Tải xuống ứng dụng
79.71% Awakening - Sixth Sense / Chapter 55: Pesan Singkat

Chương 55: Pesan Singkat

Saat tinju Yudha hampir melayang ke wajahku, aku langsung mengucapkan sesuatu yang membuatnya berhenti seketika.

"Sebelum lo mukul gw, mending cek apa yang ada di dalam mobil sana dulu." ucapku dengan nada dan ekspresi datar.

Yudha menatapku sesaat lalu langsung pergi menuju mobil Dipa yang masih dalam keadaan pintu terbuka. Saat Yudha masih baru saja di depan pintu, dia langsung tampak panik dan terkejut karena melihat siapa yang ada di dalam.

Yudha pun langsung masuk ke dalam mobil dengan ekspresi wajah bercampur takut dan panik. Setelah itu aku tak tahu dia berbuat apa disana, karena aku masih sibuk mengunci tubuh Dipa agar tidak bisa pergi kemana-mana.

Beberapa saat kemudian, Yudha keluar dari mobil lalu langsung berjalan mendekati posisiku.

"Minggir lo." ucap Yudha dengan suara dan ekspresi datar.

Aku memandangnya sejenak, lalu mengangguk dan menuruti perkataannya. Di sisi lain, Yudha langsung menduduki tubuh Dipa layaknya menggantikan posisiku yang semula.

"Woi Yud... dengerin gw dulu... kita dua lagi dijebak sama dia." ucap Dipa dengan panik dan ketakutan.

"Cuma itu aja?" tanya Yudha masih dengan ekspresi dan suara datarnya.

"Kita omongin baik-baik dulu Yud." bujuk Dipa dengan suara selembut mungkin. "Masa lo lebih percaya dia ketimbang gw?" ucap Dipa dengan percaya dirinya.

"Gw ga percaya sama kalian berdua..." balas Yudha sambil menatap Dipa dengan tajam. "Gw cuma percaya sama apa yang udah gw liat pake mata kepala gw sendiri."

Dipa tampak terkejut mendengar ucapan dari Yudha.

"Jangan sampe pertemanan kita rusak gara-gara hal sepele macam ini Yud." ucap Dipa dengan nada yang mengancam.

"Pertemanan kita udah rusak... sejak lo udah berani-beraninya nyentuh adek gw, b*ngsat!" teriak Yudha.

Yudha pun langsung melayangkan pukulan demi pukulan menuju wajah Dipa yang sebenarnya sudah tampak bonyok.

"Dari awal gw udah bilang ke lo... jangan pernah coba macem-macem sama adek gw b*ngsat!" ucap Yudha dengan penuh amarah.

Sementara itu, Dipa hanya bisa meraung kesakitan, setiap kali tinju dari Yudha berhasil mendarat ke wajahnya. Dia bahkan sampai memohon ampun agar Yudha menghentikan serangannya.

"Sorry Yud... habis ini gw ga bakal gangguin adek lo lagi... gw janji." ucap Dipa dengan suara yang serak.

Selagi mereka bertengkar, aku pun menelpon taxi untuk membawa pulang Nadia. Aku pun menyuruh Rara untuk menemani dan menjaga Nadia nantinya.

"Masih belom kelar?" tanyaku ke Yudha.

"Urusan gw belom selesai sama lo." jawab Yudha sambil menatapku tajam.

Yudha pun berdiri lalu meninggalkan Dipa yang masih tergeletak lemah di tanah. Wajahnya bahkan sudah susah untuk dikenali, karena telah membengkak dan berlumuran oleh darah.

Tak lama kemudian, taxi yang kuhubungi tadi pun telah tiba. Yudha pun langsung mengangkat Nadia lalu memasukkannya ke dalam mobil. Begitu juga Rara yang masuk ke dalam mobil untuk menjaga Nadia, sesuai dengan permintaanku.

Aku dan Yudha pun langsung menaiki motor masing-masing, lalu mengikuti taxi itu dari belakang. Kami pun tak memperdulikan lagi nasib dari Dipa, kami hanya membiarkannya tergeletak sendirian disana.

***

"Ra... lo nunggu di kamar Nadia aja." ucapku pelan.

"Iya Ram..." balas Rara pelan lalu pergi meninggalkanku dan Yudha di ruang tamu.

"...." Suasana hening, begitu juga dengan kami berdua yang hanya menatap satu sama lainnya dengan tatapan mata yang tajam.

"Jadi sebenarnya lo gangguin kita gara-gara mau nyelametin si Rara ya?" tanya Yudha dengan datar.

"Menurut lo?" tanyaku balik dengan ekspresi datar.

"Gw bakal hapus semua video Rara... tapi lo jangan coba ganggu keluarga gw lagi." ucap Yudha tiba-tiba.

"Terus gara-gara lo ngehapus video Rara, lo udah ngerasa itu udah cukup gitu?" tanyaku sambil tersenyum. "Gimana sama cewek-cewek lain, yang udah jadi korban lo sama Dipa."

