilai ujiannya. Tapi Riski yakin bahwa ia telah menyelesaikan ujian itu dengan baik, hasilnya pun pasti akan baik.
Hasil kelulusan dan nilai akan di umumkan di sekolah. Bedanya adalah, kali ini seluruh murid di bebaskan dalam berpakaian, asalkan rapi dan sopan.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Riski sudah berjalan menuju sekolahan, karena di surat dituliskan akan di umumkan pukul 08.30 pagi. Riski mengenakan kaos berwarna putih, celana panjang berwarna hitam. Yap, celana tersebut adalah celana sekolah SMPnya. Riski juga mengenakan sepatu sekolah, apa boleh buat? Ia tidak memiliki celana yang bagus, sepatu yang berbeda untuk sekolah dan untuk bermain.
Tapi, Riski tak meghiraukan akan hal itu. Selagi tidak merugikan orang lain, ia tak apa jika memakai itu semua.
Saat berjalan, Ardhi datang dari belakang menggunakan motornya, "Ayo, bareng sama gue aja." katanya di sebelah Riski.
"Gue jalan aja gak masalah, Ar. Lo duluan gak papa." jawab Riski. Ia tak enak jika nebeng dengan Ardhi, Riski selalu tak ingin merepotkan orang lain. Selagi ia mampu, ya ia akan berusaha sendiri.
"Udah, naik aja." perintah Ardhi, dan Riski kali ini hanya nurut saja.
Setelah Riski naik, motor matic Ardhi melaju dengan cepat menuju sekolah.
Riski berpikir, padahal ia belum bisa mengendarai motor tetapi kenapa Joko akan membelikannya? Riski juga belum mempunyai Surat Ijin Mengemudi.
"Lo mau lanjut kemana, Ris?" tanya Ardhi dengan mengemudi motornya.
"Gue mau ke SMK kimia, Ar. Lo sendiri mau kamana?" jawab dan tanya balik Riski ke Ardhi.
"Gue mau masuk SMA, di suruh bokap. Padahal gue ingin ke SMK otomotif gitu, gue suka banget modif motor." jawab Ardhi.
Memang benar Ardhi suka modif motornya, motor yang ia kenakan sekarang aja super keren dengan hasil modifnya. Tapi, kenapa dengan bakat seperti itu, justru orang tuanya ingin menyuruhnya ke SMA? Bukankah orang tua seharusnya mendukung apa yang anak inginkan? Bukannya yang menjalani sekolah juga kita, bukan orang tua? Ah, menyebalkan. Mau membantah, kita juga takut untuk berdosa. Apalagi orang tua yang membiayai untuk sekolah.
Ardhi memarkirkan motornya di sekolah, karena untuk hari ini memang di perbolehkan membawa motor sendiri oleh pihak sekolah.
"Lo beneran ambil kimia?" tanya Ardhi kembali.
"Iya, gue ingin kerja soalnya. Menurut informasi yang gue baca sih banyak orang yang lulusan dari kimia itu langsung kerja." jelas Riski, di sisi lain Ardhi nampak tergoda dengan iming-iming Riski yang langsung bisa bekerja tanpa kuliah terlebih dahulu.
"Lo liat, dia adalah orang yang jual sayur keliling."
"Pantesan mukanya kayak sawi."
"Bau juga dia, bau amis dari ikan."
"Najis banget gue deket sama dia."
"Cowok, tapi jualannya sayur cuy."
Itu lah kata-kata yang Riski dengarkan kali ini, dari segerombolan orang yang duduk melingkar. Dan yang di tengah mereka adalah Daniel, teman sekelasnya.
Mungkin, ibu Daniel lah yang memberikan berita ini ke anaknya dan anaknya menyebarkan ke seluruh sekolah.
Daniel memang orang seperti itu, orang yang sok berkuasa di sekolah ini. Badannya yang besar, tubuhnya yang kuat menjadi orang yang di takuti di sekolah ini. Oh iya, Daniel juga ikut karate.
