Graciello menatap Cielo dengan mata yang membelalak.
"Bukankah tadi Ibu menanyakan pendapat saya? Salah saya di mana? Saya hanya mengutarakan pendapat saja. Kalau Ibu tidak suka, seharusnya sejak awal tidak usah memaksa saya untuk mengemukakan pendapat saya. Kan kalau sudah begini, malah jadi tidak terima," protes Graciello.
Hati Cielo sungguh tertohok. Ia tidak menyangka jika pria itu berani sekali berbicara tidak sopan padanya.
"Ello, tolong direm sedikit kata-katanya," tegur Arya. "Kamu itu tidak sopan sekali pada Ibu Cielo."
Cielo pun mengangkat tangannya agar Arya tutup mulut. "Sudah tidak apa-apa. Aku memang meminta pendapatnya. Tolong besok hubungi teknisi, aku ingin membahas tentang ex-house di gedung lantai enam ini."
Lalu ia pun keluar dari ruangan itu. Farkan sempat mengangguk hormat padanya, tapi Graciello malah tercengang menatap kepergiannya.
Cielo tidak peduli. Intinya, memang ruangan ini harus diberikan sedikit ventilasi udara dan kipas ex-house nya harus diganti dengan yang lebih besar lagi. Mungkin ia juga harus mengganti karpet di tempat ini.
"Septi, sepertinya aku mau mengganti karpet di lantai enam, oh ya dan juga wallpapernya. Apa perlu aku hapus smoking room dari pilihan kamar?"
"Saya rasa, jangan, Bu. Masih ada banyak tamu yang menggunakan kamar merokok. Daripada menghapusnya dan malah tamunya mencemari kamar yang non-smoking, lebih baik difasilitasi kamar smoking. Hanya saja, mungkin ventilasinya yang harus ditambah."
Anehnya, mendengar Septiani yang mengemukakan pendapat malah membuat Cielo lebih kalem sedikit daripada Graciello yang mengungkapkannya. Mungkin semua itu karena cara pria itu mengucapkannya terlalu kasar.
Atau semua itu hanya perasaannya saja? Sebagai seorang direktur di hotel ini, Cielo seharusnya menerima kritik dan saran dari orang lain.
"Baiklah. Besok juga kita akan mengurus tentang itu semua ya. Sepertinya, aku harus berbicara dengan papih tentang hal ini," ujar Cielo.
"Pak Charlos sedang pergi ke Surabaya hari ini, Bu," kata Septiani sambil menggeser-geser layar tab di tangannya.
"Oh iya. Aku lupa. Kemarin ini papih sempat berkata mau ke Surabaya. Aku lupa tanggalnya. Hari ini ya ternyata."
"Ya, Bu."
Setelah itu, Cielo pun berjalan menuju ke lift khusus menuju ke ruangannya. Ia mengempaskan tubuhnya di kursi sambil mendesah.
Ia penasaran pada pria bernama Graciello itu. Lalu ia mengklik sesuatu di layar laptop-nya untuk mengakses kamera CCTV.
Betapa isengnya ia mencari wajah Graciello. Pria itu ternyata masih di lantai enam untuk membersihkan kamar yang lain.
Sepertinya pria itu memang rajin bekerja. Tidak sia-sia, Cielo mengembalikan pria itu kembali lagi ke sini. Hanya saja, mulut pria itu harus diberi pelembut dan pewangi pakaian supaya bisa bicara lebih sopan.
Ponsel Cielo bergetar. Lagi-lagi, Justin menghubunginya. Terpaksa Cielo menerimanya.
"Ada apa?" ucap Cielo sebagai kalimat pembuka.
"Aduh, Sayangku. Kamu kok ketus sekali bicara padaku? Aku ini kan calon suamimu," kata Justin dengan nada merajuk.
"Jangan pernah berharap aku mau menikah denganmu!" ketus Cielo.
"Kamu masih belum bisa memaafkanku ya. Aku harus bagaimana lagi, Sayang?"
"Tidak ada yang perlu kamu lakukan! Pokoknya aku tidak akan mau menikah denganmu!"
"Cielo Sayang, aku mohon. Jangan seperti ini. Aku akan melakukan apaaaaa saja untuk menebus kesalahanku. Oke? Please, Ciel. Aku hanya ingin bersama denganmu. Lagi pula, orang tua kita kan sudah setuju."
"Kamu tuli ya? Aku sudah bilang kalau aku tidak mau menikah denganmu!" ulang Cielo yang jengkelnya bukan main.
"Jadi, kamu mau kita putus?"
"Ya! Kita putus! Kamu pergi saja sana ke neraka! Aku benci sekali padamu!"
Buru-buru, Cielo menutup teleponnya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan kekesalannya yang menjadi-jadi.
Sore itu, Cielo bertemu dengan Nayra di salon. Malam itu, mereka akan mengunjungi pesta ulang tahun Kristal di daerah Lembang. Sebelum ke sana, Cielo akan merias wajahnya dulu bersama Nayra.
"Hei, wajahmu itu kenapa? Murung terus sejak tadi," ujar Nayra.
"Nay, sepertinya aku tidak akan jadi menikah dengan Justin," kata Cielo.
Mereka sedang melakukan perawatan kuku sementara kepalanya sedang dipijat-pijat sambil diberi krim untuk creambath.
"Hah? Kamu yakin? Memangnya kenapa? Bukannya kamu cinta mati pada si Justin itu?" tanya Nayra dengan nada agak menyindir.
"Tidak, aku tidak sebegitu mencintainya," ucap Cielo cuek.
"Ada masalah apa?"
"Jadi, aku belum sempat cerita padamu. Sebenarnya, waktu hari ulang tahunku, Justin kan sempat menginap di Poseidon. Lalu dia mabuk parah dan masuk ke kamarku. Dia hampir saja menodaiku, Nay."
Narya terkesiap sampai petugas salon terkejut. Ia sedang mengikir kuku Nayra dan hampir saja kukunya jadi roges.