"...." Yudha pun terdiam, tak bisa menjawab pertanyaanku.

"Gimana kalo Nadia tau, sama semua hal bejat yang udah lo lakuin." ucapku.

Yudha langsung menatapku dengan penuh amarah. "Gw bakal bunuh lo... kalo lo coba-coba ngasih tau ke adek gw." ucapnya dingin.

"Emangnya sampe kapan lo bisa sembunyiin ini semua?" tanyaku dengan lantang, tak memperdulikan ancamannya.

Yudha pun lagi-lagi terdiam setelah mendengar pertanyaanku.

"Padahal tadi sedikit lagi, adek lo bakal bernasib sama kayak cewek-cewek yang udah lo rusak." ucapku memborbardirnya dengan kata-kata tajam.

"Diam lo!" teriak Yudha karena sudah tak tahan lagi mendengarkan kata-kata tajam dari mulutku.

"Mending sekarang lo serahin semua bukti dan diri lo." ucapku terus terang.

"Terus biar gw dipenjara dan ninggalin adek gw sendirian gitu?" balas Yudha dengan senyuman sinis. "Lo kira gw sinting apa?"

"Mungkin lebih baik lo jadi sinting... supaya semua ini berakhir lebih cepat. Supaya lo sadar dan punya waktu berbenah diri kedepannya." ucapku layaknya menceramahinya.

"Hahahaha..." Yudha hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepertinya dia tak mau menyerahkan bukti dan mengaku akan kesalahannya.

Aku pun menghela nafas lalu membuka layar ponselku. Setelah membuka galeri dan foto yang kuambil di mobil Dipa, aku pun langsung menunjukkannya ke depan mata Yudha.

"Anj*ng lo!" teriaknya sambil berusaha mengambil ponselku.

Tapi aku langsung menarik tanganku, dan memasukkan ponselku ke kantung celana. Yudha pun tidak tinggal diam, dia langsung meninju wajahku bertubi-tubi.

Aku pun tak mau diam saja, pria berjubah merah yang sudah berdiri dibelakangku pun langsung memasuki tubuhku. Tapi aku tak membiarkan pria berjubah merah itu mengendalikan tubuhku sepenuhnya.

Semua pukulan yang dilayangkan oleh Yudha pun tak kuhiraukan. Aku hanya membalasnya dengan sebuah pukulan telak di tengah wajahnya. Hingga dia pun tercampak kebelakang seketika.

"Argghhhh!!!" teriak Yudha kesakitan.

Tetapi Yudha tak mau menyerah, dia perlahan-lahan berdiri lalu berusaha meraihku. Karena tak mau membuang waktu lebih lama lagi, aku pun langsung mencekik lehernya, lalu membantingnya ke lantai.

"Masih belom puas? Perlu gw lanjutin lagi?" tanyaku dengan dingin.

Yudha tak meresponku, dia hanya berguling-guling kesakitan di lantai. Aku pun hanya bisa diam menatapnya sambil menunggu sakit yang ada di badannya mereda. Mungkin aku terlalu berlebihan saat membantingnya tadi, pikirku.

Beberapa saat kemudian, Yudha mulai bangkit sambil menatapku dengan was-was.

"Mending sekarang lo nyerah... demi kebaikan keluarga lo." ucapku lalu menghela nafas dalam-dalam.

"Emangnya lo tau apa tentang keluarga gw!" balas Yudha membentakku.

"Gw bakal jaga Nadia." ucapku pelan dan singkat.

"...." Yudha terdiam seketika, pandangan matanya pun tampak goyah.

"Cepat atau lambat lo pasti bakal ketangkap. Jangan sampai, lo bakal ditangkap waktu Nadia ga punya siapa-siapa." ucapku perlahan.

"Gw dan teman-teman gw bakal berusaha sebisa mungkin untuk menggantikan peran lo sementara." lanjutku berusaha meyakinkannya.

"...." Yudha tetap diam, dia menengadah sambil memejamkan matanya. Sepertinya dia sedang kesulitan untuk menentukan keputusan yang kuajukan.

Detik demi detik berlalu, hingga beberapa menit kemudian, akhirnya Yudha pun mulai membuka suara.

"Lo harus bersumpah buat nepatin omongan lo barusan." ucap Yudha dengan tatapan serius.

"Iya, gw bersumpah." balasku dengan lantang.

Yudha mengangguk lalu pergi meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Selang satu sampai dua menit kemudian, dia datang dengan membawa sebuah hard disk ditangannya.

"Semua file dan buktinya ada disini." ucap Yudha sambil menyerahkan hard disk itu kepadaku.

"Dipa punya filenya juga?" tanyaku.

"Nggak... gw yang nyimpan semuanya. Soalnya dia takut ketahuan sama keluarganya yang ada di rumah." jawab Yudha.

Aku pun bisa bernafas dengan lega. Sebab kalau Dipa juga memiliki filenya, semua rumor ini akan muncul dan diketahui oleh pihak keluarga korban. Jadi aku berpikir bahwa ini pasti dapat diselesaikan lebih mudah dari perkiraanku.

