Selama ini diam saja bukan berarti aku tak bisa melawannya. Diamku karena tak mau Joo marah, tapi kali ini buat apa aku memilih untuk mendengarkan tanpa berkomentar? Lebih lagi siapa yang berhak mengatakan kalimat pedas seperti ini jika bukan diriku yang tak lain adalah istri 'sah' Lee Jonhwi? Aku rasa bahkan bunda pun akan diam saja melihat tingkah laku menantunya.
Hey, statusku jauh lebih tinggi darinya! Aku istrinya. Jadi untuk masalah apapun jika berkaitan dengan 'suamiku' aku merasa sudah pantas ikut campur! Untuk sekarang jika di depan Astrid aku tak akan menundukan kepala lagi apapun itu alasannya.
"Oh, lo udah berani ya haha. Serah sih, gue nggak minta dia aja yang datang lagi. Lo habisnya pinter banget, gimana bisa pergi gitu aja dulu? Pasti ngasih celah, ya kan?" sindir Astrid membuatku merasa bahwa dia semakin gila saja.
Biarkan dia mengoceh sesuka hatinya. Karena aku tahu, hanya sebatas itu saja kemampuannya. Dia tak akan berani bertindak walaupun mulutnya koar-koar. Harga diri wanita ini terlalu tinggi, pun dia juga selalu menjaga citra baiknya hingga tak begitu suka diperhatikan saat di tempat umum.
"Ah, capek lah. Kalau ada Joo kabarin gue ya, bilang kalau udah waktunya belanja bulanan," pamitnya tergesa-gesa.
Kutahan lengannya. Membuat Astrid hampir saja terjungkal. Harusnya dia benar-benar terjungkal saja, paling tidak dengan begitu bisa mereda sedikit emosiku saat ini.
"Apaan sih?! Gila ya lo?" bentak si sialan ini.
"Kartu," pintaku.
Dia mengangkat alisnya. "Heh, ini punya Joo apa urusannya sama lo? Nggak usah—"
Plak!
Sebuah tamparan yang cukup kencang mendarat di pipinya. Itu dariku, kuambil tas miliknya lantas mencari kartu identitas untuk akses masuk. Jika menunggu dia menyelesaikan beberapa patah kata lagi mungkin aku akan merobek bibirnya ini. Pelakor yang tak tahu derajatnya benar-benar menjijikan. Sekalipun pernikahanku dan Joo diawali dengan kecelakaan itu tetap tak merubah keadaan.
Melirik ke belakang, aku meminta Doni untuk mendekat. Dengan begini tak akan ada yang berani melakukan apa-apa. Lagian ini kafe lobi kantor kami. Jika ada yang berani membela Astrid maka yang perlu aku lakukan hanya memecat mereka saja. Aku benci doggy yang susah payah dibesarkan namun menggigit sang majikan.
Dengan begini … dia, bisa berbuat apa?
"Usir dia," titahku yang membuat beberapa pengawal gegas bekerja menyeretnya.
Astrid memberontak, dia mengatakan bahwa diriku terlalu kejam dan tak seharusnya melakukan hal seperti ini. Aku harus bagaimana kalau begitu?
Menyambutnya hangat sebagai simpanan dari suamiku? Apakah dia kira otakku setumpul itu hingga bisa melakukannya, ya? Wah benar-benar deh.
Tapi biakan berlalu karena segalanya telah … selesai. Akhirnya dia bisa pergi, keadaan pun tenang kembali seperti sedia kala. Perusuh sialan telah lenyap dari pandangan, sungguh melegakan.
Aku menunduk saat merasakan tanganku digenggam erat. "Good, Dear!"
Melihat Doni yang tersenyum sambil mengatakannya membuatku tersenyum lebar juga, rupanya senyum juga dapat menular dengan begitu mudahnya haha. Ah, lega sekali, meski agak takut juga. Kalau masalah bisik-bisik hubungan kami, aku mana peduli?
Lagi-lagi tak masalah jika mereka hanya akan berbicara di belakang saja, selama hanya ucapan bukan tindakan maka masih bisa kumaafkan. Biar begini aku juga masih memiliki hati nurani loh.
"Jadi kita udah baikan, 'kan?" tanyaku pada Doni.
Dia tertawa. "Anything for you, My Lady!" ujarnya dengan wajah berbinar menampakkan kebahagiaan yang tiada tara.
Kembali, untuk yang kesekian kali aku benar-benar merasa lega saat ini.
***
"Dia ngadu ke kamu?" tanyaku malas.
Masalahnya begitu aku menginjakkan kaki ke dalam rumah Joo mencegat dan menanyakan perihal Astrid. Padahal hanya sebuah tamparan yang aku layangkan, namun sorot mata Joo seolah-olah menguliti tubuhku. Seakan-akan bukan sekadar tamparan namun aku hampir saja melenyapkan nyawa wanita ular itu!
"Kamu bikin malu dia, By!" serunya yang kelihatan tak terima.
Terus, urusanku gitu kah? Siapa yang memintamu memberikan kartu akses lantai khusus bahkan sampai membuat Astrid leluasa di kawasanku sendiri, Joo? Siapa kamu?! Tidak mungkin Joo akan menjawab bahwa dia suamiku jika aku mengajukan pertanyaan barusan.
Sudah tahu kalau daerah itu wilayahku mengapa dia malah datang coba? Kalau berujung dengan dia yang dipermalukan oh jelas itu bukan salahku lah! Itu salahnya, yang kegatelan sama suami orang! Lagi dan lagi umpatan seperti ini hanya akan kulakukan dalam hati saja dan tak dapat aku jabarkan secara terbuka padanya.
Ah, dulu aku bahkan tak seberani ini meskipun dalam hati. Entah datang dari mana rasa keberanian ini, setidaknya hal ini jauh lebih baik menurutku.
"Aku juga malu karena punya suami yang berhubungan baik dengan gadis lain. Ah, istri orang malahan, mau ditaruh dimana muka aku sebagai direktur?" sungutku tak terima.
Jangan dia kira karena kepala keluarga aku diam saja. Bagiku dalam rumah tangga memang harus ada yang mengalah agar masalah tak tambah runyam. Namun, jika ini masalah pelakor jangan tanyakan lagi bagaimana sikapku! Kami sudah menikah, sepasang suami istri, haruskah aku mengalah demi wanita ular satu itu?!
"By ...." Joo merengek.
"Nggak! Pokoknya awas aja kalau sampai kartu akses masuk ke lantai atas ada di dia lagi seluruh dunia biar sekalian tahu aja. Kenapa nggak ngumbar hubungan kalian aja?" sarkasku.
Tak tega sejujurnya. Bagi Astrid dia tak lebih dari ATM berjalan mengingat kalau usaha yang Joo rintis naik daun. Harusnya Joo lebih membuka mata, pengeluaran bulanannya lebih banyak digunakan untuk keperluan Astrid. Kedepannya akan kupertimbangkan untuk mengelola uang pribadinya.
Tapi jika aku diam saja, tak mengutarakan kalimat menyakitkan seperti ini kapan Joo mau paham? Dia itu lemah saat berhadapan dengan Astrid. Maklum bagi Joo wanita sialan itu penyelamat hidupnya.
"Aku nggak suka kalau kamu ikut campur, Ta. Kamu lebih dari tahu alasan kenapa aku nggak bisa lepas dari dia. Ah, bukankah ini semua salah kamu, Ta?" balasnya dengan nada penuh penekanan.
Saat dia sudah memanggil nama, itu artinya amarah bisa meluap kapan saja. Setidaknya sejauh ini dia belum pernah memukulku. Itu lebih dari baik untuk tetap bertahan dengan drama ini. Sekali lagi aku sedang mencoba untuk mempertaruhkan segalanya dan tak akan mengalah dengan begitu mudah.
"Iya, memang aku yang salah. Semuanya salah aku, tapi begitu aku kembali untukmu, pernah terpikirkan nggak kalau posisi kamu masih sepenting itu. Joo, dibandingkan rasa bersalah, atau sekadar balas budi tanpa sadar kamu jadi pesuruhnya!" sanggahku antara tak mau disalahkan akan tetapi enggan memberikan keterangan lebih pada Joo.
-Bersambung ....