Mereka berhamburan keluar dari toko, seperti sedang kabur dari razia polisi. Dari dalam ruangan karyawan, muncul beberapa makhluk mengerikan yang berlari dengan mengeluarkan suara agresif setelah mendengar suara kaleng soda terjatuh.
Sekaligus orang yang terkapar di lantai, pria gemuk itu langsung bangun dan berubah menjadi mahkluk mengerikan, meski mulutnya belum berdarah-darah seperti yang lain. Namun, ada luka cukup lebar di perutnya yang seperti balon udara itu.
"PRANG!" Kaca toko pecah setelah di terjang oleh pria gemuk yang sudah berubah wujud.
"Lari! Jangan noleh kebelakang!" seru Indro, kala melihat mahkluk mengerikan lain berada di gang masuk sebuah desa.
Perasaan terancam membuat mereka berlari kalang kabut. Dengan terpaksa mereka meninggalkan mobil dan tak mendapatkan bahan bakar sedikitpun. Mahkluk mengerikan itu semakin bertambah banyak dan mengejar 4 manusia yang mencoba berlari dijalan beraspal yang penuh lubang.
Tubuh Boni yang gemuk, membuat langkahnya tertinggal jauh. Sialnya, ia terjatuh dalam lubang yang cukup membuat kakinya berdarah. Jefri menariknya dan mengajaknya untuk segera berlari. Sebab gerombolan mahkluk itu kian dekat.
"HUARGH!! HUARRGGHHHG!!"
Tak ingin meninggalkan Boni, Jefri menarik sahabatnya tanpa henti yang sedang tersengal. Boni terlihat sangat kelelahan, maklum efek tak pernah berolahraga, baru lari sedikit saja sudah membuatnya ingin menyerah.
"Ayo Bon! Bangun! Kamu pasti bisa!" seru Jefri, tanpa melepaskan tangan besar milik Boni.
Dengan susah payah, Boni memaksa dirinya untuk bangkit, mereka berlari kembali. Nasib buruk menimpa Boni lagi, ia terjatuh untuk yang kedua kalinya meski belum lama berlari.
"Bruk! Hah hah hah!" Dia tertunduk dengan kedua tangan menumpu di aspal yang panas.
"Ayo Bon! Bangun!" seru Jefri lagi dengan mengulurkan tangannya yang berkulit coklat. Dia pun terlihat kelelahan, keringat sebesar biji jagung sudah bercucuran dari wajahnya yang terlihat begitu jantan.
"Nggak kuat aku Jep!" sahut Boni dengan mengangkat salah satu tangan, tanda menyerah.
Jefri menoleh dan melihat mahkluk itu sudah tak terlalu berjarak. "Ayo! Mereka udah deket!" serunya memberitahu.
Boni menggeleng, dia merasa sudah tak sanggup berlari. Rasa perih yang berasal dari lututnya yang tak tertutup celana, menguasai logika Boni. Seakan ia benar tak peduli, jika menjadi santapan empuk para mahkluk buas itu.
"Ayo!" seru Jefri kembali, dengan mengangkat tubuh Boni yang berat seperti 3 karung beras. "Kamu mau mati apa, HAH?!" bentak Jefri. Dia tak mau kehilangan teman sejak kecilnya itu. Walaupun Boni suka kurang ajar dengannya, suka mengganti-ganti namanya menjadi 'Jepri' dan sangat merepotkan, dia tetap tak mau meninggalkan Boni untuk mati tanpa berjuang sampai titik darah penghabisan.
Tak kenal lelah, Jefri mengangkat tubuh tambun Boni untuk bangkit dari rengkuhan aspal hitam berdebu. Ketika hampir berdiri sempurna, tiba-tiba ada seruan dari Indro, "MENUNDUK!
Dan .... "DOR!"
Satu timah panas melintas dengan cepat, menembus dahi seorang mahkluk yang hendak menggigit punggung Boni. Mahkluk mengerikan itu tumbang seketika.
"LARI!" pekik Indro.
Boni yang melihat mahkluk itu mati dengan mulut menganga dan masih ada sisa daging segar yang berada di dalam mulut penuh darah, sontak membuatnya berlari dengan terpincang-pincang.
Jefri menyusul dan membantunya. Anya pun juga membantu mereka agar bisa berlari bersama. Momen seperti itu, ketika tangan Anya dan Jefri tak sengaja saling bersentuhan di punggung Boni yang basah akan keringat, membuat Jefri merasakan sedikit desiran dan menatap Anya sejenak dalam usaha pelarian mereka. Momen singkat seperti itu, seakan memberinya sedikit tenaga lebih untuk berjuang.
Di depan mereka, Indro sedang mengamankan area. Matanya yang masih bisa melihat dengan jelas di umur yang sudah tak muda, menelisik cermat ke segala tempat. Tangannya yang sudah nampak berkeriput, memegang senapan angin dengan cekatan, memperlihatkan seberapa sering ia bermain dengan teman pengisi waktu luangnya itu.
"Kita harus terus berlari!" pria itu dengan berganti posisi mengamankan area belakang.
Saat itu sinar matahari tak memberikan mereka ampun. Sengatan demi sengatan, turun tanpa henti di kulit mereka yang sudah sangat banjir akan keringat. Rasa haus membuat laju mereka melambat. Ditambah perut yang kosong keroncongan, meminta jatah makan pagi dan siang.
