Sikap Sri Wulandari jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh Wana Aji yang keras dan terkesan jumawa. Bahkan tinggi hati dan berangasan.
Wana Aji tidak mau mengalah barang sedikitpun. Padahal persoalan tersebut bukanlah urusannya, tapi ia anggap sudah seperti urusannya sendiri.
Sejatinya, Wana Aji sudah dapat memahami, bahwa ilmu yang dimiliki oleh Gentar jauh sekali dengan kemampuan dirinya. Gentar setingkat dengan Sri Wulandari yang menjadi gurunya.
Namun, Wana Aji tidak pedulikan itu. Rasa benci dan ada sebab lainnya yang tidak dapat dijelaskan yang mendorong ia bersikap seperti itu terhadap Gentar.
Gentar berpaling ke arah Dewi Rara Sati. Lalu berkata lirih, "Aku sangat berterima kasih kepadamu, kau telah berbuat baik terhadapku, dan mau membelaku di saat genting seperti ini," desis Gentar mengarah kepada Dewi Rara Sati.
"Ya, aku ingin melihat kesombongan para pendekar dari Padepokan Iblis Merah itu, apakah sesuai dengan sikap dan perilaku mereka?" jawab Dewi Rara Sati.
Walaupun demikian, Gentar tampak keberatan jika wanita itu ikut terlibat dalam persoalan yang sedang di hadapinya.
"Aku rasa, sebaiknya kau diam saja dulu. Biarkan aku yang menghadapi mereka!" ucap Gentar lirih.
Perkataan dari Gentar ternyata menumbuhkan rasa emosi dalam diri pendekar wanita itu. Sehingga, ia pun berkata, "Apakah kau menolak pertolongan yang aku berikan ini?"
"Kau jangan salah paham! Bukannya aku tidak sudi menerima bantuanmu, ini adalah urusanku sendiri yang tersangkut dan harus membereskannya sendiri!"
Dewi Rara Sati tidak mengindahkan perkataan dari Gentar. Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung menyerang Wana Aji dengan menggunakan sebilah pedang dalam genggaman tangannya.
"Sungguh keras kepala wanita itu," berkata Gentar sambil mengelus dada.
Tapi apa boleh buat, ia harus membela kehormatannya sendiri dan juga melindungi Dewi Rara Sati yang berusaha membela dirinya, maka ia pun segera menghunus pedang pusaka Almaliki, dan langsung menyerbu ke dalam barisan para pendekar yang sudah mengepungnya itu.
Para pendekar itu pun sudah mulai bergerak. Beberapa senjata tajam gemerlapan meluncur keluar dari dalam barisan langsung menyerang Dewi Rara Sati, sedangkan senjata lainnya sudah menyerang ke arah Gentar Almaliki.
Gentar mundur beberapa langkah ke belakang dengan satu gerakan 'Lahaula' ia pun segera mengelak dari serangan senjata-senjata yang terus memburunya.
"Dewi, berhati-hatilah!" teriak Gentar memperingati Dewi Rara Sati agar tidak bersikap lengah dalam menghadapi para pendekar itu.
Beberapa saat kemudian, senjata-senjata tersebut tiba-tiba saja sudah mengancam dirinya. Dalam waktu singkat, pedang dan tombak terus menyerang beruntun. Hingga dalam waktu sebentar saja, Gentar dan Dewi Rara Sati sudah ditelan dalam barisan para pendekar iblis merah.
Sementara itu, pria senja yang sedari tadi ada di lokasi pertempuran tersebut, tetap berdiri di pinggir arena pertarungan. Dengan sorot mata dingin, ia terus menyaksikan pertempuran hebat itu.
Tapi dalam hatinya timbul satu perasaan yang tidak dapat diungkapkan. Ia hanya dapat berkata dalam hati, "Padepokan Iblis Merah adalah satu perguruan silat besar kenamaan, sedang dua anak muda itu juga adalah murid-murid dari orang-orang yang berilmu tinggi yang sudah menguasai dasar ilmu kanuragan dengan baik. Karena tumbuh kesalahpahaman di antara mereka, terjadilah pertarungan ini."
Pria senja itu menghela napas dalam-dalam. Ia merasa bingung harus memulai dari mana, agar mereka yang bertikai dapat dilerai dengan mudah. Sedangkan dirinya sendiri mempunyai kedudukan sebagai sesepuh dalam rimba persilatan, sudah sewajarnya jika ia turun tangan dan berusaha mendamaikan mereka yang sedang berseteru.
"Sudah terlambat bagiku untuk bisa melerai mereka. Di antara mereka sudah dirasuki oleh hawa nafsu, terlebih lagi yang melanda kubu para pendekar Iblis Merah. Kelompok itu sangat berambisi untuk membinasakan Gentar Almaliki," berkata lagi pria senja itu, tak hentinya ia mengamati gerak-gerik kedua belah pihak yang sedang bertikai.
Di arena pertarungan tampak para pendekar dari Padepokan Iblis Merah terus menggempur pertahanan Gentar dan juga Dewi Rara Sati. Mereka sudah mengerahkan kekuatan yang sangat besar terhadap kedua pendekar muda itu.
Dengan demikian, pertahanan Gentar dan Dewi Rara Sati sudah mulai terkurung dan mereka pun tampak lebih berhati-hati lagi dalam menghadapi serangan ganas dari para pendekar iblis merah.
Berulang kali serangan pedang dan tombak meluncur deras ke arah dua pendekar muda itu. Serangan yang sangat membahayakan bagi nyawa mereka. Serangan itu merupakan serangan yang terhebat dan ganas sekali. Mendadak terdengar tepukan tangan dua kali, dan seketika meluncur sebuah kekuatan yang berupa bola api meluncur deras ke udara. Kemudian terdengar pula benturan senjata bersahutan memecah keheningan malam.
"Gentar, berhati-hatilah!" teriak Dewi Rara Sati memperingati Gentar agar tidak lengah.
Beberapa tombak pun melesat tinggi kemudian meluncur ke bawah hendak menuju ke arah Gentar. Dengan gerakan cepat, Gentar melompat tinggi untuk menghindari serangan tersebut.
Tiba-tiba saja, para pendekar iblis merah itu hilang kendali atas senjata mereka. Pedang dan tombak yang mereka genggam tiba-tiba terlepas.
Melihat pemandangan seperti itu, Gentar dan Dewi Rara Sati tampak kaget dan tercengang, karena tanpa mereka duga ada sebuah serangan dahsyat yang menyerang para pendekar Iblis Merah, dan itu bukan merupakan perbuatan Gentar ataupun Dewi Rara Sati.
Itu semua adalah serangan senyap yang telah dilakukan oleh pria senja yang tengah berdiri santai di pinggir arena pertarungan. Tidak ada satu pun yang mengira kalau serangan tersebut merupakan perbuatan orang tua itu.
Beberapa saat kemudian, Gentar dan Dewi Rara Sati sudah keluar dari dalam arena pertarungan. Mereka berdua dapat memecah konsentrasi para pendekar yang mengurung mereka.
Itu merupakan sebuah keberuntungan bagi Gentar dan juga Dewi Rara Sati. Jarang sekali orang yang bisa selamat jika sudah dikepung oleh para pendekar sakti itu.
Wana Aji yang menyaksikan dua pendekar muda itu lompat keluar dari dalam lingkaran sikapnya berubah seketika, dalam sorot matanya terdapat kemarahan dan emosi tinggi.
Dengan suara rendah ia menyebut nama Dewa, bersama para pendekar lainnya, ia memencar.
Sorot matanya begitu tajam, Wana Aji terus-menerus memperhatikan gerak-gerik Gentar dan Dewi Rara Sati. Kemudian, ia berkata dengan suara datar, "Seandainya kalian ini berhasil menerobos keluar dari cengkraman tangan kami, maka kalian berdua akan kami binasakan!"
"Aku pikir kau terlalu jumawa berkata seperti itu," sahut Dewi Rara Sati tertawa dingin.
Wana Aji menatap tajam wajah Dewi Rara Sati dengan penuh emosi. Namun, ia hanya diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Lantas, ia memejamkan mata. Dewi Rara Sati paham dengan apa yang hendak dilakukan oleh lawannya itu, dan ia tidak bertindak gegabah terhadap para pendekar yang ada di hadapannya.
Meskipun ia besar mulut, namun Dewi Rara Sati tetap bertindak hati-hati terhadap lawannya. Perlahan ia menyentuh pundaknya Gentar sambil berbisik lirih, "Hati-hati dengan Wana Aji!"
Gentar menoleh dan menganggukkan kepalanya pelan.
Dalam diam, Gentar langsung mengerahkan kekuatan tenaga dalam untuk menghadapi lawannya. Suasana semakin tegang, di antara mereka belum ada yang bergerak untuk memulai kembali pertarungan tersebut.
*
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!