William menggedor sebuah pintu di hadapannya dengan sangat keras, membuat seorang wanita paruh baya tergopoh menghampiri dan menyambutnya masuk.
"Kau rupanya. Apa yang membuatmu akhirnya kemari? Apakah kau sudah mengetahui siapa gadis itu? Apakah kau sudah menyadari sesuatu?" tanya wanita itu, penuh teka-teki.
William yang kini sudah menjadi William sepenuhnya, sedikit geram, karena merasa dipermainkan oleh wanita itu.
"Jangan mengejekku, Ange! Katakan yang sebenarnya, apa yang kau lihat!?" desisnya, tak sabar. Tak ada gurat takut di wajah wanita itu, William sudah layaknya putranya sendiri karena sejak kecil ia bahkan ikut mengasuh pria itu.
Ange memutar tubuhnya. "Apakah kau ingin duduk dulu?"
"Aku tak punya waktu dan harus segera membawanya kembali. Aku hanya butuh jawabanmu. Kumohon katakan padaku, sekarang!"
Wanita itu tersenyum lembut. "Apa yang ingin kau ketahui, hm? Kau sudah mengetahuinya, Will. Tanyakan pada instingmu, apa yang ia rasakan. Seharusnya kau sudah tahu."
William terdiam, menyadari hal aneh yang ia rasakan juga tentang Marion. "Tidak mungkin. Ia seorang manusia, Ange!"
Wanita itu menepuk lengan kokoh William.
"Tak ada yang bisa mengatur kehendak Dewi, Will. Ia ingin kau bersama gadis itu. Lakukan sekarang, atau kau mungkin akan makin sulit memilikinya."
William tak segera beranjak, melainkan tenggelam dengan pikirannya sendiri.
"Yah ... meski dengan menandainya tak berarti semua akan selalu baik-baik saja, tetapi setidaknya kau sudah memilikinya, dan jika ada yang ingin mengganggunya, kau berhak untuk menghabisi mereka," imbuh wanita itu. "Dan satu lagi, tak ada yang pernah tahu jika nanti ia mungkin saja akan memberikan keturunan bagimu, jika kau menjaganya dengan baik. Ikuti insting dan intuisimu, Will, then you'll know what's right."
William terbelalak mendengar penjelasan Ange yang terdengar ambigu dan tidak langsung pada poin penting yang ingin ia sampaikan. Lantas, apakah ini berarti William harus mulai melindungi gadis itu?
Ia tak merasakan getaran lain selain hasrat untuk menyatukan dirinya dengan gadis itu. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap wajar, atau bahkan melindungi wanita yang bahkan tak memiliki tempat di hatinya sedikit pun?
Masih dalam kegamangannya, terdengar hiruk pikuk dari kejauhan. Tepatnya, di tempat dirinya meninggalkan Marion.
Dari tempatnya saat ini, ia mampu melihat asap yang membumbung tinggi, yang membuatnya mulai panik tak terkendali hingga meninggalkan Ange tanpa permisi.
William berlari secepat yang ia bisa, dengan wujud seekor malamut alaskan berukuran besar, menerjang api yang mulai menjalar luas.
Ada nyeri yang ia rasakan di sekujur tubuhnya, seolah memberi sinyal padanya bahwa Marion sedang tidak baik-baik saja. Benar, Marion memang tengah berada dalam bahaya saat ini. Tubuhnya yang masih lemah dengan tangan dan kaki terikat, berada dalam kubah yang terbakar dan tak mungkin baginya untuk lari.
"BODOH!" umpat William pada dirinya sendiri. Ia mempercepat derap kakinya dan menerobos kawanan yang berusaha memadamkan api. Namun, belum juga menampakkan hasil.
"MENYINGKIR, SEMUANYA!" pekik makhluk itu, kemudian merangsek masuk ke dalam selubung yang semula dibuatkan oleh kawanannya, khusus untuknya. Di sana, tampak Marion terbatuk, tetapi dalam kondisi lemah. Tepat seperti dugaannya.
Makhluk itu mengangkat tubuh Marion yang lunglai, membawanya berlari menjauh setelah memerintahkan seluruh kawanan untuk memadamkan api yang makin membesar.
***
Marion mengerjap, berusaha meraih seluruh kesadaran yang nyaris terlepas dari raganya dan sempat berkelana entah ke mana. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan panas. Begitu pula dadanya. Rongga parunya serasa seperti terbakar.
"Uhuk uhuk!" Gadis itu terbatuk, seolah tersadar dari paralisis yang baru saja ia alami. Mengedar pandangan ke seluruh penjuru ruangan, Marion sadar ia tidak sedang berada di tengah hutan seperti bayangannya sebelumnya—karena hal terakhir yang ia ingat adalah William menghentikan mobil di pinggir jalan yang diapit hutan belantara.
Wajar saja jika angan gadis itu mengembara hingga ke sana. Ia juga tidak sedang berada di kantor, melainkan di sebuah ruangan dengan setting modern yang kuat, seolah menggambarkan pemilik ruangan ini yang juga memiliki karakter kuat dan berpengaruh.
