Di sebuah kota kecil daerah pesisir. Hiduplah keluarga miskin yang terdiri dari sepasang suami istri beserta kedua putrinya. Mereka hidup damai sebagai nelayan. Menjual ikan dan bermain di pantai menjadi kegiatan keluarga mereka. Meski harus terbakar sinar matahari, namun mereka terlihat menikmati. Mengandalkan sebuah sampan tua, mereka bisa menangkap banyak ikan di tengah lautan luas.
Semua tercukupi dan berada dalam ketentraman, namun semua berubah semenjak musibah itu datang. Sebuah badai tsunami bertamu dan menghancurkan semua pemukiman warga. Banyak warga yang mati terseret derasnya arus. Bahkan rumah dan harta benda mereka pun berhasil disapu bersih tak bersisa.
Saat itu kedua putri mereka sedang menginap di rumah neneknya yang berada di perbukitan jauh dari pesisir. Dari semua warga hanya mereka berdualah yang selamat hingga kini.
"Apa kau sedang menceritakan tentang kehidupan Sesilia?" tanya Ruri seakan tak percaya.
Ayah mengangguk. "Itulah yang aku tahu," ucap Ayah yang kembali melanjutkan kisahnya.
Sesilia tinggal bersama Neneknya. Menjalani hidup yang keras demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sesilia nyaris berhenti sekolah, namun semua itu tidak terjadi karena kakaknya sudah lebih dulu berhenti dan bekerja di pasar.
Tetapi itu semua tidak berjalan lancar karena Neneknya meninggal. Keputusan Paman untuk menjual rumah memaksa mereka untuk ikut ke kota. Saat itu Sesilia sangatlah belia. Ia memiliki wajah yang cantik juga sikap yang anggun.
"Apa kau yakin?" tanya Ruri sambil mengernyitkan dahi.
"Yah," jawab Ayah diikuti anggukan beberapa kali.
"Bahkan aku sempat melihatnya manis di usia remaja," sambung Ayah diikuti wajah kesedihan.
"Cerita ini semakin menarik. Teruskanlah!" pinta Ruri yang terlihat begitu bersemangat mengetahui kehidupan Sesilia.
Kehidupan kota ternyata jauh lebih buruk. Impian bisa hidup tenang dan bersekolah seperti kebanyakan orang hanyalah tinggal mimpi. Sesilia dan kakaknya justru menjadi budak. Mereka dianggap pembantu dan diberi kehidupan yang menyedihkan. Makan sisa keluarga pamannya dan tidur di kamar kecil tanpa ranjang. Hanya bertilam tua dengan banyak barang, hingga kamar itu lebih layak disebut gudang.
Meskipun begitu, Sesilia tetap merasa bahagia karena memiliki Kakak di sisinya. Kakaknya selalu ada untuk membantu dan membelanya. Tak jarang Kakaknya bertarung dengan pria yang sering mengganggu Sesilia. Itulah mengapa Sesilia pandai bergaya tomboy, itu semua karena Kakaknya yang lebih dulu bergaya seperti itu.
Ruri tersenyum dan mulai menatap kosong ke arah parkiran. Ia membayangkan bagaimana jadinya jika Sesilia berubah menjadi gadis yang anggun.
"Hei! Apa yang sedang kau hayalkan. Aku tau ada Sesilia di dalam pikiranmu. Apa kau membayangkan Sesilia mengenakan gaun terbuka bagian atasnya?" ledek Ayah sambil menyenggol lengan Ruri.
Ruri hanya tertawa dan menggeleng. Ia berusaha mengelak, namun sepertinya Ayah tidak mudah dikelabui.
Mereka memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah mewah paman dan menumpang tinggal di bawah tol, pinggir jalanan. Rumah mewah bak surga itu terasa bagai neraka untuk mereka.
Kehidupan jalanan jauh lebih menyenangkan. Setidaknya begitulah pengakuan Sesilia. Mereka bisa makan apa aja dan kapan saja, meski tak jarang mereka justru tidak makan apapun seharian. Bekerja serabutan, bahkan yang mengandalkan tenaga layaknya pria pun mereka kerjakan. Tidak ada jalan lain kecuali melakukannya demi bertahan hidup.
Tepat diusianya yang ketujuh belas tahun, Kakak Sesilia mulai merasa lelah dengan kehidupan mereka yang terus berada di jalanan. Saat itu Kakak Sesilia bertemu dengan seseorang untuk meminta bantuan. Ia menerima pekerjaan dan dijanjikan akan diberi kehidupan yang nyaman.
Sesilia dititipkan pada Nenek tua si pengemis jalanan. Sedangkan Kakaknya ikut bekerja di luar kota dan meninggalkan uang satu juta rupiah. Wajah bahagia pun terlihat, Sesilia yang tak pernah memegang uang banyak pun mendadak yakin akan rencana Kakaknya.
Sebulan berlalu dan sebuah surat pun datang. Surat berisi kabar dan uang itu membuat Sesilia semakin semangat menjalani hidup. Penantian panjang menunggu kepulangan Kakaknya berakhir. Karena itu menjadi surat terakhir baginya.
"Aku menemukan Sesilia mencopet di pasar. Hidupnya begitu kacau setelah kematian si pemulung tua. Jauh sebelum menangkap basah dirinya, aku sudah lebih dulu mengawasi dan mencari tahu tentang dirinya. Itulah mengapa ia bersedia ikut dan tinggal bersama menjadi keluarga," jelas Ayah dengan raut wajah kesedihan. Meskipun mereka tidak memiliki ikatan darah, namun kebersamaan mereka membuat mereka saling perduli dan menyayangi.
Kenyataan ini membuat Ruri tersentuh hingga matanya berkaca-kaca. Kisah memilukan yang Sesilia hadapi membuatnya menjadi sosok yang kuat. Tak heran jika Sesilia bisa menjadi sehebat seperti saat ini. Ia tumbuh di dunia liar dengan hanya mengandalkan kemampuan diri.
"Bagaiamana, apa kau juga ingin menjadi bagian keluarga ini?" tanya Ayah dengan tangan kanan yang bersarang pada bahu Ruri.
Ruri tersenyum dan mengangguk. Masih ada banyak hal yang ia tidak ketahui tentang keluarga ini. Namun, yang pasti mereka berkumpul dengan misi yang sama. Yaitu mencari keluarga mereka yang hilang.
"Maaf, apakah anda wali dari Sesilia? Anda diminta menemui Dokter sekarang," pinta seorang perawat yang kini menghampiri mereka.
Ruri memutuskan kembali ke kamar setelah Ayah pergi menemui Dokter. Ia melihat Sesilia terbaring sendirian di sana. Entah kemana perginya ibu dan Dino. Ingin memastikan keadaan Sesilia, Ruri pun memilih duduk di bibir ranjang sambil menatap ke arahnya.
"Aku ingin pulang," ucap Sesilia dengan nada terputus-putus.
"Kau baru siuman. Itu tidak mungkin," ucap Ruri yang mencoba menahan. Meskipun ia tahu betapa keras kepalanya Sesilia.
"Kau harus membawaku kabur, jika tidak ingin dalam bahaya," jelas Sesilia yang mencoba memaksa bangkit.
"Apa kau sudah gila?" tanya Ruri yang kembali menahan kedua tangan Sesilia agar ia tidak bisa kembali bangkit.
"Kau akan menyesal menahanku. Ayah tidak akan punya uang untuk membayar biaya rumah sakit. Jadi dengar dan turuti aku!" ungkap Sesilia dengan geram.
Ruri terdiam sesaat dan terlihat bingung harus melakukan apa. Sedangkan Sesilia sudah duduk dan mencoba melepas selang infus yang tertancap di punggung tangannya.
"Kita pergi, tapi jangan lepas infusnya. Kau hanya perlu mematikannya," ucap Ruri yang kini mulai membantu Sesilia. Namun, jauh dalam lubuk hatinya ia merasa ragu akan tindakannya. Terlebih yang ia tahu saat ini ayah sedang menemui Dokter.
"Kita tidak punya banyak waktu. Bawa aku dengan meja itu," ucap Sesilia sambil menunjuk meja dorong yang digunakan untuk mengantarkan makanan ke kamar pasien.
"Bagaimana caranya?" tanya Ruri yang masih bingung akan keberadaan meja itu di kamar Sesilia.
"Aku akan berada di rak bawah dan kau bisa menutupiku dengan seprai. Apa itu saja harus diberitahu?" ucap Sesilia dengan nada kesal.
Hanya menurut seperti lembu yang dicucuk hidungnya, kini Sesilia sudah berada di bawah meja dan tertutup seprai putih. Memilih jalan belakang yang sering dilewati pekerja. Seakan didukung suasana, rencana mereka berjalan lancar dan kini mereka tiba di luar rumah sakit.
"Selanjutnya bagaimana?" bisik Ruri yang masih bingung akan situasi yang ada.
"Hei! Apa yang kau lakukan di sana?" tanya seorang satpam ke arah Ruri.