4 tahun yang lalu.
Matahari baru saja ke luar dari peraduannya, samar-samar terdengar suara kicau burung dari atas pohon.
Sinar matahari masuk menerobos melalui celah-celah gorden yang bergoyang diterpa angin.
Kamar dengan ukuran yang sangat luas dan terlihat sangat mewah dengan berbagai macam furnitur yang ditata apik serta lukisan besar di dinding terpajang dengan cantik menambah betapa berkelasnya selera sang pemilik kamar.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Handphone yang berada di atas lemari kecil, di samping tempat tidur berukuran king size pun bergetar, menandakan ada panggilan masuk.
Mau tidak mau sang pemilik handphone harus mengangkat ponselnya. Walaupun dalam keadaan mata yang masih tertutup rapat, tangannya tetap mencari letak keberadaan ponsel.
"Hallo."
"Selamat pagi, Pak. Ini Monika," terdengar suara wanita dari seberang telpon.
"Ada apa Monika? Mengganggu saja," gerutunya dengan suara serak ciri khas orang bangun tidur dengan mata yang masih tertutup rapat.
"Saya hanya mau mengingatkan Bapak. Nanti ada meeting penting jam 10," jawab dari sana.
Tanpa menjawab, pria tersebut langsung saja menutup telepon. Lama terdiam beberapa menit, akhirnya dia pun bangun dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lama kemudian terdengar suara gemericik air dari arah kamar mandi.
Masih di dalam rumah yang sama tetapi di ruangan yang berbeda, nampak terlihat kesibukan para pelayan yang sedang memasak.
Ruangan dapur yang luas ditambah dengan peralatan masak yang serba modern memberikan kemudahan para juru masak mengolah masakan.
"Cepat, cepat!" perintah seorang pria tua yang meminta kepada semua juru masak untuk menyelesaikan masakannya. "Tuan Leo sebentar lagi turun untuk sarapan. "Dan kamu!!" tunjuknya kepada salah satu pelayan. "Cepat atur meja makan!"
Tanpa diperintah dua kali, pelayan tersebut langsung pergi ke ruang makan dan melakukan apa yang diperintahkan tadi.
Tidak lama kemudian, dari jauh terdengar langkah suara sepatu menuruni anak tangga.
"Tuan muda, sarapan sudah siap," ucap pelayan yang sudah menunggu dan sedang berdiri di ujung bawah tangga.
"Di mana Pak Bowo?" tanyanya.
"Aku di sini Tuan," jawab Bowo yang baru saja datang dari arah dapur.
"Aku tidak sarapan, ada meeting di kantor pagi ini."
"Tapi Tuan, masakan kesukaan Tuan sudah tersedia semua di meja makan. Tuan harus sarapan, apalagi ada meeting," pinta Bowo meyakinkan tuannya.
Leo melihat kearah pelayannya dan tersenyum. "Baiklah! Setelah Mama dan Papa tidak ada, hanya kamu yang peduli padaku. Siapkan sarapannya Bowo!"
Leo pun melangkahkan kakinya ke arah ruang makan diikuti para pelayan yang siap melayani dirinya.
...
Di lain tempat, di Apartemen yang mewah nampak sepasang manusia berlainan jenis sedang terlelap tidur.
Dari wajah mereka terlihat jelas garis kelelahan seperti habis mengeluarkan energi yang banyak semalam.
Dreet ... dreet ... dreet ...
Getaran dari sebuah benda tipis yang berada di atas nakas tidak mengusik tidur mereka. Tetapi ponsel tersebut terus saja bergetar tanpa henti sehingga memaksa sang pemilik untuk mengangkat teleponnya.
"Halo," ucap wanita yang baru saja terbangun dengan suara serak.
"Halo, sayang."
Sontak saja walaupun dalam kondisi yang masih sangat mengantuk, begitu mendengar suara dari seberang telepon membuat kesadarannya pulih sempurna. Wanita itu langsung melihat ke arah layar ponsel yang memunculkan nama Leonardo.
"Halo sayang. Kamu masih di situ? Kenapa diam saja?!" tanya Leo itu.
"Eh iya, iya, sayang," jawabnya wanita tersebut tergagap.
"Kenapa denganmu? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Leo dengan suara cemas.
"Aku baik-baik saja, jangan khawatir sayang. Aku baru bangun tidur," jawabnya.
"Kamu baru bangun tidur?" tanya Leo.
"Iya Leo, semalam aku tidur larut malam menonton film," jawabnya menahan tawa karena pria yang di sebelahnya terbangun dan terus saja mengganggunya.
"Kamu di mana Leo?" tanyanya untuk memastikan Leo berada di tempat yang jauh.
"Masih di rumah! Sebentar lagi ke kantor, ada meeting penting pagi ini. Apa kamu ada rencana ke luar hari ini, Evelyn?" tanyanya.
"Iya, aku mau ke salon," jawab Evelyn.
