Tải xuống ứng dụng
6.84% Twinkle Love / Chapter 13: Bab 13 Kajian Terdahulu

Chương 13: Bab 13 Kajian Terdahulu

"Alira!"

Suara lantang milik Gea tidak berhasil membuat Alira menoleh. Gadis tersebut masih fokus membaca novel yang semalam ia beli.

"Lo baca apaan sih? Sampe nggak denger suara merdu punya gue." heran Gea mencoba melirik cover buku yang sedang dibaca Alira.

"Dia Mahramku," gumam Gea tampak mengerutkan keningnya.

"Ini cerita religi, Al?" tanya Gea yang kini diangguki oleh Alira.

"Pinjem dong!" Gea berniat mengambil buku milik Alira namun segera Alira jauhkan.

"Besok kalo gue udah kelar bacanya," ujar Alira tegas.

"Lihat bentar doang loh," kata Gea.

Alira menggeleng. "Nggak boleh. Kalo mau baca ya sabar, kalo nggak sabar mending beli sendiri."

Gea berdecak kesal mendengar ucapan Alira. Sial sekali ia hari ini. Uang jajan ketinggal, mau pinjam novel tapi belum dibolehkan.

"Lo kesambet jin apaan sih? Tumben banget baca novel religi," tanya Gea.

Meski Alira menyukai novel dengan genre yang beragam, namun Alira lebih sering membaca cerita romance yang isinya tentang percintaan anak-anak SMA. Alira akan beralih membaca cerita lain jika ada tuntutan dalam pekerjaannya.

"Ada dua juta setengah di depan mata," jawab Alira tanpa mengalihkan tatapannya pada buku.

"Yang lo bilang semalem itu apa, Al? Yang katanya dapat sepuluh juta," tanya Gea lagi.

"Lomba cerpen. Dan gue nggak pinter buat begituan," sahut Alira.

"Coba aja gue bisa buat cerpen, udah langsung daftar deh gue," kata Gea.

Alira menghentikan aktivitasnya setelah selesai membaca bab lima belas. Sisa bab yang lain akan Alira baca nanti malam.

"Buat aja. Tema yang dilombakan toh juga gampang," Alira berujar sambil mencomot keripik kentang milik Gea.

"Temanya itu kisah kasih anak sekolah. Cocok banget lah sama elo yang bucin kayak gini," imbuhnya.

"Elo juga bucin kali, Al"

"Iyaa. Tapi gue nggak pinter buat cerpen," ujar Alira menegaskan lagi.

"Lo, kan, udah punya pengalaman pacaran, cowok lo juga cogan, anak orang kaya, perhatian. Beh! Udah paket lengkap tuh. Bisa langsung lo tulis jadi cerpen. Jadi novel juga bisa," papar Alira mengutarakan pendapatnya.

"Nulis bener-bener bukan bakat gue, Al. Udah jatahnya elo," kata Gea sambil tersenyum.

"Ya, walaupun kadang gue heran sama lo juga."

"Heran kenapa?" beo Alira.

Gea beralih menatap teman dekatnya tersebut. Membawa keripik kentang yang ia beli ke dalam dekapannya.

"Lo, kan, belum pernah pacaran. Deket sama cowok juga enggak. Tapi … otak lo kenapa bisa encer banget mikir adegan-adegan romantis di novel? Padahal lo sendiri belum pernah ngerasain," tutur Gea dengan wajah terheran-heran.

Alira tampak terkekeh mendengarnya. Pernyataan Gea baru saja ini bukan kali pertamanya. Dan tidak hanya Gea saja yang sudah pernah mengatakan hal tersebut pada Alira.

Beberapa teman Alira juga ada yang heran, kenapa Alira bisa menulis cerita romantis sedangkan Alira sendiri belum pernah merasakannya. Memang pada dasarnya ketika menulis cerita, akan lebih mempermudah penulis ketika penulis sudah pernah mengalami hal tersebut. Karena dengan begitu, sumber untuk mengembangkan ceritanya akan semakin kuat dan semakin banyak juga.

"Gue cari-cari info juga kali sebelum nulis. Sambil denger pengalaman lo juga," kata Alira setelah beberapa saat terdiam.

"Baca-baca cerita lainnya yang genrenya sama, udah cukup, Al?" tanya Gea.

Alira menggeleng. "Enggak pasti. Kadang gue butuh lihat film dulu juga. Karena pas gue nulis cerita, secara nggak langsung gue juga ngebayangin adegan yang lagi gue tulis."

"Misal nih, gue ambil setting cerita di Bandung. Terus entar ceritanya anak-anak sekolah lagi pada field study di sana. Mau gue niatin apa engga, pasti pas nulis gue bakal ngebayangin tentang kondisi Kota Bandung, makanan di sana, tempat-tempat cantik yang banyak dikunjungi di sana."

