Tiga pendekar itu kembali melanjutkan perjalanan ke hutan lapis enam. Dari hutan lapis lima menuju hutan lapis enam mereka menghabiskan waktu sepuluh hari lamanya. Setelah tiba di pintu gerbang hutan lapis enam, kali ini keadaan pintu itu terbuat dari berbatuan padas yang berwarna merah kekuningan. Bebatuan itu banyak tumbuh rumput dan lumut liar, sama seperti hutan lapis sebelumnya, hutan lapis enam belum terjamah kaki manusia. Di hutan lapis enam memiliki perbedaan dengan hutan lapis lima. Hutan lapis enam ini juga tetap ada ilusinya, tiga pendekar itu sering di sesatkan jalannya oleh siluman. Lalu jenis apakah siluman yang terdapat di hutan lapis enam? Yang pasti jenis siluman ini lebih kuat dari hutan sebelumnya.
"Wah di sini banyak monyetnya," kata Pangeran Arya.
"Iya Raden, jangan-jangan hutan lapis ini di huni siluman monyet," kata Nyai Wungu.
Tiba-tiba dari atas pohon meluncur seekor monyet raksasa, dia menggunakan tali untuk turun ke bawah. Tinggi monyet itu tiga setengah meter, dengan di tumbuh bulu putih di badannya. Di kepalanya terdapat mahkota yang ada mestikanya, mestika itu berwarna merah muda. Kemudian dua ekor monyet turun, ukurannya lebih kecil dari sang Raja. Ukuran dua monyet itu dua setengah meter dan tidak memakai mahkota. Mereka meluncur dari pohon beringin yang ada talinya.
"Hai, para manusia...! silah kan kembali ke tempat kalian, kalau tidak kalian akan mati," kata Raja Monyet.
"Tidak...! Kami ingin bertemu Buto ijo dan membunuhnya," kata Pangeran Arya.
"Serang...!" kata Raja Monyet itu.
Para siluman itu menggunakan tongkat besi untuk menyerang Pangeran Arya dan orang tua angkatnya.
Uuuu!
Aaaa!
Sweet!
Suara khas kera terdengar dari mulut siluman itu. Tongkat besi di pukulkan terhadap tiga pendekar itu, Nyai Wungu dan Pangeran Arya melawan anak buahnya, dan Kyai Wungu melawan Raja nya.
Hiyat!
Teng!
Gesekan Pedang Pangeran Arya dan tongkat siluman itu menangkis satu sama lain.
Hiyat!
Teng!
Gesekan Pedang Nyai Wungu dan tongkat siluman itu menangkis satu sama lain.
Hiyat!
Bught!
Bught!
Serangan monyet meluncur untuk menyerang tiga pendekar itu, sampai ketiganya terpental ke tanah.
"Ah...!" erang tiga pendekar itu.
"Mundur! Bawa terbang anakmu dinda" kata Kiai Wungu.
"Iya Kanda," kata Nyai Wungu.
Wush!
Kyai Wungu terbang ke dedaunan pohon, kemudian Nyai Wungu membawa Pangeran Arya menyusul suaminya.
"Hai, sembunyi di mana kalian, ha... ha... ha," kata Raja Monyet sambil tertawa.
Sementara di atas dedaunan pohon mereka mengatur strategi.
"Dinda, kira-kira apa kelemahan dari ilmu monyet itu?, mereka kuat sekali," kata Kiai Wungu.
"Lebih baik kanda meditasi lagi," kata Nyai Wungu.
"Baiklah," kata Kiai Wungu.
Kemudian Kiai Wungu mulai bermeditasi, dia memanggil Kiai Benggolo solusi apa untuk melawan monyet-monyet itu. Dan syukurlah komunikasi dengan gurunya lancar, dan mendapat jawaban yang tepat untuk mengalahkan siluman itu.
"Dinda, Raden, apa kalian melihat bulu kuning yang melingkar di punggung tiga monyet itu? Itu adalah titik kelemahan mereka," kata Kiai Wungu.
"Aku pernah melihatnya Kanda," kata Nyai Wungu.
"Aku juga pernah melihatnya Romo, lalu bagaimana dengan bulu kuning yang melingkar itu?" kata Pangeran Arya.
"Jadi dari tiga siluman itu mempunyai bulu berwarna kuning yang menjadi titik lemahnya, sedangkan para bayangan yang banyak itu tidak memiliki bulu kuning di belakangnya, maka dari itu kita fokus untuk mencari yang asli, yaitu tiga monyet yang mempunyai bulu melingkar kuning di belakangnya," kata Kiai Wungu.
"Oh begitu," kata Pangeran Arya dan Nyai Wungu.
"Kita atur siasat sekarang, Raden keluarkan gadamu untuk senjata Bunda, aku dan bunda akan menggunakan gada untuk memukul bulu punggung yang berwarna kuning itu, kemudian setelah mereka terkapar kau penggal kepalanya dengan pedang yang sudah di isi mestika, masukkan semua mestikanya ke dalam pedang agar mujarab membunuh siluman itu," kata Kiai Wungu.