"Gw balik dulu. Nanti bakal gw kabarin kelanjutannya." ucapku.

Lalu aku menjulurkan tanganku kearah Yudha, "Makasih..." ucapku pelan.

Yudha membalas salaman tanganku, lalu hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Ra... ayo balik." ajakku kepada Rara yang sedang duduk di sebelah Nadia yang masih tertidur.

"Iya Ram." balas Rara sambil mengangguk pelan.

Sejenak aku menatap wajah polos Nadia yang tertidur pulas. Perlahan aku menyadari, bahwa aku adalah manusia yang buruk, yang rela memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuanku.

Aku pun hanya bisa mengutukku diriku di sepanjang perjalanan pulang.

***

Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya kami sampai di depan rumah Rara.

"Ra, jangan kasih tau ke Melissa dulu ya." pintaku.

"Iya Ram... tapi muka kamu sampe luka gitu Ram, sini aku obatin dulu." balas Rara dengan raut wajah khawatir.

"Gw gapapa kok Ra... cuman lecet dikit doang." ucapku sambil mengusap lukaku pelan. "Sorry banget ya Ra, gw bertindak tanpa sepengetahuan lo.

"Justru gw mau berterimakasih Ram... gw gak tau harus gimana buat membalas kebaikan lo." ucap Rara dengan tulus dan mata yang berkaca-kaca.

"Ga perlu dibalas Ra... gw mau bantuin lo bukan karena imbalan atau pujian. Gw cuma gak mau ada korban lain yang bertambah." ucapku pelan.

"...." Rara hanya diam sambil menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Gw pamit dulu ya Ra." ucapku

"Iya Ram... hati-hati dan makasih banyak buat semuanya." balas Rara sambil tersenyum tulus.

Aku mengangguk lalu pergi kembali menuju kostku sambil sesekali menatap bulan yang kian bersinar dengan terangnya.

***

Kebesokan harinya, aku mengunjungi rumah Riska untuk memastikan sesuatu, sekaligus meminta bantuan jika memungkinkan. Aku pun mulai menjelaskan satu persatu kronologisnya.

"Maaf merepotkan om." ucapku sesopan mungkin.

"Santai aja... apa yang kamu minta malah nguntungin situasi om juga kok." balas Ayah Riska.

"Maksudnya om?" tanyaku dengan bingung.

"Perusahaan papanya Dipa itu termasuk salah satu saingan bisnis dari om." jawab Ayah Riska.

Aku pun akhirnya mengerti kenapa Ayah Riska mau membantuku tanpa banyak tanya.

"Justru om jadi salut sama kamu yang punya keberanian untuk membantu orang asing yang lagi kesulitan." ucap Ayah Riska sambil tersenyum.

Aku hanya bisa merespon ucapannya dengan sebuah senyuman.

"Wajah kamu kenapa bisa sampe luka Ram? Kamu pasti berantem lagi ya?" tanya Riska dengan khawatir.

Aku hanya diam dan tersenyum canggung karena tak bisa mengelak lagi.

"Itu kamu ngobatinnya asal-asalan pasti." ucap Riska sambil menggelengkan kepalanya. "Sini aku obatin deh..."

"Ga usah kak... bentar lagi ilang kok lukanya." balasku karena tak mau merepotkannya.

Riska tak memperdulikan ucapanku, dia tetap pergi mengambil obat-obatan dan langsung memaksa untuk mengobati luka di wajahku.

"Ehmm... Ehmmmm... om pergi dulu aja ya... takut ngeganggu." ucap Ayah Riska sambil tersenyum jahil.

"Iya... kalo bisa jauh-jauh dari sini aja pa." balas Riska tak mau kalah.

"Oh gitu ya... karena udah ada cowok lain, papanya mau diusir ya...." ucap Ayah Riska sambil tertawa kecil.

"Iya dong...." balas Riska sambil menjulurkan lidahnya.

"Waduh... kalo udah punya suami, bisa-bisa papa gak dianggap lagi nih." lanjut Ayah Riska dengan nada usil.

Aku pun cuma bisa diam dengan canggung di situasi itu. Hingga tak lama kemudian, Riska pun selesai mengobati luka yang ada di wajahku.

"Kamu istirahat dulu Ram... muka kamu udah pucat banget soalnya. Belum lagi kita udah mau mulai kuliah lagi kan." ucap Riska perlahan.

"Iya kak... makasih ya." balasku pelan.

Setelah berbincang-bincang sebentar, akhirnya aku pun pamit pulang. Aku berencana untuk memberi buktinya ke David hari ini juga, agar Ayahnya bisa memproses kembali kasus ini.

***

Besok paginya, aku mendapatkan kabar dari David bahwa Dipa telah ditangkap oleh polisi. Sementara itu, Yudha telah menyerahkan diri dan bersaksi secara sukarela.

Ternyata pada jam tiga pagi, di saat aku masih tertidur. Yudha telah mengirimkanku sebuah pesan singkat.

"Jaga adik gw."

Bersambung...


Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C55
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập