199
....
Aku melamunkannya lagi. Rindu yang kurasakan
padanya teramat dalam. Hingga membuatku
sesak. Reina bagai oksigen yang kubutuhkan.
Tanpanya aku sama sekali kesulitan untuk
bernafas.
Usahaku selama hampir dua tahun ini untuk tak
menghubunginya memang berhasil. Aku hanya
menelepon ibu bila tak sibuk. Tapi tak pernah
sekali pun meminta untuk berbicara dengan Reinal
Bukan aku tak rindu suaranya. Bukan. Aku hanya
ingin ia secepatnya bisa melupakanku. Mungkin
akan sesulit aku melupakannya. Tapi perlahan-
lahan pasti bisa. Meski tiap detikku hanya
kuhabiskan untuk mengingatnya.
Kubuang puntung rokok yang kesekian hari ini.
Semenjak di sini, jauh dari rumah dan Reina, aku
berubah menjadi perokok. Setiap hari, sepulang
kerja, kuhabiskan beberapa batang rokok untuk
sekedar mengalihkan pikiranku dari Reina. Dan tak
pernah berguna sampai akhirnya aku jadi pecandu
rokok. Tetap saja Reina membayangiku.
'Bro, lu apa kabarnya?"