"Iya Romo, ini sudah kumasukkan semua mestikanya, dan ini gadaku Bunda," kata Pangeran Arya.
"Iya Raden, berarti kita fokus mencari monyet yang ada bulu kuningnya ya Kanda," kata Nyai Wungu.
"Betul Dinda, Ayo kita lakukan," kata Kiai Wungu.
"Ayo," kata Nyai Wungu.
Kemudian tiga pendekar itu turun dari persembunyiannya.
"Wah itu kanda, kesempatan tiga monyet dengan bulu kuning di punggung lagi kumpul, ternyata kamu benar bayangan yang lain tidak memiliki bulu kuning di punggungnya," kata Nyai Wungu.
"Seret dengan selendang kita Dinda, kamu menyeret Rajanya, dan aku menyeret dua anak buahnya dan kita banting mereka," kata Kiai Wungu.
"Iya Kanda, sementara Raden menunggu aba-aba dari kami, setelah mereka sekarat baru kau penggal dengan pedang yang sudah ada mestikanya," kata Nyai Wungu.
"Iya, Bunda," kata Pangeran Arya.
Pendekar sutra ungu melancarkan serangan.
Sreet!
Bught!
Hiyat!
Brught!
Selendang diluncurkan untuk menjerat siluman yang ada bulu kuning di punggung, lalu membantingnya ke tanah. Setelah itu gada di arahkan ke bulu yang berwarna kuning untuk memukulnya. Setelah tiga siluman itu di pukul, semua bayangan ganda mereka menghilang. Sekarang tinggal tiga siluman monyet yang sekarat.
"Raden, saatnya bunuhlah dengan pedangmu," kata Kiai Wungu.
Hiyat!
Jleep!
Jleep!
Jleep!
Pangeran Arya memenggal kepala tiga siluman itu. Kemudian dari mahkota Raja monyet itu bersinar sebuah mestika berwarna merah muda yang siap untuk di ambil. Pangeran lalu mengambilnya dan membungkusnya dengan daun.
"Ambil mestikanya Raden," kata Nyai Wungu.
"Iya Bunda, mustikanya warna merah muda, bagus sekali bunda," kata Pangeran Arya.
"Iya Raden, langsung masuk kan ke pedangmu, biar pedangmu tambah mujarab," kata Nyai Wungu.
"Iya Bunda, syukurlah kita bisa mengalahkan mereka, benar-benar siluman yang tangguh," kata Pangeran Arya.
"Iya Raden, saatnya kita beristirahat, ini sudah sore saatnya kita cari makan dan dirikan tenda kita," kata Nyai Wungu.
"Kali ini Romo ya yang mendirikan tenda, saya sama bunda akan pergi cari makan," kata Pangeran Arya.
"Iya Raden, akan kubuat tenda dan perapian untuk membakar ikan," kata Kiai Wungu.
"Kami tinggal dulu Romo," kata Pangeran Arya.
"Iya Raden," kata Kiai Wungu.
Pangeran Arya dan Nyai Wungu mencari makan di hutan lapis enam. Ternyata selain banyak pohon besar, juga terdapat pohon pisang, yang mana pisang adalah kesukaan para monyet. Ada juga sungai kecil yang mengalir jernih, banyak ikan yang berenang dan bisa untuk di tangkap.
"Wah, pisangnya banyak sekali satu pohon sudah bisa membuat kita kenyang bunda," kata Pangeran Arya.
"Benar Raden, besar-besar pula pisangnya, ini adalah jenis pisang Raja, ayo petik Raden," kata Nyai Wungu.
"Iya bunda, setelah itu aku mau menangkap ikan," kata Pangeran Arya.
"Wah di sini ada singkong juga lumayan besar-besar isinya, tak ambil saja ya," kata Nyai Wungu.
"Ambil saja bunda, sepertinya sudah cukup, ayo kita kembali ke tenda," kata Pangeran Arya.
"Ayo Raden," kata Nyai Wungu.
Sesampai di tenda.
"Romo kami pulang," kata Pangeran Arya.
"Wah besar-besar sekali pisang yang kau bawa Raden, singkongnya juga, di sini walau angker ternyata subur juga tanahnya," kata Kiai Wungu.
"Iya Romo, ayo kita masak," kata Pangeran Arya.
"Ayo Raden," kata Kiai Wungu.
Mereka pulang membawa makanan untuk makan malam, mereka lalu mandi dan makan malam. Sejenak berbincang dan bersenda gurau seperti malam-malam sebelumnya, setidaknya untuk menambah suasana bahagia mereka. Kemudian istirahat untuk memulihkan badan yang lelah bertarung. Mereka tertidur dengan pulas.
Bersambung.
Selamat membaca ^^