"Ayah! Kita harus mencari tempat buat sembunyi!" Anya berusaha berbicara dalam kelelahan. Peluh di wajahnya tak berhenti mengucur. Tubuhnya yang belum sembuh total setelah terkena demam yang tiba-tiba, meminta untuk segera beristirahat.
Indro menoleh ke kanan-kiri. Mencoba mencari tempat untuk berlindung. Namun, semua tempat sudah terlihat rusak dan berantakan, seperti telah terjadi pengeroyokan atau tawuran antar desa. Tak ada tempat yang bisa dipakai untuk tempat peindungan sementara.
Di saat yang begitu membingungkan dan rasa lelah yang menerpa. Ada sebuah rumah yang terlihat baik-baik saja tak jauh dari mereka, letaknya berada tepat di pinggir jalan raya. Ada seorang anak kecil yang berada di atas balkon sedang menatap polos ke arah mereka.
"Ke sana!" titah Indro dengan menunjuk sebuah rumah putih di sebelah kiri mereka yang berlantai 2.
Mereka langsung tergopoh menuju rumah yang ditunjuk Indro. Jefri melepas topangannya di bahu Boni dan bergegas membuka pintu setelah sampai di depan rumah itu.
"Klek! Klek! Klek!" Pintu kayu berwarna putih itu terkunci.
"Ada orang di dalam, coba panggil!" sergah Indro seraya menata napasnya.
Boni dan Anya bersandar di pintu garasi besi, napas mereka tersengal dan kaos mereka basah.
"HALO! TOLONG BUKAKAN PINTU! KAMI BUTUH BANTUAN! DOK DOK DOK!" teriak Jefri sekuat tenaga.
Telinganya menegang, menunggu jawaban. Sayangnya, tak ada jawaban atau tanda-tanda akan adanya orang yang datang membuka pintu. Mereka resah, Jefri menggedor pintu kayu itu lagi dengan kuat.
"TOLONG!!! BUKAKAN PINTU! KALAU TIDAK, KAMI BISA MATI! TOLONG!!! TOLONG KAMIII" pekiknya dengan memohon.
Anya menatap mahkluk yang kian dekat dengan penuh ngeri, dia cemas karena pintu tak kunjung juga dibuka.
"Lagi Jef! Mahkluk itu makin deket!" pinta Anya dengan panik.
"DOR! DOR! DOR!" Beberapa mahkluk sudah sampai dan hampir menjadikan Indro santapan, jika tangan cekatannya tak cepat membidik tepat di kepala mahkluk itu.
"TOLONG!!! TOLONG KAMIIII!!! KAMI MOHONNNNNN!!" jerit Jefri dengan histeris, ia tak mau mati sia-sia di sini. Wajahnya lantas mengeras, dia marah karena orang yang di dalam tak kunjung juga membantu.
Tib-tiba pintu garasi terbuka sedikit, yang membuat Boni hampir terjatuh.
"Masuk cepat!" titah seseorang.
Mereka berempat langsung masuk, ada satu mahkluk yang berhasil memasukkan tangannya ke dalam celah pintu garasi yang hampir tertutup. Tangan itu nampak belepotan akan darah dan ingin menggapai tangan si tuan rumah.
Jefri memukul tangan itu dengan kayu. Namun tak mempan, tangan itu masih bergerak liar, padahal darah kental berwarna hitam sudah mengucur dari nadinya.
"Pakai parang! Jangan itu! Itu tak mempan!" seru tuan rumah yang ternyata adalah seorang pria berusia sekitar 30 tahun.
Jefri terlihat ragu dan takut. Tak sabar, pria itu lantas segera mengambil tindakan. "Tahan ini!" titahnya dengan geram.
Jefri langsung menahan pintu rolling door itu dengan dibantu oleh Anya. Parang berkilat yang sudah disiapkan di dekat dinding, segera diayunkan pada tangan itu yang tak kenal sakit. Sekali tebas, tangan itu jatuh ke dalam garasi dengan efek darah yang menodai dinding dan wajah Jefri. Meski begitu, dia tetap melaksanakan tugas dengan menutup pintu dan menguncinya rapat.
"Kalau mau hidup! Kalian harus tega!" ujar orang itu dengan tegas dan tatap tajam.
Dia kembali masuk ke dalam rumah, setelah mengusap parang yang lumayan besar itu dengan kain lap yang sudah berlumuran darah.
Mereka mengikuti pria itu, ada seorang wanita dan anak kecil yang terlihat takut berada di tangga menuju lantai dua.
"Terima kasih sudah menyelamatkan kami," ucap Indro dengan menyimpan senapan di punggungnya.
"Aku tidak menyelamatkan kalian!" sergah pria itu lantas meneguk air putih di gelas. Rumahnya terlihat bersih dan tak ada kerusakan sedikit pun. Membuat Indro heran.
"Dia yang menyelamatkan kalian," lanjutnya dengan menunjuk si wanita yang sedang tersenyum ramah kepada Indro dan rombongannya.
"Terima kasih," ucap Indro dengan penuh senyum ketulusan, yang disusul oleh Jefri dan yang lainnya, pada wanita itu.
"Ucapan kalian tidak perlu, karena ...."