Mereka kemudian turun dari lantai dua untuk menemui Oma Nani.
"Lama sekali kalian ini!" bentak Oma Nani saat mereka baru saja sampai.
"Oma ada apa ke sini?" tanya Bu Alin dengan maksud basa-basi dengan mertuanya.
Mata Oma Nani mendadak melotot, memandang Bu Alin dengan tatapan tak suka.
'Aduh, udah salah aja!' gerutu Bu Alin dalam hati.
"Kamu ini, orang tua ke sini bukanya senang malah tanya mau apa! Dasar anak jaman sekarang!" hardik Oma Nani sambil melenggang menuju kamar tamu.
Pak Ferdi dan Bu Alin saling tatap di ruang tamu. Kemudian, mengikuti Oma Nani. Hendak memastikan benar tidaknya masuk ke kamar tamu.
Mereka takut Oma masuk ke kamar lain, apalagi kamar utama atau kamar Fira. Karena Oma akan merubah susunan benda dalam kamar yang menurutnya kurang pas. Bahkan akan membuang benda yang tak disukainya.
Sore hari, Pak Ferdi, Bu Alin dan Oma Nani sedang berkumpul di ruang keluarga sembari menonton televisi. Oma Nani memegang kendali remote kontrol.
"Pa ... Ma ... aku pulang!" teriak Fira yang baru memasuki rumah sehabis bekerja.
Fira berjalan menemui orang tuanya di ruang keluarga, setiap sore memang orang tuanya biasa berada di situ.
"Eh, ada Oma! Apa kabar?" tanya Fira sumringah sambil menyalami Oma Nani terlebih dahulu.
"Baik, kamu makin cantik aja. Apalagi bentar lagi mau nikah sama pengusaha kaya. Ah, kamu memang cucu Oma!" Oma Nani berkata dengan begitu sumringah.
"Loh, kok, sudah tahu, sih .... Padahal aku belum cerita sama Oma," ucap Fira sambil bergelayut manja pada lengan neneknya.
Meskipun Oma Nani begitu tak suka dengan Bu Alin, tapi ia sangat menyayangi cucunya. Dirinya tak tahu kalau Fira bukan anak kandung Pak Ferdi.
"Aduh, hampir lupa. Besok malam keluarga kita diundang untuk makan malam bersama keluarga Revan," tutur Fira dengan senyum mengembang.
"Wah, boleh juga itu. Kita semua hadir, kebetulan siangnya 'kan enggak ngantor," kata Pak Ferdi.
Besok memang weekend, jadi kantor pun libur. Pak Ferdi hanya sesekali ke kantor untuk mengecek. Berbeda dengan Fira yang harus setiap hari ke pergi ke kantor.
Pak Ferdi bangga karena meskipun perempuan Fira dapat diandalkan untuk mengelola bisnisnya.
Mereka berbincang hangat malam itu. Topik utama yang sedang hangat adalah tentang hubungan Fira dan Revan.
"Revan itu orangnya gimana, sih?" tanya Bu Alin penasaran.
"Selama kenal, sih, orangnya baik, bertanggung jawab, dan sayang sama anak kecil. Tiap minggu dia pasti ke yayasan anak yatim gitu untuk berbagi." Fira menjelaskan dengan rona wajah sangat bahagia khas orang kasmaran.
"Wah, semoga bisa jadi imam yang baik juga, ya, buat kamu, Sayang." Bu Alin mengusap rambut anaknya yang tergerai indah.
"Ini baru cucu Oma, bisa cari pasangan yang jelas baik bibit, bebet, bobotnya. Enggak kayak papamu!" Oma Nani bicara sambil mendelik ke arah Pak Ferdi dan Bu Alin.
Bu Alin hanya menarik napas panjang, menenangkan dirinya. Ia tak mau merusak suasana hati anaknya yang sedang berbahagia.
"Papa enggak salah pilih, kok, Oma. Mama ini ibuku yang paling ... baik." Fira memuji Bu Alin kemudian memeluknya.
Oma Nani hanya mendelik melihat cucunya memeluk Bu Alin—menantunya sendiri.
"Revan itu umur berapa, Sayang? Sepertinya masih muda sekali," tanya Bu Alin mengalihkan pembicaraan.
"Seumuran sama aku, sih, Ma. Malah lebih muda dia, tapi sifatnya dewasa banget, kok, Ma," jawab Fira sambil mengurai pelukannya.
"Enggak apa-apa, yang penting dia cinta sama kamu. Papa juga seumuran sama Mama." Pak Ferdi mengeluarkan pendapat.