Ardhi menoleh ke arah Riski, ia cukup kasihan dengan temannya itu, "Udah, gak usah di dengerin mulut orang itu. Daniel emang gitu orangnya." kata Ardhi mencoba menenangkan Riski. Lagian, apa salahnya berjualan sayur keliling? Apa salah seorang cowok berjualan sayur? Apakah urusan sayur hanya perempuan yang di perbolehkan? Sungguh miris dengan pandangan orang seperti itu.
"Iya." jawab Riski singkat.
Lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan menuju kelas. Tentu di dalam kelas sudah banyak murid yang tak sabar menunggu nilai ujian mereka.
Ardhi duduk di sebelah Riski. Tak lama dari itu, wali kelas memasuki ruangan kelas. Bu Sari membawa beberapa lembar kertas.
Semua langsung terdiam ketika bu Sari masuk ke ruangan. Bu Sari memang terkenal dengan kegalakannya, tatapannya yang tajam, bicaranya yang kejam membuat murid ketakutan.
"Baik anak-anak, kali ini Ibu akan memberikan kalian hasil ujian nasional ya. Ini berurutan dari nomor absen pertama." tukas bu Sari, ia lalu membaca nomor absen urutan pertama adalah, "Endah, silahkan maju dan ambil ini." sambungnya.
Bu Sari memanggil satu persatu hingga saat ini udah di anak yang terakhir, Daniel.
Setelah mendapatkan edaran kertas, "Boleh di buka sekarang." kata bu Sari.
Riski membuka surat itu perlahan, "Astagfirullah." kata Riski kaget.
Ardhi yang di sebelahnya juga ikut kaget, "Kenapa lo? Berapa total nilai lo?" tanya Ardhi.
Riski memperlihatkan surat itu pada Ardhi, "Ya ampun, bagus banget nilai lo." ketus Ardhi, lalu Ardhi juga memperlihatkan hasilnya.
"Beda dikit lah sama lo, Ar." jawab Riski. Mereka berdua hampir memiliki nilai yang berbeda. Tetapi kenapa menurut Riski beda dikit?
"Beda dikit pala lo peyang, gue matematika dapet nilai 3. Lo dapet 8, beda 5 itu jauh cuyy." tukas Ardhi.
Riski tersenyum, tetapi ia bukan berniat menghina Ardhi, "Iya kan cuma beda 5. Dikit lah itu, jari gue yang kiri ini aja jumlahnya juga 5."
Ardhi tertawa dengan penjelasan Riski.
Bu Sari lalu berbicara ketika semua murid sudah mengetahui hasilnya, "Baik anak-anak, peringkat 1 yang terbaik di kelas ini adalah Riski. Kasih tepuk tangan untuk Riski. Kalo seluruh murid di SMP, Riski masuk 5 besar." jelas bu Sari.
Semua murid bertepuk tangan hebat, kecuali Daniel. Ia seolah malu dengan perbuatannya, ia hanya bisa diam karena nilai ujiannya sangat jauh dengan milik Riski. Tetapi, itulah kehidupan. Orang yang suka mencaci maki biasanya tak lebih baik dari yang di caci maki.
Maka, pelajaran yang dapat diambil adalah jangan menghina seseorang terlebih dahulu jika belum mengetahui kebenarannya. Karena jika kita melihat dari satu sisi, itu keliru. Teman-teman Daniel yang lain juga merasa bersalah, ia semua malu akan hal ini. Ia mengira bahwa Riski akan mendapatkan nilai yang buruk karena sibuk bekerja. Ternyata tanggapan mereka semua salah.
Daniel menghembuskan napas kesal, "Gue salah, benar-benar bego banget gue. Gue udah katain si Riski kayak begitu, tetapi nilainya jauh lebih tinggi dari gue."
Riski hanya bisa bangga kali ini, ia bisa masuk ke SMK kimia kali ini dengan nilai yang bagus ini, "Terimakasih ya allah, terimakasih." kata Riski dalam hatinya.
"Kereeeenn banget lo, Ris. Gue jadi iri sama lo, udah bisa kerja, dapet nilai bagus pula. Gila." puji Ardhi.