"Selamat malam, Tuan Malik," wanita berambut merah menyala tampak gemetaran setelah dipanggil oleh pria cassanova tersebut.
"Kamu pasti mengenal Anna, kan?" tanya Malik.
Wanita itu mengangguk mantap, "Iya, Tuan. Saya teman Anna," akunya.
'Apa yang dilakukan Anna? Dia tidak membuat masalah dengan orang ini, kan?' batin wanita tersebut.
"Maaf, Tuan. Apa Anna melakukan kesalahan atau—"
"Apa hari ini dia libur?" potong Malik cepat.
Wanita itu mengernyit, lalu menggeleng. "Anna masuk, kok, Tuan," jawabnya.
Beberapa menit yang lalu, dia masih mengobrol dengan Anna. Wanita itu lantas mengedarkan pandang, tampak customer menunduk dalam takut. Tetapi, dia tidak menemukan sosok yang tengah dicari Malik tersebut.
"Ah!" Wanita itu mengerjap, mengingat sesuatu, "sepertinya Anna masih ada dalam ruangan bos saya, Tuan."
*
Dalam ruangan sang bos, Anna berusaha melepaskan diri dari pria yang mencengkeram tangannya.
"Aku tidak suka dengan wanita yang keras kepala, sok jual mahal, dan tukang melawan sepertimu," ucapnya dengan nada geram.
Pria itu berusaha mengunci tubuh Anna, tetapi sepertinya dia mengalami kesulitan. Pasalnya Anna terus memberontak, terus melawan dengan menggerakan tubuh ketika pria itu mulai lengah.
"Sialan!" umpat pria itu, "kau benar-benar mengujiku!"
Pria itu mengunci tangan Anna dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya menyentuh pipi Anna, lalu turun ke leher, sampai ke kancing kemeja Anna.
Satu kancing, dua kancing sampai tiga kancing dilepaskannya. Renda ungu, bh bermotif polkadot itu langsung menyembul, membuat darah pria itu mendidih. Tak sabar melucuti pakaian Anna.
Anna membelalak, otaknya berpikir keras. Bagaimana cara dia keluar dari situasi yang sulit itu?
"Fuck!" Anna mengumpat keras.
Pria itu tersenyum miring, seolah telah memenangkan sebuah lotre besar.
"Kenapa? Apa kau tidak suka?" Pria itu menatap Anna dengan tatapan merendahkan.
Wanita yang katanya keras dan tidak mudah ditaklukkan, kini berada di bawah kuasanya.
"Kenapa kau tidak teriak dan minta tolong?" Tampak pria itu menantang, "siapa tahu, ada orang yang akan menolongmu atau ... mungkin saja, mereka akan bergabung dengan kita," pria itu mengusap wajah Anna dengan halus.
Krakk!
Dalam satu tarikan, kancing kemeja Anna putus.
"Maaf, Sayang, aku bukan pria yang sabar."
Saat pria itu hendak menenggelamkan wajahnya ke atas bantalan milik Anna yang menggoda. Putih dan besar. Tiba-tiba saja tubuhnya tertarik ke atas.
Anna menatap ke arah pria yang membantunya itu.
"Pak Erick!" pekiknya.
'Ya Tuhan, apa pria tua itu benar-benar ingin menikahiku?' batin Anna. Di waktu yang tidak tepat seperti itu, Anna masih sempat memikirkan bagaimana masa depannya dengan pria tua tersebut.
"Heii, lepaskan aku! Lepaskan!" Pria itu memberontak.
Brakkk!
Tubuh pria itu terlempar, tepat mengenai meja kaca, dan seketika lantai dipenuhi serpihan kaca.
"Kau, kau tidak tahu siapa aku, hah?!" Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lantas memasang kuda-kuda menyerang.
Erick menghela napas besar, kroco yang tidak ada apa-apanya, yang hanya bisa menggeliat di tanah itu harusnya paham situasinya.
Erick merentangkan tangannya, meminta pria itu maju duluan.
"Sialan! Mati kau Kakek Tua!" Pria itu melesat cepat, mengacungkan pisau lipat.
Syatt-syatt!
Erick berhasil menghindar dari serangan yang lambat itu. Pria tersebut seperti nyamuk yang beterbangan ke sana dan ke mari.
Anna merapatkan kemejanya, namun kemeja yang sudah rusak itu tak dapat menutupi tubuhnya dengan sempurna.
"Kamu baik-baik saja, kan?" Seorang pria tampan tiba-tiba muncul.
Rahangnya yang tegas, alisnya yang lebat, dan tatapan matanya yang tajam seakan langsung menghujam ke hati Anna.
