("Halo, Oslan Gavin?")
Suaraku terdengar datar. Tangan kanan yang memegang gagah ponsel lamaku menempel pada sisi daun telinga. Aku berdiri, tepat di depan pintu gerbang rumah.
Tepat di bawah terik matahari menyengat, aku bahkan tidak merasakan panas. Tiba-tiba tersadar, kakiku terlonjak lalu melompat keluar dari pagar ke jalanan.
("Bisa ketemu di tempat semalem?")
Tanyaku dengan permintaan kepada seseorang dari sebuah percakapan telepon. Aku masih berjalan santai, berhenti di bawah keteduhan pohon tua yang bertengger di antara komplek perumahan.
("Oke, gue tunggu dalam lima menit lagi.")
Tanganku menurunkan ponsel lama, lalu memencet tombol merah yang ada di layar redup ini. Jemariku meraba pelan, lalu merundukkan sejenak kepala sambil mengelilingi pemandangan jalanan kompleks.
Wajahku sedikit ceria, mengangkat ponsel ini ke dalam dekapan dadaku. Kepalaku terdongak, seolah-olah merasakan kesejukan tiada tara. Aku seperti hendak melayang ke angkasa luas, tidak peduli jika ada yang melihatku tampak konyol.
Tapi, aku benar-benar merasa hidup kembali setelah bertemu dengan pria semalam yang mengingatkanku kejadian lima tahun yang lalu. Lebih tepat ketika aku terakhir mengikuti kontes model.
"Akhirnya, gue bisa ketemu orangnya. Jarang banget tuh orang kelihatan dan ngajak gue," gumamku menatap ke arah depan.
Karena sedikit memaksa, akhirnya aku menghentikan tukang ojek pengkolan yang melewati hadapanku. Jemariku melambai, dan motor itu pun berhenti mendadak. Sebuah helm kuraih, kami berangkat ke tempat tujuan semalam.
Kami mengitari perkotaan, jaraknya dengan kafe tidak terlalu jauh. Mataku menemukan tempat kemarin, sebuah kafe bernuansa anak muda kekinian. Aku berhenti sambil menjulurkan helm serta ongkos kepada si tukang ojek.
"Makasih, Neng."
"Oke, sama-sama." Aku membalas dengan seulas senyuman. Tanpa harus banyak bicara, aku memutar dan mengambil posisi yang ada di dekat keteduhan lebih dalam. Rasa percaya diri ini melupakan kejadian tadi pagi.
Kapan?
Ketika Bela datang dengan berkata-kata aneh, aku kesal tapi mencoba membuang muka lalu menukarnya dengan kesenanganku. Tiba-tiba dia mengajak berteman, lalu apa maksudnya?
Ah! Kurasa dia baru bangun tidur dan bermimpi aneh.
Dua tanganku menyilang, menunggu kedatangan seorang pria keren tadi malam. Sepertinya dia seumuran denganku, tak sabar harus menunggu kehadiran dirinya yang bertemu secara tidak diduga.
Beberapa menit berlalu, aku hampir kewalahan. Satu gelas jus sudah kupesan lebih dulu, lalu menyeruput sejenak.
Lega!
"Haaa … kayaknya tuh orang nunggu jus gue habis dulu."
Resah, setelah beberapa menit berlalu tapi dia tidak juga muncul. Karena lelah menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk mengitari gadget yang ada di celana levisku. Jemariku menggeser layar ponsel, mencari-cari berita di sosial media.
Baru saja menggeser-geser, aku mendapatkan tempat yang bagus untuk memulai karya tulis.
"Ini dia!" tunjukku ketika mendapati media yang cocok dengan niatku.
"Ehem!"
Suara deham ini sedikit asing, tetapi aku sadar kalau ada seseorang di sampingku. Seketika terlonjak, meloncatkan penglihatanku ke arah pemuda ini. Oslan Gavin, datang dengan menutupi kepala serta wajahnya dengan topi kesukaannya.
Tidak menunggu aba-aba, dia duduk tepat di hadapanku. Mencopot topi hitam ke atas meja, lalu menyenderkan sedikit punggung tegaknya ke senderan kursi.
"Udah lama nunggu?" Oslan memusarkan tatapannya mengarahku.
Kepalaku meranggul pelan, kemudian menyimpan ponsel ke balik saku celana levis. Duduk bersila dengan santai, dia pun melakukan hal yang sama.
"Maaf, gue hampir lupa kalo semalem itu e lo." Aku sedikit merasa canggung untuk mengatakan kisah masa lalu.
Lima tahun lalu, dia menyambut tubuhku yang hampir melesat ke lantai panggung audisi.
