Melihat sikap Gentar yang berubah sedih, Ki Ageng Raksanagara tertawa lepas, "Ha ... ha ... ha ... kau ini seperti anak kecil!" kata Ki Ageng, seakan-akan merasa lucu melihat sikap muridnya itu. Lantas, ia pun berkata,
"Gentar! Kau ini sudah menjadi seorang pendekar, tak selayaknya kau menangis? Sudahlah, jangan menangis lagi!" kata Ki Ageng Raksanagara tak hentinya mentertawakan Gentar. "Kau akan menjadi pendekar yang kuat nomor satu di dunia persilatan, tak pantas jika kau mudah meneteskan air mata!" sambung Ki Ageng Raksanagara mengelus lembut pundak Gentar.
Dengan demikian, Gentar segera menghapus air matanya. Kemudian berkata, "Aku harus berangkat kapan, Guru?" tanya Gentar.
"Berangkatlah sekarang! Kalau kau masih memperlihatkan kesedihanmu, aku akan merasa tidak senang melihatnya. Jadi, hentikanlah tangisanmu itu!" jawab Ki Ageng Raksanagara menegaskan.
Sejatinya, apa yang sudah Ki Ageng ucapkan tidak senada dengan apa yang ia rasakan saat itu. Ia pun sangat merasa sedih dan tentunya akan merasa sepi jika Gentar pergi meninggalkannya.
Meskipun di padepokan tersebut masih banyak murid yang berlatih selain Gentar. Akan tetapi, hanya Gentar-lah satu-satunya murid Ki Ageng dari bangsa manusia, selebihnya merupakan para murid dari bangsa jin yang berasal dari berbagai kerajaan gaib di puncak gunung Kalingking dan sekitarnya.
Gentar segera menyeka air matanya, Kemudian, ia bersimpuh di hadapan gurunya seraya berkata, "Guru, bagaimanapun kau adalah guruku yang dalam kurun waktu satu tahun ini telah banyak mengajarkan aku ilmu kebajikan. Jika ada orang bertanya tentang hubungan kita, maka aku tidak akan segan akan menyebutmu sebagai guruku!" tandas Gentar menegaskan.
Apa yang sudah diutarakan oleh Gentar, sepertinya sangat mengharukan Ki Ageng Raksanagara. Maka orang tua itu pun termangu dan merasa pilu mendengarnya. Ki Ageng Raksanagara menghela napas panjang, kemudian berkata, "Terserah apa maumu, Anak muda!"
"Terima kasih, Guru," kata Gentar bangkit dan meraih tangan gurunya. Kemudian, ia mencium punggung telapak tangan Ki Ageng Raksanagara penuh rasa hormat.
Ki Ageng hanya tersenyum sambil mengusap kepala muridnya itu. Dengan lemah lembut, ia memberikan banyak nasihat kepada Gentar yang saat itu hendak meninggalkan dirinya.
Usai memberikan nasihat kepada Gentar, Ki Ageng Raksanagara mulai merapatkan duduknya dan menutup matanya perlahan, sambil mengucap kalimat tauhid tak henti-hentinya.
Beberapa saat kemudian, dari hadapannya muncul beberapa buah benda pusaka berupa tujuh buah keris berukuran satu jengkal tangan.
"Guru sejatimu adalah Syaikh Maliki yang bersemayam di dalam tujuh benda pusaka ini, pada masa lalu ketika awal peradaban pulau Juku terbentuk. Nama Syaikh Maliki sangat tersohor hingga belahan jagat raya," kata Ki Ageng berhenti sejenak.
Gentar menyimak dengan baik perkataan gurunya itu, sambil terus mengamati tujuh keris pusaka tersebut. Kemudian, Ki Ageng Raksanagara berkata lagi, "Tujuh bilah keris pusaka ini adalah bukti bahwa kau sudah menjadi muridku atas dasar persetujuan guru sejatimu yakni Syaikh Maliki. Maka, bawalah ketujuh benda ini!"
Gentar tampak penasaran dengan ketujuh keris pusaka itu, lantas ia pun berusaha untuk menyentuh salah satu dari keris pusaka tersebut. Akan tetapi, Gentar terkagetkan dan merasa tercengang ketika melihat ketujuh keris itu tiba-tiba merasuk ke dalam pergelangan tangannya kemudian hilang tanpa bekas.
