Ketika Ratih masih merasakan kesedihannya ditinggal Hermawan, ia mengetahui fakta lain selain suaminya itu telah bangkrut. Hermawan juga telah menggadaikan sertifikat rumah sebagai jaminan kepada pihak Bank. Awalnya pembayaran kepada Bank berjalan lancar, akan tetapi karena perusahaannya mengalami kerugian, dia tidak dapat melunasi cicilan kepada pihak Bank.
Dan puncaknya ketika kemarin dia mendapatkan surat peringatan yang terakhir, Ratih merasa sangat tertekan tidak tahu harus berbuat apa. Sehingga dia tidak sadarkan diri karena terlalu banyak meminum obat-obatan itu.
Julia dan Ferdian sudah mengetahui kabar tentang Ratih yang masuk rumah sakit, termasuk penyitaan rumah Hermawan. Pagi itu, mereka mengobrol sebelum Ferdian pergi ke kantor.
"Ratih kamu sudah tamat sekarang, setelah ini akankah kau memohon padaku?" Julia menggumam. Di masa lau dia sangat membenci ketika harus meminta bantuan kepada Ratih yang selalu menceramahinya dulu, walaupun pada akhirnya Ratih mau membantunya.
"Itu tidak mungkin, dia tidak akan datang kemari jika masih memiliki harga diri, hubungan kita sudah sangat buruk," ucap Ferdian.
Benar juga pikir Julia, namun seolah tidak puas dengan segala penderitaan Ratih, dia masih ingin membuat Ratih lebih tersiksa, ia terlihat memikirkan sesuatu.
Ini adalah hari ke tiga Ratih di rawat, kondisinya sudah membaik dan sore ini sudah di izinkan untuk pulang. Kirana yang sudah mengetahui rumahnya telah disegel pihak Bank kebingungan dan cemas. Bagaimana reaksi ibunya itu jika nanti pulang ke rumah dan melihat apa yang terjadi.
Tuk...tuk...tuk...
Mereka mendengar suara birama sepatu menggema di dekat pintu, mereka melongok pada asal suara itu. Seseorang dekat pintu berdiri di sana dengan berpenampilan glamor. Tangannya menenteng tas branded keluaran suatu brand terkenal, baju yang dikenakan rancangan desainer ternama, kalung dan beberapa cincin berlian berkilauan menempel di badannya.
Itu adalah penampilan wanita orang kaya baru. Ungkapan "Money can't buy class" memang pantas di sematkan kepada wanita itu, siapa lagi kalau bukan Julia.
"Ada apa Anda datang kemari?" tanya Kiarana, dengan ketus ketika melihat sosok Julia datang.
"Tentu saja aku datang karena ingin bermurah hati kepada kalian, aku ingin menjenguk besan oh maksudku mantan besanku yang katanya sedang terbaring sakit," balas Julia.
"Tidak perlu, silahkan Anda keluar dari sini! Lagipula kami akan segera pulang sekarang," ucap Kirana. Ratih enggan meladeni Julia, ia memilih menutup rapat mulutnya dan memalingkan muka memilih menatap langit biru lewat jendela.
"Hmm ... aku sangat kasihan melihat keadaan kalian, mengapa kesialan terus menghampiri kalian? Untung saja Adrian tidak jadi menikahimu dan memilih wanita yang tepat untuknya. Yang lebih kaya, cantik dan dari keluarga terpandang, jika itu terjadi kami bisa ikut sial bersama kalian," ejek Julia dengan entengnya.
"Aku juga beruntung tidak menikah dengannya dan terhindar dari mertua yang begitu licik sepertimu," kata Kirana.
"Ha ... ha ... ha ... kamu pikir akan ada mertua yang akan menerimamu nanti, gadis bodoh dan sok lugu sepertimu. Ditambah jika kau nanti memiliki anak haram tanpa seorang ayah," hina Julia, seakan ia lupa Kirana hamil hasil buah perbuatan anaknya juga yang berarti itu adalah cucunya sendiri.
"Jika kedatanganmu kemari untuk menghina kami, cepat tinggalkan ruangan ini! Sebelum aku memanggil pihak keamanan untuk menyeretmu keluar," kata Kirana dengan kesal.
"Coba saja! Mereka tidak akan berani melakukan itu padaku, dan juga aku memang akan pergi karena aku takut tertimpa sial dari kalian jika berlama-lama di sini. Oh ya, jangan lupa sebelum meninggalkan rumah sakit, kau harus melunasi biaya perawatan ibumu terlebih dahulu! Kau masih memiliki uang kan? Jika tidak aku bisa sedikit membantumu," kata Julia.
Kirana sudah sangat jengah dengan segala hinaan Julia, dia membalikan tubuhnya enggan menghiraukan ucapan Julia. Akan tetapi rupanya Julia masih belum cukup puas untuk terus membuat Kirana dan Ratih kepanasan.
