"Kamu mau ke mana?" tanya Ibu saat aku menuruni tangga, dengan sling bag yang kuseret.
Aku bergegas menuruni tangga, lalu berlari menghampiri ibuku yang tengah asik menonton televisi diruang tengah.
"Mau ke rumah Bambang, bolehkan Bu?"
"Boleh dong! Sekalian nanti kalau pulang, mintain duren sama uyon!"
Aku mengangguk cepat, mencium sekilas pipi Ibu, lalu berlari menuju garasi.
Aku tidak menceritakan apa pun kepada Ibu mengenai aku yang nyaris dilecehkan oleh para berandalan sialan saat berangkat sekolah, karena Ibu pasti langsung panik, dan melarangku naik motor lagi.
Aku tidak ingin membuatnya khawatir, dan juga aku masih ingin bebas mengendarai motorku, jadi lebih baik cerita itu kusimpan baik-baik.
Aku mengendarai motorku keluar dari garasi, menuju gerbang, dan melaju kencang menyibak jalanan kota Jakarta yang cukup ramai.
Rumah Bambang tidak jauh dari rumahku, jadi tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, bukan?
Aku juga memilih jalanan yang ramai demi menghindari kejadian seperti kemarin, karena belajar dari pengalaman itu sangat penting.
Sesampainya di rumah Bambang, aku langsung masuk begitu saja ke dalam rumah, karena kebetulan rumahnya tidak dikunci.
Ada semerbak harum makanan yang tercium begitu aku masuk ke dalam. Sepertinya Tante Yuyun sedang memasak.
Aku berlari dengan riangnya menuju dapur, berniat mencicipi masakan Tante Yuyun yang sudah menampar alam bawah sadarku.
"Lhoh, Om Uyon yang masak?! Harum banget, Om!" celetukku saat melihat Om Uyonlah yang sedang memasak di dapur.
"Eh, si cantik! Sini, icipin masakan om! Dijamin enak!" sahut Om Uyon sambil memberi isyarat padaku untuk mendekat dengan tangannya.
Tentu saja aku langsung berlari, dan dengan senang hati mencicipi ayam mentega buatan Om Uyon.
"Gimana? Enak, nggak?" tanya Om Uyon sambil menatapku lurus-lurus.
"Ini sih bukan enak lagi, Om! Juara! Boleh nambah pake nasi, nggak?" sahutku setelah menelan habis ayam itu.
"Heh! Enak aja, lo! Gue yang tuan rumah aja belum makan!" celetuk Bambang yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu dapur.
Bambang berjalan gontai menghampiri kami, dan langsung menarik lengan bajuku, untuk menjauh dari dapur.
"Lepasiiin, aku laper!" rengekku.
Bambang tidak mendengarkanku, ia terus menyeretku dengan santainya, menuju kamarnya.
"Jahat banget, sih! Masa minta makan aja nggak boleh!" gerutuku kesal.
"Ntaran aja makannya, sama yang lain! Nggak sopan lo, dateng-dateng minta makan!"
Hum, ya. Apa yang Bambang ucapkan memanglah benar. Tapi, itu berlaku untuk keluarga lain. Kalau keluarga Bambang itu beda cerita!
Aku duduk di sofa yang ada di kamar Bambang. Di sini cukup nyaman, meski sungguh berantakan.
"Lo ada perlu apa ke sini?!" tanya Bambang tanpa basa-basi.
"Aku mau tanya-tanya banyak hal! Tahu sendiri kalau aku itu orangnya suka penasaran!" Aku langsung berbalik, dan duduk menghadap ke arah Bambang yang tengah merapikan stick Playstation di atas karpet.
"Apaan? Kepo banget lo!" samber Bambang.
Abaikan!
"Roullete itu apa sih?" Aku mulai bertanya.
"Sekumpulan anak-anak bandel!" sahut Bambang tanpa menoleh ke arahku.
"Roullete itu lagi buat project apa sih? Sampai ngumpulin aliansi gitu? Bukannya anak basis itu harusnya tawuran atau berantem sama sekolah lain? Kok kalian enggak? Kok kalian malah bentuk aliansi dan jalin hubungan baik sama basis sekolahan lain?"
Mendengar pertanyaannku, Bambang langsung menghela napas panjang. Ia berhenti melakukan aktivitasnya, dan mendongak menatapku tajam.
"Yang lo sibuk banget pengen tahu soal Roullete itu buat apa?!" seloroh Bambang kesal.
"Ya mau tahu aja!" sahutku cepat.
"Nggak usah kepo!"
"Ya karena tanpa aku sadari, aku jadi kenal banyak anak Roullete, nggak ada salahnya kan kalau aku tahu lebih banyak soal mereka?!"
Bambang menggelengkan kepalanya pelan.
"Terus ya Mbang, aku penasaran kenapa kalian, dan aliansi, buat sejenis pos ronda di tempat-tempat sepi gitu? Buat apa?" tanyaku lagi, padahal Bambang bahkan belum menjawab pertanyaanku yang sebelumnya.
"Ya udah, berhubung lo ke depannya bakal barengan terus sama gue dan anak-anak, ada baiknya kalau lo tahu!"
Aku mengangguk cepat, dan langsung mendekat ke arah Bambang.
"Nih, gue ceritain awal mula terbentuknya Roullete. Dulu, yang ciptain, dan bentuk Roullete itu Yogo sama Paijo! Jadi, abangnya Yogo itu meninggal karena dibunuh oleh anggota genk motor namanya Blackstone," Bambang mulai bercerita, dan aku hanya diam mendengarkan.
"Karena mereka tahu banyak banget siswa di sekolahan kita yang juga pernah menjadi korban Blackstone, akhirnya mereka mendirikan Roullete!"
"Jadi, anak-anak Roullete itu semuanya pernah jadi korban Roullete? Termasuk kamu?" selaku.
Bambang menghela napas berat.
"Awalnya sih gitu. Mereka yang memiliki keluarga, atau kerabat yang pernah jadi korban Blackstone bersatu, gabung ke Roullete. Tujuan utama kami adalah membalas dendam, dan juga melindungi masyarakat nantinya. Kami ingin membubarkan Blackstone!"
Aku mengangguk mengerti.
"Tapi, karena kami kalah jumlah, jauh banget, mustahil rasanya bisa membubarkan mereka. So, kita rekrut siapa pun yang mau gabung buat bantu, kita juga langsung buat aliansi sama basis atau genk dari sekolah lain biar kita bisa ngimbangin Blackstone!"
Baiklah, sekarang aku mengerti.
"Selagi kami mempersiapkan diri untuk pertarungan lawan mereka nanti, kami adain jaga malam di tempat-tempat rawan begal, dan kriminal lainnya. Makanya tiap malem Naya selalu masak, nyediain makanan atau minuman buat temen kita jaga, biar nggak kelaparan!"
Siapa sangka, berandalan yang kupikir hanya suka tawuran, berantem, dan cari masalah, ternyata adalah sekumpulan calon pahlawan yang memikirkan kebaikan masyarakat.
"Sekarang, lo paham? Ada lagi yang mau lo tanyain?" tanya Bambang sambil menatapku penuh selidik.
"Oh iya, katanya kamu juga korban mereka? Korban apa? Begal?" tanyaku penasaran.
"Dulu bengkel bokap pernah dibakar sama Blackstone! Selain luka, kita juga jadi bangkrut! Untung nyokap lo mau bantuin modalin lagi, jadi ketolong deh ekonomi keluarga gue!"
Aku tersenyum tipis. Ya, ibuku memang sangat baik! Dia adalah yang terbaik.
"Tapi, orang tua kamu tahu nggak sih kalau kamu terlibat dengan sesuatu sebesar ini? Mereka pasti sedih dan khawatir banget kalau tahu anaknya mau nyerang genkster?! Kamu, eh enggak, kalian bisa aja terluka, atau lebih parahnya, kalian bisa aja lewat!"
Bambang tersenyum sinis.
"Lo nggak tahu aja siapa bokap dan nyokap sebenarnya! Lo pikir yang ngelatih Roullete berantem, ngelatih kita pakai senjata, siapa emang?!"
Aku menganga tak percaya mendengar ucapan Bambang. Aku tahu Tante Yuyun itu tomboi, tapi mana mungkin ia bisa melakukan itu? Melatih Roullete? But, wait! Aku pernah melihat anak-anak Roullete ngerubungin Tante Yuyun di sekolah, jadi apa yang Bambang omongin itu, benar? Gila!
"Mbang, tapi ini beneran bahaya lho! Mereka genk motor! Dan pasti mereka itu kejam, bengis, sedangkan kalian ini cuman anak sekolah!" seruku cepat.
Aku tidak ingin Bambang mengambil resiko sebesar itu.
"Lo pernah lihat Yogo sama Paijo berantem, 'kan? Itu belum dari setengah skill berantemnya mereka! Jadi, jangan khawatir!"
"Ya mereka pentolannya, gitu! Kalau kamu dan yang lain?"
"Mau nyoba lihat gue berantem, nggak?!"