Berdiri di depan batu nisan Pak Didi dan Bu Retno, Herman tampak berwajah gelisah. Matanya pun menatap dengan emosi yang bercampur aduk. Dia menatap foto Retno dalam hitam dan putih, kemudian menoleh ke arah foto Didi di sebelahnya. Segala perasaan di dalam hatinya terasa bergemuruh.
"Kenapa…" ujarnya tiba-tiba, seolah tak bisa menahan diri untuk tak bicara pada Retno. "Kalau memang ini benar, kenapa tidak kau beritahukan sejak awal?"
Tak ada yang bisa menjawabnya. Satu-satunya jawaban yang didapatnya hanyalah angin yang berhembus pelan. Herman menghela napas berat. Di dalam napasnya, tak hanya ada keraguan akan Raditya, namun juga kebingungannya akan apa yang harus dikatakannya pada Pak Didi. Namun betapapun rumitnya perasaan di dalam hatinya, pada akhirnya, yang tersisa hanyalah rasa bersalah. Meski begitu, rasa bersalah itu bukan karena Raditya.