" Kamu...hamil?" tanya Brian dengan nada bahagia.
Fatma melerai pelukan suaminya dan menatap wajah Brian tidak percaya.
" Lihat baik-baik! Ini!" ucap Fatma dengan airmata yang membasahi kedua pipinya.
Dengan hati berbunga Brian melihat kertas kecil itu lalu dia membuka hasil pemeriksaan Vero yang diberikan Fatma kemudian.
" Sa...rah Vero..."
" Ya! Itu adalah hasil pemeriksaan dia! Dia hamil dan itu...anak kamu!" ucap Fatma menahan sesak di dalam dadanya.
" Tidak! Aku...tidak mungkin!" kata Brian dengan wajah terkejut dan penuh amarah.
" Apa yang tidak mungkin? Siapa menanam dia pasti akan menuai!" ucap Fatma pelan.
Dan itu membuat jantung Brian serasa seperti dicabut dari tempatnya.
" Qolbi! Aku..."
" Anak itu tidak berdosa! Perbuatan kalian yang...kalian yang berdosa!" kata Fatma memejamkan kedua matanya.
Bayangan suami dan mantan kekasihnya bercumbu kembali bermain di pikirannya. Dia bukan orang suci dan munafik, dia merasakan sedih, sakit dan hancur mendengar dan melihat semua perbuatan suami dan mantannya. Tapi dia tidak mau semua itu membuat anak-anaknya akan menerima akibat yang buruk dari kedua orang tuanya.
" Qolbi! Itu hanya sebuah kesalahan, aku..."
" Itu sebuah kesalahan yang besar! Zina diharamkan oleh agama kita, apa kamu lupa?" ucap Fatma menusuk hati Brian dan membuatnya terpaku.
" Nikahi dia! Dan...talak aku!" kata Fatma pasrah.
" Tidak! Aku mencintaimu! Aku hanya sedang emosi dan bodoh saat itu!" kata Brian marah.
" Lalu apakah kamu akan seperti itu lagi jika sedang dalam keadaan emosi dan bodoh? Apakah akan ada lagi benih lain dari wanita lain yang tumbuh akibat emosi dan kebodohanmu?" kata Fatma tidak percaya dengan pembelaan suaminya.
" Tidak! Tentu saja aku tidak akan lagi melakukan itu!" bela Brian.
" Apa jaminannya?" sahut Fatma.
" Nyawaku!" jawab Brian.
" Jangan bermain-main dengan kata-kata apalagi nyawa! Karena Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan segala isi hati hambanya!" tutur Fatma pelan.
" Aku tetap tidak mau menalak kamu!" kata Brian.
" Aku bukan wanita yang suci dan kuat! Aku bukan wanita yang mau apalagi ikhlas suaminya berpoligami!" kata Fatma.
" Aku tidak akan menikahi siapapun jika kamu meminta talak!" kata Brian marah.
Fatma menarik nafas panjang, dia menundukkan kepalanya. Kepalanya terasa sedikit pening berdebat dengan Brian yang semaunya sendiri.
" Bagaimana jika aku memiliki bukti dan mengajukan perceraian di pengadilan agama?" tanya Fatma tiba-tiba.
" Jangan berani-berani! Aku akan membunuh siapapun yang berani memisahkan kita!" kata Brian dengan wajah menggelap.
Hati Fatma terasa sakit mendengar perkataan kasar Brian. Aku tidak sesempurna itu, Ya Allah! Aku hanya manusia biasa yang penuh salah dan dosa! Aku tidak akan mampu berbagi suami dengan wanita lain! batin Fatma.
" Ok, aku akan tetap menjadi istrimu dan merestuimu menikah dengan dia. Tapi kamu juga harus menghormati segala keinginanku dan tidak memaksaku untuk memenuhi segala keinginanmu!" tutur Fatma akhirnya mengalah.
" Tidak, aku tidak akan menikahi siapapun! Aku akan bertanggung jawab jika memang itu anakku! Aku..."
" Astaughfirullah! Kamu tidak mempercayai hasil perbuatanmu?" tanya Fatma kecewa.
" Siapa tahu dia berhubungan dengan siapa saja!" kata Brian datar.
" Masya Allah! Aku tidak percaya kata-kata itu keluar dari suamiku!" kata Fatma tidak percaya.
" Jangan bodoh, Zahirah! Kamu tidak mengenal Vero! Dia wanita bebas! Dia..."
" Mencintaimu! Sangat! Dan dia tidak sedang menjalin hubungan atau bercumbu dengan siapapun selain kamu!" kata Fatma kesal.