"Kau sudah sadar." Sebuah suara bariton yang berat mengenyakkannya. Membuat gadis itu mengedar pandangan mencari sosok itu. Napasnya kembali memburu.
Apa yang baru saja ia alami, apakah itu mimpi? Ataukah nyata? Marion bahkan tak mampu menelaah semuanya. Otaknya mendadak rasakan kelumpuhan dan tak mampu memproses setiap kejadian. Persis seperti malam pesta kala itu.
Sesosok dengan postur tegap berjalan mendekat. Dalam keremangan, tampak di mata Marion siapa yang kini tengah berdiri tak jauh darinya.
"T-tuan Reynz? Di mana aku? Apa yang telah terjadi?" tanya gadis itu. Masih tersisa bayang kengerian yang menyergap hatinya, ketika mengingat hal terakhir yang mampu tertangkap oleh memorinya—William saat itu menutup matanya, membawa dirinya ke sebuah tempat yang tidak ia ketahui.
"Kau pingsan."
"Kenapa?"
William menghela napas berat. "Kau tiba-tiba bersikap aneh, berusaha melarikan diri keluar dari mobil dan berlari ke hutan. Di sana kau terjatuh dan terantuk batu."
"Bohong! Bukan itu yang aku ingat. Bukan itu yang aku rasakan."
"Lalu? Coba kau ceritakan padaku, semenarik apa versimu." Ucapan William terkesan menyepelekan apa yang dirasakan oleh Marion. Gadis itu sadar, dirinyalah yang mengatakan sebuah kejujuran, sementara William ... ah! Tak mungkin pria berwibawa itu akan mengatakan sebuah kebohongan yang kotor, bukan?
Apa yang telah dilakukan pria itu padanya, hingga ia menjadi seperti ini?
"Aroma hutan pinus dan kawanan anjing, juga kobaran api. Hanya itu yang tertangkap ingatanku."
"Lalu, kesimpulannya?"
Marion mendengkus kesal. Merasa bahwa atasannya itu telah melecehkan apa yang baru saja ia sampaikan.
"Kesimpulannya adalah ... k-kau bisa saja sudah menipuku. Mungkin saja apa yang aku alami itu bukan mimpi."
Mendengar jawaban Marion, pria itu hanya menyungging senyum samar. "Kau punya bukti?"
Marion menatap William, tajam. Andai ia tak memikirkan nasibnya di perusahaan, ia mungkin sudah melontarkan sumpah serapah pada pria itu. Sayangnya, Marion masih membutuhkan pekerjaan ini. Jangan tanyakan alasannya, untuk menyambung hidup, tentu saja.
Ia kemudian menggeleng lemah.
"Sudahlah. Sejak awal kau hanya membuang waktuku. Sekarang beristirahatlah. Aku pergi dulu, karena banyak hal yang harus kuselesaikan. Apa saja yang kau butuhkan, tekan bel itu, nanti pelayan akan datang dan membantumu." Pria itu bangkit dari kursinya, kemudian memutar tubuh hendak meninggalkan Marion.
Namun, gadis itu beringsut bangkit dan mencegah langkah pria itu.
"Tunggu, Tuan Reynz!"
Pria itu berbalik, menunggu Marion mengutarakan apa yang ingin ia katakan sejak tadi, yang mungkin mengganggu pikiran gadis itu.
"Katakanlah."
"A-aku ... aku lapar, Pak. Sejak tadi kita tidak makan, bukan? Apakah kau tidak ingin mengantarku untuk makan? Atau setidaknya, biarkan aku pulang saja."
William tampak terdiam mendengar ucapan Marion, membenarkan apa yang dikatakan gadis itu bahwa mereka memang belum makan apa pun sejak tadi. Namun, William tidak makan apa yang dimakan oleh Marion.
Sebenarnya tidak juga, ia tetap makan steak sesekali. Hanya saja, saat ini suasana hatinya sedang tidak baik, sehingga ia tak ingin makan apa pun.
Rencana makannya sudah gagal sejak tadi karena alasan yang masih belum mampu ia pahami, dan jika harus dihadapkan pada problem seperti yang ia hadapi sekarang, ia tak tahu harus bagaimana.
Apakah sebaiknya ia antar Marion pulang?
Tidak. Bagaimana jika ini adalah alasan agar gadis itu bisa melarikan diri darinya?
"Pak. Bolehkah aku pulang?" ulang Marion. Berharap si bos membiarkan dirinya pulang dengan taksi atau apa pun jika memang ia tidak bersedia mengantar.
William menatap mata gadis itu, dalam dan intens. Ia tak pedulikan lagi dorongan apa pun yang kini memaksanya untuk memangkas jarak antara dirinya dan Marion, ia lakukan saat itu juga. Hingga kini dirinya dan Marion hanya terpisah beberapa senti saja.
"Kau tidak boleh ke mana pun. Karena kita masih ada urusan yang belum selesai, Marion."
Kalimat itu sontak membuat bulu kuduk Marion meremang.
Apa lagi ini?