"Iya, Pa. Aku berharap nanti rumah tanggaku bisa seperti Mama dan Papa yang selalu harmonis, romantis sampai tua. Bahkan sampai nanti kakek nenek!" Fira nampak sangat bangga dengan kedua orang tuanya.
Bu Alin tersenyum getir mendengar pernyataan anaknya.
'Bagaimana jika kamu tahu bahwa Papa yang selama ini menemanimu bukanlah ayah kandungmu, Nak? Apa kamu akan sangat sedih dan hancur? Ah, rasanya aku pun tak sanggup merusak kebahagiaan Fira,' gumam Bu Alin dalam hati.
Mereka berbincang hangat hingga malam. Hingga pukul sembilan barulah mereka masuk ke kamar masing-masing.
Fira memasuki kamarnya sendiri. Kamar yang sangat luas untuk ukuran satu orang. Dekorasi berwarna pink mendominasi seluruh isi kamar. Tak lupa juga cat dinding yang berwarna senada.
Fira menghempaskan tubuhnya di tempat tidur king size yang sangat empuk. Matanya belum mau terpejam, iseng ia mengecek ponselnya. Ada beberapa chat dari calon suaminya.
[Istirahat, Sayang.]
[Semoga bertemu di mimpi.]
[Love you] Revan.
Fira tersenyum lebar melihat deretan pesan chat dari Revan. Hatinya begitu berbunga-bunga dan terasa hangat.
Jarinya mulai mengetik balasan untuk pesan dari Revan. Jari lentik itu begitu lihai menari di keyboard ponsel untuk mengetik balasan chat.
[Iya, baru mau. Tapi, belum ngantuk.] Fira.
Di sisi lain Revan tersenyum sumringah mendapat balasan dari pujaan hatinya. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera membalas chat itu.
[Kenapa belum tidur?]
[Jangan lupa besok.] Revan.
[Tadi ngobrol dulu sama keluarga, ada Oma juga yang datang ke sini.]
[Pasti ingat, dong.] Fira.
Mereka telah berjanji untuk menyantuni anak yatim besok. Yayasannya telah biasa dikunjungi Revan, tapi Fira belum pernah ke sana.
Benda berbentuk persegi yang menempel di dinding kamar, menunjukan pukul dua belas malam ketika mereka menghentikan berbalas chat.
Fira terlelap di kamarnya. Sebelum tidur ia panjatkan doa untuk kebaikan hari esok dan bermimpi ketemu Revan.
Pagi menyapa, sinar mentari yang bias masuk menembus gorden kamar Fira. Gadis itu bangun dan mengerjapkan mata. Kemudian, bangkit untuk ke kamar mandi yang berada di kamarnya.
Selesai dari kamar mandi ia melirik jam dinding.
Pukul tujuh pagi.
"Astaga, lupa ada janji dengan Revan!" pekik Fira dan langsung bersiap untuk menemui Revan.
Menggunakan make up tipis yang terlihat natural dan mengikat rambutnya ke belakang. Setelah menemukan baju yang pas menurutnya barulah ia berangkat menggunakan mobil pribadinya.
"Ma, Pa, Oma, aku pergi dulu. Lupa ada janji dengan Revan!" ucap Fira sambil menyalami orang tua dan neneknya yang sedang sarapan.
"Sarapan dulu, Nak!" titah Bu Alin.
"Nanti aja, Ma, ini sudah telat!" Fira melangkah pergi dengan tergesa-gesa.
Setelah berada di belakang kemudi mobil, ia melajukannya menyusuri jalanan. Mereka memang janji bertemu di supermarket untuk belanja makanan yang akan diberikan ke anak-anak panti.
Fira kekeuh membawa mobil sendiri agar bisa membawa lebih banyak makanan ringan dan pokok untuk yayasan.
Setengah jam perjalanan Fira sampai di parkiran depan sebuah pusat perbelanjaan. Ia memarkirkan mobilnya dan menghubungi Revan untuk mengetahui keberadaannya.
Setelah tahu, Fira segera menghampiri Revan yang sudah menunggunya di pintu masuk utama mall.
"Maaf, aku telat! Berasa weekend ...." Fira menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Revan terkekeh melihat tingkah Fira.
"Enggak apa-apa, ayo!" Revan menggandeng tangan Fira.
"Loh, kok, masuk cafe? Bukanya mau belanja," tanya Fira bingung.
"Aku tahu kamu pasti belum sarapan," jawab Revan santai.
Fira tersipu malu dibuatnya.
Krukk ....