" Darimana kamu tahu?" tanya Brian curiga.
" Apa saja yang telah dia ceritakan padamu?" tanya Brian menatap tajam istrinya.
" Tidak ada! Dia hanya bilang kalo itu milikmu dan dia bahkan tidak meminta tanggung jawab padamu!" kata Fatma datar.
" Bagus jika begitu!" sahut Brian lega.
" Aku tidak percaya kamu bicara seperti itu! Nikahi dia atau aku akan melakukan seperti yang aku katakan!" kata Fatma tegas lalu dia berdiri dan meninggalkan suaminya.
" Qolbi! Berhenti! Zahirah!" teriak Brian marah.
Tapi Fatma bergeming, dia terus saja berjalan keluar dan menuju ke kamar anak-anaknya.
" Argghhhhhh! Vero sialannnnn! Awas saja jika kamu berbohong! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa aku bisa mabuk malam itu!" kata Brian sambil membuang semua barang yang ada di atas meja.
Keinginannya membawa keluarganya untuk berlibur menjadi gagal karena hal ini. Brian terduduk lemas di kursinya dengan ruangan yang telah porak poranda.
" Kamu memang wanita brengsek!" teriak Brian yang malam itu juga pergi ke apartement Vero dan marah pada wanita itu.
Vero hanya terdiam melihat kemarahan Brian. Dia tahu jika Brian tidak lagi mencintainya saat ini dan dia juga tahu jika pria dihadapannya ini akan sangat marah jika mengetahui tentang kehamilannya.
" Aku akan pergi dan menghilang jika memang itu yang kamu mau!" kata Vero dengan pelan.
" Pergi? Aku akan dengan senang hati jika kamu mau melakukan itu. Tapi sayangnya untuk saat ini hal itu akan membuat Zahirah pergi dariku!" kata Brian memegang keras dagu Vero lalu menghempaskannya, membuat wanita itu terdorong ke sandaran sofa.
" Zahirah ingin aku bertanggung jawab pada anak itu dan kamu. Lusa aku akan membawa seorang mudin kesini untuk menikahkan kita!" kata Brian datar.
Vero terkejut mendengar ucapan Brian, sebagian dari dirinya merasa sangat bahagia akhirnya dia bisa menikah dengan pria yang sangat dicintainya itu. Tapi sebagian lagi dia merasa bersalah karena telah merusak kebahagiaan sebuah keluarga.
" Apa istrimu tahu?" tanya Vero.
" Hah! Jika bukan dia yang meminta, aku tidak akan sudi menikah lagi dengan siapapun!" kata Brian berdecih.
" Tentu saja!" kata Vero menyadari kebodohannya yang berpikir jika Brian ingin menikahinya karena rasa tanggung jawabnya. Betapa bodohnya dia jika berharap tentang hal itu.
" Jaga anak itu baik-baik, aku akan melakukan tes DNA setelah dia lahir!" kata Brian lalu pergi meninggalkan Vero yang meneteskan airmata saat mendengar ucapan terakhir Brian.
Brian pulang dengan wajah kusut, dia tidak menyangka jika hidupnya akan seperti ini hanya karena kebodohannya dalam semalam. Selama semalaman Brian berdiam diri di ruang kerjanya, dia tidak sanggup untuk melihat kesedihan di mata istri yang telah disakitinya.
Keesokan harinya mereka makan seperti biasa, mereka berusaha untuk bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Setelah anak-anak pergi sekolah, Brian masuk ke dalam kamar Zibran, karena Fatma saat ini sedang menimang putranya itu yang sedikit rewel.
" Besok aku akan menikah!" ucap Brian pelan setelah menutup pintu kamar Zibran.
Deg! Jantung Fatma serasa berhenti berdetak mendengar ucapan suaminya. Ini memang keinginannya, tapi tidak secepat ini juga.
" Jam berapa?" tanya Fatma.
" Jam 8 pagi! Lebih cepat lebih baik!" kata Brian.
" Baiklah! Aku akan siap!" jawab Fatma.
" Maaf!" ucap Brian pelan.
" Semua sudah terjadi! Aku hanya meminta jangan sampai keluarga kita tahu tentang hal ini!" ucap Fatma dengan mata berkaca-kaca.
" Apapun keinginanmu!" jawab Brian pasrah.
Nasi sudah menjadi bubur, kita tidak bisa memutar waktu. Kini dia hanya bisa menyesali semua dan berusaha untuk pasrah dengan takdir lalu berusaha memperbaiki dirinya.