"Apa kalian sudah memiliki tempat tinggal baru sekarang? Ku dengar ...."
"Sudah cukup kau mengusik kami! Sekarang cepat keluar!" bentak Kirana. Kali ini dia teramat marah dengan ucapan dan sikap Julia.
Julia tidak mengira jika Kirana akan membentaknya," Ow, rupanya kau sudah sangat berani sekarang, baiklah aku akan pergi sekarang lagipula suasana di sini begitu suram," ucapnya. Dengan santai ia pergi, sebelum itu ia sempat melirik ke arah Ratih yang nampak tidak memiliki semangat hidup.
Sore hari mereka baru meninggalkan rumah sakit, ketika di lobi sudah ada Adrian di sana sengaja menunggu mereka. "Kirana?" sapanya.
Kirana menghela napasnya dengan kasar, lalu memalingkan muka tidak menjawab Adrian. Dia dan Ratih terus saja berlalu tanpa menghiraukan Adrian yang melihat ke arahnya.
"Kirana, Ibu, tunggu! Aku akan mengantarkan kalian pulang," seru Adrian.
"Apakah kamu dan keluargamu tidak ada urusan lain, selain mengganggu kami?" kata Kirana, dengan menatap Adrian sinis.
"Maksudmu?" tanya Adrian.
"Sudah Adrian tolong jangan menggangu kami lagi! Aku sudah tidak ingin lagi melihatmu dan keluargamu," Kirana berkata dengan menatap engga Adrian.
Tiba-tiba sebuah suara mengalihkan perhatian mereka, "Kirana?"
Kirana menengok kepada pemilik suara itu, "Kau akhirnya datang, ayo aku ingin cepat pulang!" ujar Kirana, berlagak seolah menantikan kadatangan Zayn.
Sontak saja Adrian geram, tidak senang dengan kehadiran Zayn yang tiba -tiba muncul. Zayn yang mengerti dengan situasi itu, lalu menghampiri Kirana dan Ratih. Mengambil tas yang ada di tangan Kirana dan memapah Ratih.
"Maafkan aku datang terlambat, ayo kita pulang!" ucap Zayn, tanpa melihat ke arah Adrian yang sedang melihatnya muram. Mereka lalu meninggalkan tempat itu tanpa menghiraukan lagi kehadiran Adrian yang terpaku dan terbakar cemburu.
Mereka akhirnya tiba di depan rumah yang bertuliskan "DISITA", Ratih melihat ke sekelilingnya lalu bertanya, "Apa ini memang rumah kita? Aku pikir kita salah rumah."
Ratih tentu tahu ini adalah rumahnya yang ia tempati selama bertahun-tahun, yang menyimpan berbagai kenangan indah bersama suami dan anaknya, mana mungkin ia lupa. Tetapi karena dia tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi, dia menolak kenyataan itu. "Ini bukan rumah kita Kirana!"
"Ini benar rumah kita Bu, tidak apa-apa kita bisa mencari rumah lain yang cukup untuk kita berdua nanti," ucap Kirana mencoba menenangkan ibunya yang sudah mulai panik.
"Ibu tidak ingin rumah lain, ini rumah yang penuh kenangan kita dan ayahmu, ini rumah tempat kamu di lahirkan. Kejam, mereka sangat kejam!" Ratih menangis mulai meraung.
Kirana mendekap ibunya dengan perasaan sedih, "Bu tenanglah! Ini memang berat tapi kita pasti bisa melewati ini, Ibu harus kuat!"
Setelah Ratih mulai tenang mereka masuk ke dalam rumah, tidak ada yang berubah dengan rumah itu di dalamnya, namun rasa perih merasuki hati Kirana. Dalam hitungan hari dia harus segera meninggalkan rumah ini, bahkan jika dia harus menjual mobilnya pun tidak akan cukup untuk menutupi hutang-hutang yang ditinggalkan ayahnya. Bagaimana ia bisa menyelamatkan rumah penuh kenangan ini? Pikirnya.
Hari-hari Ratih kini dipenuhi dengan segala kenangan di masa lalu, ia seakan tidak ingin menjalani kenyataan yang ada di hadapannya. Terkadang dia melamun terkadang sering bergumam sendiri. Semangatnya telah patah bersama kenyataan hidup yang tidak bisa ia terima. Untuk mandi dan makan, Kirana sendiri yang harus melakukan itu untuk ibunya.
Hingga pada suatu hari Kirana mendengar ibunya tertawa begitu keras disertai seringai kesedihan, kemudian bisa berubah tertawa kembali dan berbicara sendiri.
Kirana melihat ibunya dengan linangan air mata, dia tidak bisa menerima semua rentetan peristiwa yang menimpa dia dan keluarganya. Ibunya sakit sangat sakit!
"Tuhan, mengapa harus seperti ini?" batinnya.
Maaf, di bab-bab awal banyak kesalahan tanda baca. Author baru sadar, setelah di cek dan dibaca kembali untuk dibuat versi English.