Anna mengusap matanya, mungkin pria tampan itu hanya halusinasinya saja. Tetapi bukan!
Pria itu nyata.
"Erick, habisi dia!" perintahnya.
Erick mengangguk, lantas mulai serius dengan pertarungan tersebut.
"Pakailah ini." Pria itu menyerahkan jasnya pada Anna.
"Te-terima kasih, Tuan," jawab Anna terbata-bata.
Bahkan aroma jasnya sangat menghipnotis, Anna sangat menyukainya dan tak ingin melepaskan jas itu.
"Ikut denganku," titah pria tersebut.
Anna menurut, menyambut uluran tangan itu dengan senang hati. Keduanya lantas berjalan keluar.
"Maaf, maafkan saya, Tuan Malik. Maafkan saya." Bos Anna dengan wajah babak belur menyembah pria di depannya tersebut.
'Malik? Apa itu namanya?' Anna bertanya-tanya.
"Maafkan saya, Tuan."
Buk!
Satu tendangan kuat melemparkan pria tambun itu ke tembok.
Hebat!
Anna belum pernah melihat seseorang mampu merendahkan bosnya, dan apa-apaan dengan kekuatan tendangan itu?
"Berani-beraninya babi sepertimu mengotori sepatuku!" makinya.
Glek!
Anna menelan salivanya, meskipun tampan, tetapi kalau sifatnya temperamen, maka penilaian Anna langsung berkurang drastis.
"Maaf, Tuan. Maaf!" Bos Anna memohon, tetapi pria itu mengabaikannya.
Keduanya pun melanjutkan langkah.
Di tengah perjalanan, Anna tak sengaja menatap sahabatnya. Wanita itu memberikan tatapan khawatir seolah sesuatu hal yang sangat buruk telah terjadi. Dan sebenarnya Anna ingin mendekati sahabatnya itu, tetapi melihat pria berjas hitam seperti mafia di televisi yang sering ditontonnya, langkah Anna terhenti. Signal waspadanya meminta Anna untuk mengikuti pria di depannya saja.
'Apa dia saudara pria tua itu?' pikir Anna.
Kemarin pria tua itu berjanji akan menemuinya, dan bisa saja, pria tua itu membawa saudaranya.
Bukankah sebelum menikah, Anna harus kenal dengan keluarga pria tersebut?
Tetapi sungguh, Anna tidak ingin menikah. Benar-benar tidak ingin menikah.
"Tunggu, Tuan." Anna menarik ikat pinggang pria tersebut.
"Maaf sebelumnya, tetapi saya tidak bisa menerima tawaran itu," ucapnya setelah mengumpulkan keberaniannya.
Malik mengernyit, alis tebalnya yang menyatu itu menampakkan wajah seolah dia tengah marah.
Anna menarik napas dalam-dalam, "Tolong bilang pada Pak Erick, saya tidak bisa menikahinya."
Malik mengusap wajahnya dengan kasar. Erick pasti tidak menjelaskan secara detail dengan siapa wanita itu akan menikah. Bukankah sudah menjadi kebiasaan Pak Tua itu yang selalu lupa untuk memberitahu apa hal yang penting?
"Kalau saya menikah, itu artinya saya tidak bisa lagi bekerja. Sementara saya masih memiliki tanggungan untuk membiayai sekolah adik-adik dan menghidupi ibu saya," jelas Anna. Alasan terbesarnya, Anna tidak ingin menikah dengan pria tua, pria yang bahkan tidak dia kenal sama sekali.
"Bagaimana kalau kau menikah denganku?" tanya Malik langsung.
Anna mendongak, "Me-menikah dengan Tuan?"
Pria di depannya memang termasuk type Anna, tetapi Anna tidak bisa menerima lamaran itu, setampan apa pun pria tersebut.
Pernikahan adalah upacara sakral, di mana ada dua hati yang disatukan. Dan sebagai gadis biasa, Anna hanya menginginkan sebuah pernikahan yang dilandaskan dengan cinta.
"Maaf, Tuan. Saya juga tidak bisa menerimanya."
"Kenapa?" Malik melipat kedua tangannya, tatapannya tampak mengintimidasi.
"Saya tidak ingin menikah dengan orang yang tidak saya kenal, Tuan," jawab Anna dengan suara yang sangat pelan.
"Perkenalkan nama saya Malik Adam. Saya seorang pebisnis, dan dengan gaji saya, saya sangat yakin bisa menghidupimu, juga menghidupi keluargamu. Kamu sudah mengenal saya, kan? Jadi saya bukan pria asing lagi."