"Terus gini, kenapa gue butuh nonton film? Soalnya kalo film kan udah jelas ada artis yang meranin ya, nah gue kadang ngebayangin tokoh yang gue tulis di novel itu ya artis-artis yang ada di film."

Gea terlihat mendengarkan penjelasan Alira dengan saksama. Sambil menguyah keripik kentangnya yang kini tinggal setengah.

"Harus banget sambil ngebayangin?" tanya Gea.

"Kalo gue iya," jawab Alira tanpa pikir panjang.

"Menurut gue, biar bisa dapat feel yang oke, ya itu dia caranya. Gue harus banyak-banyak baca, cari referensi dari banyak sumber, terus pas nulis itu kondisi akal dan pikiran gue harus rileks. Biar bisa fokus ke cerita yang mau gue tulis."

Mungkin terdengar ribet. Karena belum dilakukan. Dan sebagian penulis tidak memperlihatkan hal semacam itu pada orang lain. Karena memang hal-hal seperti itu biasanya dipendam sendiri oleh si penulis.

Contohnya Alira, tulisannya dibaca secara online. Alira belum pernah bertemu dengan pembaca novelnya secara langsung. Jadi yang membaca tulisan Alira tidak tau apa-apa saja yang Alira butuhkan sebelum menulis cerita.

Pada intinya kalau belum melakukan sendiri memang akan terlihat susah. Tapi jika sudah dipraktikkan dan sudah dilakukan selama berulang kali, lama-lama yang terasa susah akan berubah jadi mudah.

"Lo suka lihat-lihat drakor juga buat nambah ide-ide cerita lo?" Gea kembali bertanya.

"Betul," Alira mengacungkan satu jempul tangannya.

"Sambil menikmati ketampanan manusia-manusia ciptaan Tuhan," imbuhnya sambil tersenyum lebar.

"Cogan mulu yang ada di pikiran lo. Kali-kali pacaran dong!" Gea menoyor pelan kepala Alira.

"Ih. Kekerasan tau!" Alira mengusap-usap kepalanya.

"Lo nggak ada niat buat pacaran, Al? Atau lo lagi demen sama cowok tapi lo sembunyiin dari gue?" tanya Gea penasaran.

Alira menggeleng. "Lagi nggak mau mikir cowok. Cukup bucin sama cowok khayalan aja udah cukup kok."

"Mau sampai kapan? Nggak mungkin dong lo sendirian terus, Al. Emang lo nggak mau nikah?"

"Ya maulah," jawab Alira cepat. "Tapi gue, kan, masih SMA sekarang. Jangan dulu mikir nikah lah. Mau mikirin sekolah sama karir dulu. Biar jadi orang sukses kayak keluarga lo, Ge"

Gea, teman terdekat Alira di sekolah adalah anak dari seorang pengusaha sukses. Mamanya Gea pun tidak hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Beliau memiliki bisnis berupa butik yang sudah terkenal bahkan sudah bekerjasama dengan banyak desainer dari luar negeri.

"Jangan terlalu mikirin karir, entar hidup lo jadi nggak bisa bebas, Al. Nggak bisa bahagia juga," kata Gea tampak terkekeh pelan.

"Yang ada lo jadi manusia kaku kayak patung."

"Enak aja kalo ngomong," elak Alira. "Masa gue di samain sama patung sih."

"Canda kali, Al. Gitu aja lo buat serius. Pas ada cowok yang deketin malah lo pikir cuma bercanda," ujar Gea yang justru membahas topik lain.

"Lagi nggak butuh cowok, butuhnya cuan biar bisa skincarean," Alira berucap santai.

"Cari cowok yang tajir dong, biar bisa dapat gratisan," timpal Gea.

"No!" jawab Alira cepat. "Beli pake uang hasil kerja keras sendiri itu lebih memuaskan."

"Iya deh iya percaya. Yang udah kerja emang serba tau. Gue mah apa, cuma remahan kayu," kata Gea dramatis.

"Masih mending remahan rengginang, enak dimakan dan bisa jadi lauk makan," ucapan Alira membuat Gea tertawa lepas.

Hanya sebatas hal konyol seperti itu, mampu membuat Alira dan Gea tertawa lepas. Kadang, yang sederhana justru bisa membuat kita bahagia. Karena apa? Karena sumber kebahagiaan itu ada di dekat kita. Benar, kan?

***

08102021 (17.22 WIB)


Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Rank -- Xếp hạng Quyền lực
    Stone -- Đá Quyền lực

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C13
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
    Stone -- Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập