Tải xuống ứng dụng
7.94% Drugs + Love = Addicted / Chapter 31: Everything IS Okay

Chương 31: Everything IS Okay

Ini pertama kalinya Jenna dan Blake berada satu mobil setelah sekian berjauhan dan bersikap layaknya orang asing. Bahkan musuh bebuyutan. Kali ini, baik Jenna maupun Blake terlihat bersungguh-sungguh menjalin hubungan yang baik.

Mereka berbincang dan sesekali menggoda satu sama lain.

Melihat tawa di wajah Jenna membuat hati pria itu serasa mendapat air di gurun yang gersang. Ia bahagia, dan rasanya tak ingin mengalihkan tatapannya dari wajah gadis cantik itu.

Berkali ia melirik Jenna dengan ekor matanya. Sesekali wajahnya mengulas senyum, bahagia. Hatinya terasa sejuk tetapi juga hangat. Setelah apa yang ia lakukan pada Jenna gadis itu masih memberi kesempatan bagi dirinya untuk memperbaiki segalanya.

"Hmm ... Jenna, apakah kau masih berkuliah?" tanya Blake, kemudian, setelah berpikir berkali-kali.

Ia sungguh ingin tahu apakah Jenna masih memiliki semangat untuk melanjutkan kuliah dengan keadaannya yang sekarang. Ia telah memikirkan sesuatu yang mungkin akan lebih baik bagi Jenna, jika memang gadis itu memutuskan untuk berhenti.

Jenna terlihat berpikir beberapa saat.

"Entahlah ... setelah beberapa hal yang telah kualami, rasanya tak ada lagi semanagat untuk melanjutkan semuanya. Tak mungkin menjadi dokter jika penyakitku sendiri tak mampu kuatasi. Mungkin aku akan rehat untuk beberapa waktu," jawab gadis itu.

"Memangnya kenapa? Apa kau ingin menawarkan kegiatan yang lebih baik dibanding melanjutkan kuliah?" pancing Jenna, menanti jawaban pria yang fokus dengan kemudi.

Blake melirik ke arah Jenna, tetapi tetap fokus pada jalanan ramai yang terbentang di hadapannya.

"Begitukah? bagus kalau begitu. karena sebenarnya aku berencana ingin menawarimu bekerja di kantor utama, menemani dan membantuku untuk mengurus beberapa hal."

"Lalu ...?" tanya gadis itu, curiga dengan tawaran Blake. Tidak sungguh-sungguh, hanya ingin menggoda pria itu.

Apa yang dilakukan Blake sangat di luar kebiasaan, dan hal yang dibayangkan Jenna selama ini. Di matanya, Blake adalah sosok pria pengecut yang lari dari masalah sejak dulu. Namun, ia tak menyangka kali ini pria itu justru memutuskan untuk bertahan di sisinya.

Itu berarti pria itu harus kuat menyaksikan kondisi terburuk Jenna yang mungkin saja datang sewaktu-waktu. Dan sepertinya Blake tak lagi perduli akan hal itu. Ia sudah berjanji, bukan?

"Lalu? lalu apa? Tentu saja aku bisa memiliki waktu lebih banyak denganmu. Kita akan selalu bersama, ke mana pun pergi, aku akan membawamu." Pria itu tersenyum penuh arti, seolah yakin kalau Jenna pasti akan setuju dengan keinginannya.

Namun, Jenna tak ingin semudah itu mengiyakan, meski ia tahu Blake pastilah sudah merencanakan dengan sangat matang apa saja yang ia butuhkan untuk membuat Jenna yakin dan menjawab 'ya'.

"Aku hanya merasa tak enak jika ada pegawaimu yang bertanya tentang kita ...."

"Kenapa? Biarkan saja. Aku sudah memberi informasi bahwa kekasihku akan menempati posisi asisten."

"Tunggu! Maksudnya kau akan memecat asistenmu?" tanya Jenna, cemas jika pria itu sampai memberhentikan pegawai hanya karena dirinya."Blake, kumohon jangan-"

"Tenanglah, sayang ... aku akan memberi penawaran yang lebih baik untuknya. Kau tak perlu mencemaskan itu, oke? Kau hanya perlu mempersiapkan diri, dan hati. Karena sekali berada di sisiku, maka tak ada cara kau bisa melepaskan diri." Blake mengulas senyum, meremas jemari Jenna dengan lembut. Apa yang ia lakukan berhasil menenangkan kekasihnya.

Jenna mencebik, menanggapi kalimat klise yang diucapkan Blake. Ia seperti pernah mendengar kalimat itu diucapkan oleh seseorang.

"Jadi ... bagaimana jawabanmu?" desak Blake, tak sabar.

Jenna hanya membalas dengan senyum, kemudian mengangguk. Lalu berikutnya, ia melempar tatapan ke luar jendela memerhatikan pemandangan yang mereka lewati. Ada banyak hal yang menjadi perhatian Jenna saat ini, tetapi tak terlalu mengganggunya.

Saat ini, Jenna merasa sangat baik, berkat Blake di sisinya.

***

Hellen perlahan membuka mata, memindai ruangan tempat dirinya berada. Di sisinya, Ryan masih duduk menggenggam jemari wanita itu. Cemas, seolah tak pernah terjadi apa pun antara mereka beberapa jam lalu.

Wanita itu hendak bangkit, tetapi ditahan oleh Ryan.

"Jangan bangun dulu, Hellen, kau masih lemah." Wanita itu patuh mendengar perintah suaminya. Menerima air minum yang disodorkan oleh Ryan.

"A-apa yang terjadi? Mengapa aku berada di sini?" tanya Hellen, menoleh kanan dan kiri, mengenali ruangan yang didominasi warna putih dan hijau. Ryan tak segera menjawab, melainkan membelai pipi Hellen.

"Kau hanya kelelahan, dan ... Hellen, kumohon maafkan aku atas segalanya. Aku menyadari semua adalah kesalahanku. Apa pun yang kau lakukan padaku, jika itu merupakan sebuah kesalahan, aku akan lupakan itu. Namun, kumohon, maafkan aku."

Hellen menatap sepasang iris kelabu milik pria yang masih duduk di sampingnya.

"Aku ... sesungguhnya aku merindukanmu. Aku tak ingin kehilanganmu," imbuh Ryan.

"Maksudmu? apakah kau ingin mengatakan bahwa kau mendekatinya hanya karena kesepian?" pancing Hellen, menatap tajam ke arah suaminya.

Pria itu mengangguk.

"Kau serius?" tanya wanita itu, terus mendesak, memastikan suaminya akan menjawab dengan hal sama meski Hellen menanyakan berkali pun.

Benar saja, Ryan menjawab dengan anggukan lain, kemudian meremas dan mencium punggung tangan istrinya.

"Kau harus membaik, sayang."

Kali ini Hellen yang mengangguk, menjawab kalimat dan harapan suaminya. Meski masih menyimpan sakit, tetapi ia bahagia dan lega karena mengetahui alasan Ryan menjalin hubungan dengan Jenna.

"Aku akan baik-baik saja selama kau bersamaku, Ryan." Wanita itu tersenyum.

Ryan kemudian menghela nafas sebelum mengucapkan kalimat yang sejak awal ia simpan. Sengaja menanti Hellen sadar untuk mendengar kabar yang akan ia sampaikan.

"Uhm ... Hellen, aku berpikir ... bagaimana jika kita melakukan perjalanan bulan madu? Kupikir, kita harus memperbaiki pernikahan kita. Aku sudah memesan tiket ke Venesia, katakan ya jika kau setuju."

Mendengar perkataan suaminya, wanita yang masih terlihat pucat itu mengulas senyum lebar di wajahnya. Tentu saja ia setuju. Apa yang direncanakan Ryan adalah hal-hal yang ia harapkan selama ini.

Meski apa pun yang ia lakukan selama jauh dari Ryan, tetapi tetap saja ia bahagia mendapat perhatian dari sang suami.

Hellen mengangguk beberapa kali, saking bahagianya. Ia kemudian menghambur ke arah Ryan dan meringkuk dalam dekapan pria itu.

"Terima kasih, Ryan ...," ucap Hellen, lirih.

Ryan mengangguk, kemudian mengecup pucuk kepala istrinya. Pria itu serius akan perkataannya. Karena tak akan ada yang bisa ia harapkan dari Jenna.

Andai pun ia mengemis untuk kembali, mengharap-harap gadis itu kembali padanya, Jenna tak akan mungkin mau kembali padanya. Maka akan lebih baik jika ia mempertahankan pernikahan yang telah ia jalin lima tahun lebih, ketimbang mencari dan mengemis hal-hal yang tak pasti

Ryan bertekad pada dirinya sendiri, juga pada Hellen, bahwa ia akan memperbaiki, menjaga dan mempetahankan pernikahannya. Seburuk apa pun rintangan di hadapan mereka nantinya.

***


Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Rank -- Xếp hạng Quyền lực
    Stone -- Đá Quyền lực

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C31
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
    Stone -- Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập