Mendapatkan sebuah permintaan tolong dari sahabatnya malah justru membuat Eleora tidak tenang. Niat hati yang baik justru membawa untuk bertemu dengan orang misterius itu. Gadis polos telah menolak dan bahkan memberikan ancaman.
Tidak mau masalah semakin panjang telepon pun dimatikan. Lampu kamar dimatikan dan mencoba untuk istirahat malah secara belum lama berbaring justru mendengar sesuatu dari luar.
"Ah, lebih baik aku postive thinking saja. Ya mungkin cuman perasaanku saja, sekarang lebih baik aku tidur karena besok harus sekolah. Aku tidak mau jika papa bangun lebih awal dari aku dan kembali membicarakan mengenai itu lagi."
Kembali memejamkan mata dengan posisi berbeda membuatkan Eleora berhasil terlelap dengan nyaman, seketika terdengar lebih serius dari sebelumnya. Dia terbangun dari ranjang dan mencoba memastikan akan ada apa di luar rumah.
Clingak-clinguk di jendela ia tidak melihat apa saja yang mencurigakan dan dengan segera kembali tidur.
'Kring... kring...'
Alarm telah berbunyi sudah menunjukkan pukul enam pagi, dia pun bergegas mandi maupun juga mempersiapkan beberapa buku untuk ke sekolah. Tak lupa jika mamanya sudah tidak serumah dengannya tentu membuat Eleora juga mempersiapkan sarapan untuk diri sendiri maupun papa Argadana.
Menuju ke dapur untuk membuat nasi goreng justru dia merasa sangat lelah secara tiba-tba. Rasa penat yang tak tertahankan menjadikan Eleora secara spontan akan terjatuh namun papanya lebih sigap.
"Sekarang kamu duduk saja. Biarkan papa saja yang memasak, sepertinya kamu lagi tidak enak badan."
"Papa, papa sudah bangun? Aku mau mandi dulu."
"Sudah, ini masih sangat pagi dan nanti biarkan papa yang mengantar sekolah kamu."
"Enggak usah aku bisa jalan sendiri kok."
"Jangan menolak."
Tidak seperti biasanya papa Argadana bangun terlalu pagi telah membuatkan juga Eleora terkejut. Menghindari dari orang tuanya membawanya untuk mandi saja, tetapi terlepas dari situ dia tak bisa ke mana-mana lagi.
Papa Argadana sudah mengecam pada anaknya untuk tidak berangkat sendirian sekarang, tetapi terlepas dari itu juga Eleora justru merasa tidak nyaman dan bahkan ujungnya ketika kembali makanan sudah siap terjadi di meja makan.
Sebagai seorang anak yang tidak mau durhaka kepada orang tuanya telah dipilihkan untuk duduk bersebelahan pada papanya. Eleora sempat ketakutan karena dia bingug harus menjawab apa jika pertanyaan kembali datang.
Prasangka telah benar jika papanya kembali mengungkit permasalahan seperti sebelumnya. Dia begitu ingin menyelesaikan makan dan lari dari pertanyaan itu, tetapi tangan papanya justru menggenggam pergelangan tangan.
"Kamu mau ikut papa atau mama? Jika kamu memilih papa tentu saja semuanya akan papa berikan, tapi jika kamu pilih mama kamu itu tentu kehidupan kamu sama sekali tak bisa terjamin." Eleora pun berdiri untuk menghindar. "Mau ke mana. Apa pilihan kamu?" Sambung papa Argadana.
Terpaku terdiam tanpa menjawab membuat papa Argadana sontak membanting piring di depan Eleora. Gadis itu sangat takut semua terjadi apa yang ada pada pikirannya. Papanya terus menerus menekannya untuk mendapat jawaban.
"Sekarang kamu jawab, kamu pilih yang mana? Ikut papa Argadana atau mama Merry?"
"Kenapa sih anak yang harus jadi korban kalian? Seharusnya kalian yang lebih dewasa bisa mengatur pola emosi masing-masing. Maaf pa, aku ingin berangkat sendiri dan papa tidak perlu mempertanyakan itu lagi ke Eleora. Eleora capek memikirkannya."
Gadis itu langsung mengambil tas lalu meninggalkan rumah. Dalam niatnya hari ini adalah membolos sekolah, tetapi dia teringat bahwa ada seorang yang membuat jauh dari kata nyaman.
Menghubungi nomer Gerry tentu adalah jalan terbaik menurut Eleora. Gadis itu jauh lebih tenang bersama dengan orang baru yang dikenalnya dibandingkan orang tuanya sendiri, tapi mengingat bahwa kedekatan yang tetap dijaga tentu saja tak membuatnya mudah bercerita mengenai masalah pribadi.
Perjalanan menuju ke sekolah dia terus saja dibuntuti oleh papa Argadana yang tidak berhenti mengejar, dikarenakan Eleora hanya berjalan kaki tentu membuatnya kalah dan hal tersebut dimanfaatkan.
"Eleora, Eleora. Sekarang kamu naik ke mobil."
"Cukup, pa. Aku tidak bisa memilih diantara kalian, aku sangat sayang dan aku sangat peduli dengan kalian. Biarkan aku berangkat sendiri sekarang."
"Eleora, Eleora. Tunggu papa. Sayang!"
Semakin dipercepat laju jalan telah diambilkan memilih jalur gang kecil. Eleora benar-benar merasa hancur akan paksaan jawaban yang dilakukan oleh papa Argadana, sikap orang tuanya yang tak pernah benar dipikirannya itu pun juga kerap kali membuat dia emosi dalam diri.
Tiba di sekolah dengan kondisi penuh keringat membuat Eleora kipas-kipas menggunakan buku. Ketika sedang duduk termenung ada setangkai mawar mendarat di depan lamunan kosong.
Menoleh ke samping ternyata ada Gerry yang melihatnya sedang termenung. Laki-laki itu tak berdiam saja dan seketika memberikan sebuah usaha untuk menghibur gadis yang kali ini tidak seperti biasanya penuh dengan keceriaan.
"Bunga mawar itu warnanya merah, perempuan cantik berjaket ungu jangan menyerah. Bunga mawar bertangkai duri, wahai calon pacar kuharap hari iini kau berseri. Ah entah enggak nyambung semua."
"He he, ada aja kak Gerry."
"Nih buat kamu, oh ya. Kamu habis dikejar hantu ya? Kok banyak keringat begitu?"
"(Mana mungkin aku jujur jika aku sedang ada masalah dengan papa? Ah biarkan saja aku menyimpannya, lagian kak Gerry ini orang baru saja aku kenal dan tidak akan mungkin aku cerita sembarangan ke orang lain.)"
"Malah bengong, aku salah ya? Oh pasti kamu dikejar hantu pagi hari? Ha ha."
"He he ya kurang lebih, kak."
Sejenak percakapan terdiam telah membuatkan Eleora mendapat perlakuan sempurna dari Gerry. Laki-laki yang baru saja dikenalnya telah mengelap keringat pada kening gadis pemegang bunga mawar.
Suasana itu membuat satu dengan lainnya begitu romantis bahkan sorot mata Gerry terlihat begitu berbeda, sedangkan Eleora yang belum pernah merasakan jatuh cinta justru kali ini sangat diambilkan mati kutu.
'Dret... dretttt.'
Getar sebuah ponsel yang ada di saku membuat lamunan mereka berdua langsung terhenti. Eleora yang mendapatkan sebuah pesan tentu sangat kesal.
Tanpa Nama : Halo sayang, apa kabar hari ini?
Eleora : Siapa kamu?
Tanpa Nama : Jangan mudah melupakan sayang, aku harap kamu tidak akan lupa pertemuan kita. I Love You
Ponsel itu seketika dimatikan lalu dimasukkan ke dalam tas. Gerry melihat gerak-gerik mencurigakan, tetapi Eleora sendiri sama sekali tidak mau mengaku bahwa ada orang telah meneror temannya terlebih dahulu dan sekarang justru ke arahnya tanpa berhenti.
"Ada apa? Kok aku lihat kamu kesal."
"Aku tidak ada apa-apa kok, kak."
"Yakin? Kalau kamu ada masalah bilang saja sama aku, ya barang kali aku bisa membantu."
"(Lebih baik disembunyikan dulu, aku sama sekali tidak mau jika orang lain ikut campur dan yang ada semakin runyam masalahnya.)"