"Sebab itu, lo jadi gagal masuk final kan?" sebut Oslan menaikkan alis. Tangannya mulai bersedekap, memiringkan wajahnya menatap penuh ke wajahku.
"Kenapa?" Aku mengerutkan kening, seolah-olah tak ingin ditatap seperti itu olehnya.
Oslan mengubah posisi tangan, lalu menjatuhkan dua tangannya ke atas meja. Kemudian mendengus napas santai, berulang-ulang menatapku.
"Jadi, lo terima tawaran gue?" Oslan mengeluarkan nada suara yang meyakinkan.
Aku yang duduk termangu malah salah tingkah, "Tawaran?"
"Soal lima tahun lalu itu, nggak ada yang tahu. Gue juga bakal bantu lo jadi orang terkenal, kita bisa sama-sama naik, sama-sama merangkak," tutur Oslan sedikit merayu untuk tawarannya.
Aku terdiam untuk sesaat, memikirkan hal yang menyenangkan dan keinginan yang selama ini aku pendam. Tidak semudah dibayangkan, kalau aku bisa naik daun ketika umurku sudah tidak belia lagi.
Semua kegigihan memiliki perjuangannya masing-masing.
Kepalaku sedikit merunduk, bernapas resah, terbuang panjang. Sekuat tenaga aku mengerahkan seluruh pemikiran, spontan mendongak.
"Ya, gue terima!"
Oslan tersenyum.
"Tapi, gue nggak langsung masuk," lanjutku.
"Tenang aja! Gue bisa giring lo pelan-pelan. Lo bisa ikutin audisi dulu, atau langsung ikut casting. Semua gue yang atur, jadi gimana?" Oslan menaikkan dua alisnya sekaligus, meyakinkanku untuk ke sekian kalinya.
Tanganku menjulur ke depan, lurus dan akan menerima perjanjian. Oslan semangat, menerima jabat tangan hingga kami sepakat untuk melangkah ke jalur selanjutnya.
"Kalo gitu, ini pertemuan kita yang pertama. Selanjutnya, lo nggak bisa lagi jauh dari gue." Ucapan Oslan seakan menakutkan.
"Ma-maksud lo?" Suaraku memendek, bahkan sedikit pelan.
"Maksud gue, kita udah sepakat jadi satu tim. Apa pun urusan lo, jadi urusan gue. Apa pun itu! Mulai sekarang, kita bisa atur jadwal untuk pertemuan." Oslan mengacungkan ponsel miliknya sambil menggoyangkannya. "Nomor lo bakal gue simpen, kita bakal ketemu di waktu yang tidak terduga."
"Tapi." Tanganku menyerobot. Mulutku ingin menghentikan kesepatakan ini, khawatir jika diketahui oleh seseorang.
Bibirku cemas, miring dan sedikit melengkung menyamping. Tanganku yang lurus tak kuat lagi menahan untuk tetap terangkat. Mataku berkelebat, memutar, lalu melesat ke lain arah. Tak kuasa, akhirnya menjatuhkan tangan sebelah ini sambil menunduk sesal.
"Lo kenapa?" tanya Oslan khawatir. Kepalanya ikut menunduk karena tingkahku yang konyol.
Aku masih menatap ke samping, mungkin karena aku tidak ingin ketahuan dari Jose. Bersiap mengatakan kepada pria ini. "Gue udah nikah," ungkapku. Kepalaku perlahan naik, menatap dirinya yang mundur ke belakang.
Sepertinya Oslan terkejut setelah aku mengatakan kalau aku sudah menikah. Wajahnya memudar, tersenyum miring memaksa napas sekali keluar dari mulutnya. "Apa? Lo udah nikah?"
Oslan melenturkan senyumannya, menarik napas naik turun, hingga menegak begitu cepat. Tangannya menjulur ke depan. "Nggak apa-apa kalo lo udah nikah. Cuma … gue agak terkejut." Pengucapan terakhirnya seakan mencondongkan bibir ke depan. Tidak percaya dengan penampilanku.
"Heuh! Memang banyak yang nggak percaya." Aku menyender, membuang muka ke lain arah, tepat ke sebelah kanan. Ke arah jalanan yang dipenuhi dengan kendaraan beroda dua dan empat beradu di jalanan bertumpuk.
Kami masih saja termenung dan duduk bersama, tanpa harus melanjutkan pembicaraan itu lagi.
Oslan maju, menatap tepat ke wajahku. Sontak diriku terkinjat membalas tatapannya.
"Gue punya kenangan lama sebelum e lo jatuh ke dalam pelukan gue."
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!
Creation is hard, cheer me up!
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!
Like it ? Add to library!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.