"Hufft... sungguh merepotkan," batin Gonocos.
Gonocos pun terpaksa menghampiri Tan Metri yang berada di belakangnya. Ia langsung saja menyeret tangan Tan Metri hendak diajak lari kembali.
"Aduh! Duh! Apa-apaan si kau, Gonocos?! Sakit ini, lepaskan!" bentak Tan Metri.
Ia melepaskan tangannya dari pegangan Gonocos. Tan Metri seakan tidak bisa berlari lagi saat itu. Kakinya merasakan keram dan napasnya pun masih belum beraturan.
Para penculik di belakangnya mulai mendekat ke arah mereka berdua. Sintri masih saja belum membuka matanya sedari tadi. Tidak ada seorang pun di kawasan itu karena daerah tersebut merupakan daerah di sudut perkotaan yang ditinggalkan. Karena merasa hampir saja mereka tertangkap lagi, Tan mengusulkan untuk melawan mereka.
"Baiklah, sampai mereka bertiga tidak berhasil menangkap kita untuk kedua kalinya, gunakan sihir apimu itu, Tan! Tetapi jangan terlalu berlebihan karena kau masih belum cukup handal dalam mengendalikannya," ucap Gonocos mengizinkan Tan menggunakan sihirnya.
"Aku tahu itu!"
Tan yang kini duduk mulai memfokuskan sasaran ke 3 pencuri itu. Layaknya sebuah tongkat sihir, ibu jari dan jari telunjuknya membentuk posisi seperti sebuah senjata api. Para penculik yang melihat itu sempat keheranan.
"Sedang apa bocah perempuan berambut hitam itu?" tanya Bion.
"Peduli amat! Cepat kita tangkap sebelum mereka lari lagi!" teriak Bolan.
Setelah Tan mengunci sasarannya, Ia segera menembakkan api kecil yang keluar dari ujung jari telunjuknya sebanyak tiga kali dengan cepat. Tepat sasaran! Api kecil itu mengenai pakaian yang dikenakan oleh para penculik. Perlahan pakaian mereka terbakar dan mereka pun panik. Sedang di sisi lain, Tan Metri yang sudah mendapat energinya kembali, kini lari lagi bersama Gonocos yang masih menggendong Sintri.
"Bocah sialan! Aduuhh duh panas! Ternyata dia juga bisa menggunakan sihir!" pekik Bolan.
Kedua temannya juga sedang sibuk sendiri memadamkan api yang semakin menjalar. Meski pakaian mereka terbakar, namun mereka merasa malu jika terus mengejar ketiga anak itu sampai kawasan yang ramai. Alhasil mereka bertiga pun lebih memilih untuk tidak mengejarnya lagi.
Usaha Bolan sungguh sia-sia. Bion dan Gendon merasa kecewa dengan itu. Mereka sempat bertengkar satu sama lain di tempat itu.
"Hei, Sintri! cepatlah bangun! Aku sudah tidak bisa lebih lama lagi menggendongmu!" teriak Gonocos.
"Cos, tenang saja. Sebentar lagi kita sampai di lingkungan yang ramai. Kau masih kuat kan meski beberapa menit saja?" tanya Tan Metri memastikan.
Gonocos mengangguk pelan.
Setelah melewati gang yang sempit, mereka berdua terus berlari hingga akhirnya berhasil memasuki kawasan banyak orang. Tan Metri menyarankan untuk berjalan pelan sembari mencari tempat istirahat yang dirasa aman.
Barulah saat itu, Gonocos dan Tan merasakan udara segar dan berbagai macam aroma makanan yang lezat. Seketika rasa lelah dan gelisah mereka hilang begitu saja. Tak lama setelah itu, Sintri juga terbangun. Ia langsung mengendus bau makanan yang menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya.
"Bau apa ini? Enak sekali... di mana kita sekarang?" tanya Sintri.
Gonocos yang menggendong Sintri pun langsung menurunkannya.
"Oh baguslah, kau akhirnya sadar juga," ujar Gonocos.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Cos? Aku sungguh tidak ingat apa-apa. Apa kita sudah sampai di kota?" tanya Sintri kebingungan.
