Warti, dia selalu saja merasa iri. Hampir tiga tahun bekerja dengan Nyonya Tya membuatnya merasa hidup ini benar-benar tak adil saat ini. Setiap kali melihat tuan muda yang tertawa dengan memperlihatkan gigi kelinci itu ... Warti teringat putranya.
Seumpama saja sang putra tercinta lahir dari keluarga ini dia pasti akan bahagia. Sayang sekali putranya terlahir menjadi yatim, memiliki seorang Ayah tapi tak mau bertanggung jawab maka Warti sudah menganggap pria itu mati.
Yah, setidaknya dia merasa jauh lebih baik membesarkan sendiri. Paling tidak dia juga tak perlu mendengarkan teriakan di mana hanya karena alasan bangun terlambat dan lupa menyiapkan sarapan. Di kediaman ini meskipun beberapa kali masak gosong pun ia hanya ditertawakan saja.
Lebih baik dianggap sebagai guyonan dari pada mendapatkan tamparan. Usia putranya lima tahun, terakhir kali benar-benar tak tahu harus apa Warti karena sering kali berpindah tempat kerja namun majikannya hobi main tangan semua.