“J-jadi kamulah sang... demon, ruh iblis.”
“Kamu boleh panggil aku begitu,” katanya. Lagi-lagi itu bukan suara Clara.
Suara Clara tidak begitu. Sedangkan yang ia baru dengar adalah suara feminin manja, nakal, terkesan merayu. Suara yang saat terlontar seolah diatur setiap kata agar sinkron dengan bahasa tubuh yang semata menunjukkan sensualitas. Dengan mata melirik genit, bibir setengah terbuka dan jilatan di ujung bibir, semua mengesankan dirinya sebagai gadis nakal namun memiliki kecantikan aristokrat.
Cahyo tidak mau bohong. Penampilan wanita di depannya sangat jauh lebih menggairahkan dibanding isterinya.
“Aku gak mau debat ah. Panggil aja aku Iphy, atau boleh juga: Evie.”
Ia mengulurkan tangan dan Cahyo yang mengerti artinya lalu membangunkannya berdiri sehingga mereka kini saling berhadapan.
“Pantesan dia mau bikin perjanjian dengan aku. Kamu emang pantas dipertahankan dan diperebutkan.”
“Apa yang kamu lakukan pada isteriku?”