Taaakk! Sebuah jitakan dari Tan Metri tepat mengenai kepala Sintri.
"Aduh! Apa-apaan kau, Tan?!"
"Kau enak-enakan tidur sedang Gonocos yang menggendongmu merasa kecapekan! Memang harusnya kau tadi ditinggal saja itu lebih baik," ujar Tan.
"Hah? Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Tan. Cos, kau dari tadi menggendongku? Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Sintri.
Gonocos hanya tersenyum saja.
"Sudahlah, kita sebaiknya duduk di warung makan itu terlebih dahulu sambil menceritakan hal tadi," ajak Gonocos sambil menunjuk ke arah warung yang hendak dituju.
"Memang kau punya uang?!" sindir Tan Metri.
"Astaga! Untung kau mengingatkanku, Tan!" pekik Gonocos.
Tan malah memalingkan wajahnya. Sedang Sintri justru merasa sangat lapar dan teringin memakan makanan yang aromanya sungguh nikmat dirasakannya.
Tepat sore hari sebelum matahari terbenam dan berganti dengan sinar rembulan dan jutaan bintang, kota yang didatangi oleh ketiga anak itu yakni kota Nakasam. Di kota itu, setiap harinya selalu ada banyak masakan dari para pedagang yang menjual aneka ragam makanan. Kawasan pasar makanan itu baru dibuka saat sore hari sampai tengah malam pun masih tetap ramai.
"Hari hampir senja, lantas apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita datang ke kota ini tanpa membawa persiapan sama sekali dan hanya berbekal sebuah surat yang masih menjadi misteri," ucap Gonocos.
"Hufft... mau tidak mau kita harus secepatnya mencari pekerjaan yang cocok untuk mendapatkan uang," kata Tan. Sintri yang dari tadi hanya bengong dan menahan ludah untuk menyantap berbagai makanan pun sadarkan diri.
"Bekerja, ya? Guild itu apa, Cos, Tan?" tanya Sintri.
"Guild? Kau tahu dari mana?" tanya balik Tan Metri.
"Itu," tunjuk Sintri. Gonocos dan Tan langsung saja melihat arah yang ditunjuk Sintri. Di sana terdapat papan informasi untuk umum.
Mereka bertiga pun mendekat ke papan informasi itu dan membaca tulisan yang ada.
'Pendaftaran telah dibuka! Guild penyihir Lumiere membuka lowongan pekerjaan untuk para petualang dari kelas bawah!'
Begitulah kiranya tulisan yang tertera dalam selembar kertas di papan informasi. Alhasil mereka bertiga berniat untuk menjadi seorang petualang dan bergabung ke dalam guild Lumiere.
"Sepertinya ini menarik," ujar Gonocos.
****
"Hahaha.. sungguh memalukan sekali diperlakukan seperti itu oleh anak kecil!" ejek seorang pria berambut kuning berpakaian keren warna biru cerah. Ia duduk di atas meja rumah yang digunakan sebagai markas oleh para penculik.
"Siapa kau! Enyahlah dari sini! Kami tidak memiliki urusan denganmu!" bentak Bolan seketika.
"Siapa itu? Apa dia bukan temanmu?" bisik Bion.
"Jangan bercanda! Aku tak punya teman modelan seperti dia!"
Ketiga penculik yang telanjang dada itu baru sampai di markasnya. Namun tak disangka muncul seseorang yang tak dikenal dan justru bersikap seperti menantang mereka.
"Sudahlah, ayo ikut aku baik-baik ke penjara," ajak orang asing itu. Ia turun dari mejanya dan berjalan ke arah mereka bertiga.
"Wah wahh wahh... sepertinya dia berani melawan kita bertiga," ujar Gendon.
"Sudahlah jangan melawan," ucap pria asing itu.
Dengan sihir petirnya, pria itu dapat dengan mudah mengalahkan ketiga penculik yang lemah. Ia tinggalkan mereka bertiga di situ dan menunggu petugas keamanan yang datang.
"Sungguh memalukan. Kalian memang sangat pantas untuk dihukum. Baiklah, misiku selesai. Sekarang ke mana perginya 3 bocah kembar itu, ya?" ucap pria berambut kuning yang langsung keluar dari markas penculik.