Hesti pun segera masuk kamar dengan kesal. Ia menghentakkan kakinya ke lantai.
"Wanita nggak berpendidikan kayak dia ... berani nyicil rumah. Gaji dia berapa sih? Pasti dia sebenarnya jadi perempuan simpanan orang. Emang aku nggak tau apa, kalau gaji dia itu kecil. Seminggu paling hanya tiga ratus ribu. Masah ... bapak mertuaku itu juga! Ngapain sih, pake bayarin biaya operasi si Kamania itu! Biarin aja dia buta!" Hesti yang sedang kesal mulai bicara sendiri.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Gilang masuk dengan wajah lesu.
"Eh, Mas udah pulang," Sapa Hesti manja.
"Capek Mas, tolong buatkan minuman! " Gilang menepis tangan Hesti yang hendak menggelayut manja. Membuat Hesti kembali cemberut kesal.
"Ih, kan ada bi Atun," tolak Hesti sambil mengempaskan tubuhnya ke atas kasur.
"Dulu, Fahira selalu membuatkan mas minuman, meski ada bik Atun. Apa salahnya sih!" gerutu Gilang.
"Eh, Mas jangan samakan aku dan Fahira. Aku kan juga lagi hamil .. orang lagi hamil itu maunya dimanja!Bukan disuruh ini itu kayak babu!" Hesti mulai meradang.
"Haduh, kamu ini! Awalnya kamu itu memang baik, perhatian. Sekarang mentang - mentang jadi istri apa- apa selalu mau menang sendiri."
"Ya Mas juga! Dikit-dikit Fahira , dia itu cuma mantan istri kamu aja! Kamu yang meninggalkan dia duluan. Kamu yang bilang dia itu nggak selevel sama kamu yang lulusan S1. Kamu malu punya istri yang cuma tamatan SMA!" hardik Hesti kesal.
Gilang menghela napas panjang. Watak Hesti memang keras. Fahira juga berwatak keras, tetapi dia tidak manja dan menyebalkan seperti Hesti. Fahira lebih penurut dan tidak perlu di suruh ia akan menyiapkan segala keperluan Gilang . Terkadang, Gilang sedikit menyesal mengapa dulu ia tergoda. Memang, Hesti lebih cantik dari Fahira. Hesti juga seorang Sarjana Ekonomi. Namun, itu tidak menjamin bahwa ia adalah wanita yang sempurna. Dulu, ketika Kamania masih tinggal bersama, Hesti tidak pernah mau merawat Kamania. Endanglah yang merawat Kamania.
Tapi, Gilang juga tidak bisa melepaskan Hesti begitu saja sekarang. Lagi pula, Hesti itu wanita idaman. Ia cantik, sedang hamil pun ia tidak melar. Hanya perutnya saja yang kelihatan membuncit, sehingga membuatnya terlihat begitu sexy. Belum lagi kulitnya yang putih mulus alami. Dan, nilai plusnya ia seorang Sarjana.
Hampir semua kawan Gilang memuji. Sehingga membuat Gilang merasa bangga. Gilang mengelus pundak Hesti lembut. Ia merasa tidak ingin bertengkar lebih lanjut lagi.
"Maafkan aku, ya," ujar Gilang sambil membelai rambut Hesti dengan lembut.
"Aku tadi ke rumah baru Fahira," kata Hesti sambil membalikkan tubuhnya menghadap Gilang.
"Ngapain kamu ke sana? "
"Kamu tau ngga ... Fahira beli rumah sama perabotan baru. Kata tetangganya, dia dikasi rumah sama Inayah. Mencicil dari gajinya sih, tapi aku curiga dia mau dijadikan madu sama Inayah- bosnya itu."
“Hush, kamu ini. Ceu Inayah itu emang udah dari dulu sayang sama Fahira. Dari Fahira lulus SMP memang ikut Inayah. Lagian, biarin aja sih. Emang sebesar apa sih rumahnya?"
"Nggak gede sih Mas. Tapi, semua perabotan baru juga. Mas semenjak nikah sama aku, belum pernah beliin barang baru. Kamar ini aja masih barang lama, bekasnya Mas sama Fahira," Hesti kembali merajuk.
Gilang menghela napas panjang. Dia mulai mengerti ke mana arah pembicaraan istrinya itu.
"Ya sudah, jadi kamu mau dibelikan perabotan kamar yang baru?" tanya Gilang.
Senyum Hesti mengembang seketika mendengar pertanyaan Gilang.
"Iya, aku mau tempat tidur baru, lemari pakaian baru, meja rias baru. Aku nggak mau pake bekas Fahira," kata Hesti dengan manja.
"Ya sudah, lusa kita pergi ke toko furniture. Nanti barang- barang lama buat di kamar kos ujung aja. Kan belum ada perabotannya. Nanti kita pakai perabotan yang baru."
"Bener ya?"
"Iya, kapan sih Mas bohong sama kamu?"
"Sama satu lagi ...."
"Apa lagi sayangku?"
"Perhiasan baru, Mas. Waktu kita menikah kemarin Mas hanya membelikan perhiasan biasa. Aku mau berlian."