Dengan demikian, ia pun bertanya lagi kepada Ki Ageng Raksanagara yang duduk bersila di hadapannya, "Kenapa tujuh keris ini masuk ke dalam pergelangan tanganku, Guru?" Gentar mengangkat kedua tangannya sambil mengamati pergelangan tangannya itu.
Ia menyasar pergelangan tangannya secara bergantian, memastikan apakah ada jejak di kulit pergelangan tangannya. Namun, tidak ada satu pun bekas tertoreh di tangannya.
Siapa sangka, ketika ia sedang mengamati pergelangan tangannya, dan masih dalam keadaan terheran-heran. Ki Ageng Raksanagara sudah lenyap dari hadapannya.
Gentar bangkit tercengang sekian lamanya, jiwa dan pikirannya diselimuti oleh rasa penasaran yang begitu tinggi. Kemudian, ia berteriak, "Guru! Kau di mana?"
Namun, Gentar tidak mendapatkan jawaban dari Ki Ageng Raksanagara yang sudah lenyap dari pandangannya. Suasana tempat itu pun berubah, tidak ada lagi bangunan pendapa atau bangunan utama dari padepokan yang selama satu tahun terakhir menjadi tempat tinggal Gentar bersama para murid-murid lainnya.
Tempat tersebut kembali sunyi, tidak ada apa-apa lagi, hanyalah sebuah gundukan bebatuan besar dan sebuah semak belukar saja.
"Ternyata, Ki Ageng Raksanagara bukanlah manusia biasa pada umumnya," desis Gentar mulai memahami bahwa gurunya itu bukanlah seorang manusia biasa.
Kemudian, ia mulai angkat kaki dari tempat tersebut yang hanya menyisakan sebuah hutan belantara yang rimbun dengan pepohonan berdaun lebat.
"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Gentar melangkah meninggalkan tempat tersebut.
Singkat cerita ...
Gentar hari itu sudah menyebrangi lautan, dari pulau Juku ke pulau Kaliwana dengan menumpang perahu nelayan. Siang itu, ia sudah berada di sebuah kota yang berada di pulau Kaliwana. Kota tersebut merupakan tempat kelahirannya.
Walaupun di kota tersebut, ia sudah tidak mempunyai sanak saudara atau kenangan yang indah yang bisa dibanggakan. Namun, meskipun demikian, Gentar tetap menjadikan kota tersebut sebagai tujuan utama setelah hampir satu tahun ia pergi meninggalkannya.
Matanya kembali menyaksikan keindahan kota tempat kelahirannya yang sudah tidak asing lagi baginya. Para penduduknya pun tidak berubah, mereka masih orang-orang yang dulu yang ia kenal.
Satu tahun silam, Gentar mendapatkan perlakuan tidak adil dari warga kota tersebut. Dulu di kota itu, ia merupakan seorang anak piatu yang keadaannya seperti seorang pengemis kecil, tidak ada orang yang peduli, tidak ada orang yang menaruh simpati, bahkan sebaliknya, semua orang pada menghina dan mengolok-olok dirinya.
Namun, segalanya memang bisa berubah. Seperti apa yang dialami oleh Gentar, dalam kurun waktu satu tahun. Gentar sudah dapat membuktikan, bahwa dirinya sudah menjadi orang kuat dan menjadi seorang pendekar yang sangat diperhitungkan di dunia persilatan.
"Untuk saat ini mungkin tidak akan ada lagi yang berani menghinaku," desis Gentar sambil mengarahkan pandangannya ke sebuah jalan lurus yang mengarah ke sebuah tempat pemukiman padat penduduk.
Gentar berjalan dengan gagahnya menuju sebuah Masjid dengan maksud hendak menemui Usman yang dulu sangat berjasa terhadap dirinya.
Dengan langkah tegak, Gentar terus berjalan. Memang benar, tak ada satu pun orang yang berani menghinanya. Orang-orang yang dulu pernah menghina dan memperlakukan dirinya tidak baik, hari itu tampak terkaget-kaget dengan kedatangannya. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang menunjukkan sikap ketakutan. Secara diam-diam mereka mulai menutup rapat pintu dan jendela rumah mereka.
Gentar pun terheran-heran, melihat sikap warga yang sedemikian rupa. Sehingga, ia pun bertanya-tanya dalam hati kecilnya, "Apakah mereka takut karena aku menyanggul sebilah pedang? Atau karena sikapku yang kurang ramah terhadap penduduk?" Demikianlah, Gentar bertanya kepada hati kecilnya sendiri.
*