"Baiklah, pakai saja kartu kredit yang aku berikan padamu. Pakailah sesukamu."
"Thanks, Leo," jawab Evelyn.
"Evelyn, aku tutup teleponnya. Aku mau berangkat ke kantor. Jaga dirimu baik-baik."
Dengan perasaan lega wanita itu menjawab. "Baiklah, hati-hati sayang."
"Ok! Ciuman selamat paginya mana?" pinta Leo dari ujung telepon.
Tanpa membuang waktu, Evelyn langsung memberikan Leo ciuman selamat pagi lewat telepon.
Setelah selesai memberikan ciuman perpisahan, akhirnya wanita itu pun bisa bernafas lega karena sambungan panggilan terputus.
"Kamu nakal, Nathan. Hampir saja ketahuan. Tangan kamu tidak bisa diam," sungut Evelyn begitu selesai menyimpan ponsel.
Nathan hanya tersenyum melihat Evelyn marah. Bukannya diam, dia malah semakin gencar menggelitik Evelyn.
"Sudah Nathan, sudah." Evelyn tertawa lepas menahan tangan yang bersiap menggelitik kembali pinggangnya.
Tawa renyah tidak henti-hentinya ke luar dari bibir Evelyn. Lama mereka becanda sampai akhirnya kedua lawan jenis tersebut kelelahan.
"Nathan," panggil Evelyn.
"Hm," jawab Nathan cuma bergumam.
"Bagaimana jika aku hamil?" tanya Evelyn.
"Bukankah kamu rutin periksa ke Dokter?" Nathan balik bertanya.
"Iya, tapi tetap saja aku takut."
"Kalau kamu hamil, bukankah itu lebih bagus. Leo sangat mencintai kamu," kata Nathan.
"Nathan, Leo tidak pernah menyentuhku."
"Benarkah?" tanya Nathan heran.
"Kalau aku hamil, berarti itu anakmu," ucap Evelyn.
"Apa Leo tidak tertarik padamu sehingga tidak pernah menyentuhmu? Atau Leo tidak normal?"
"Aku tidak tahu tapi Leo pernah bilang, dia menghormati aku sebagai wanitanya jadi tidak akan menyentuhku sebelum menikah," jawab Evelyn.
"Kalau begitu kamu jangan sampai hamil, hidup kita terancam jika Leo sampai tahu kamu mengkhianatinya."
Evelyn dan Nathan terdiam cukup lama dengan pikiran yang melayang-layang. Hidup mereka diujung tanduk jika Leo sampai tahu mereka berselingkuh.
...
Badannya yang tinggi tegap, sorot mata yang tajam, ditunjang dengan IQ yang di atas rata-rata. Tentu saja diusianya yang masih muda, Leo sukses memimpin perusahaan besar yang diwariskan dari orang tuanya.
Siapa lagi kalau bukan Leonardo Albert Winston, seorang CEO muda yang banyak diincar kaum hawa.
"Pagi Pak," sapa salah satu karyawannya begitu dia turun dari mobil.
Hanya sekilas melihat ke arah orang yang menyapa, Leo langsung bergegas masuk ke dalam gedung.
Setiap karyawan yang berpapasan dengannya tersenyum begitu ramah, tetapi yang disapa hanya melihat sekilas tanpa menjawab.
Lift yang hanya khusus di pakai Leo pun terbuka secara perlahan.
Tanpa menunggu lama, Leo langsung masuk ke dalam lift yang akan membawanya langsung ke lantai paling tinggi di gedung itu.
"Selamat pagi Pak," sapa wanita cantik dengan lipstik merah yang menggoda begitu melihat Leo ke luar dari lift.
"Pagi," jawabnya sembari terus berjalan ke ruangannya diikuti sekretaris.
"Semuanya sudah kamu persiapkan untuk meeting nanti?" tanyanya kemudian duduk di kursi kebesarannya.
"Sudah Pak, semua berkas sudah disiapkan."
"Kerja bagus," ucap Leo. "Aku paling tidak suka dengan orang yang ceroboh."
"Bapak bisa mengandalkan aku," jawab Monik dengan senyum menggodanya.
Tapi yang digoda tidak sedikit pun melihat ke arahnya.
"Monika, tolong buatkan kopi," pinta Leo.
"Baik, Pak."
"Terima kasih," jawab Leo datar.
Monika lalu ke luar untuk membuatkan kopi yang diminta Leo.
Tidak berapa lama kemudian, Monika sudah kembali lagi dengan membawa secangkir kopi.
"Kopinya Pak." Monika menaruhnya di atas meja. Leo hanya diam, sibuk dengan dokumen yang sedang dibacanya.
Melihat bosnya seperti itu, Monika secara diam-diam keluar dari ruangan. Ada sedikit kecewa dihatinya, Leo yang dia incar cukup lama tidak pernah sedikit pun melihatnya.
"Pak Leo susah sekali aku taklukan, wanita yang dia cintai sungguh beruntung," gumam Monika.