Tias duduk santai pada kursi tunggu yang disediakan oleh pihak pengelola Bandara. Ia terlihat cantik memakai celana jeans ketat, lalu dipadukan dengan atasan Bomber Jacket. Sepatu Sneaker menjadi penyempurna penampilannya hari ini. Sejak tadi, mata-mata jahil laki-laki hidung belang, banyak yang mencuri lirik padanya. Namun ia tidak peduli.
Tias menghela. Entah sudah berapa kali wanita itu berdiri kemudain duduk lagi, guna memastikan apakah pesawat yang dinaiki oleh sahabatnya sudah landing atau belum. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan sahabat yang satu bulan ini meninggalkan dirinya, demi menjalankan tugas perusahaan.
"Lama banget sih?" Tias mendengkus, sambil melihat arloji yang melingkar di pergelangan mungilnya. Namun sesaat kemudian senyum bahagia menghias di bibirnya, saat matanya menangkap dua sosok pemuda yang sepertinya sudah ia kenal.
Ia menajamkan pandangan memastikan bawah dua sosok pria tampan yang ia lihat itu, benar-benar orang yang tengah ia tunggu, sejak tadi.
Senyumnya semakin melebar, setelah yakin bahwa dua pria itu adalah mereka, Eza dan Arga. Tanpa rasa ragu Tias melambaikan kedua tangan, sambil meloncat girang, sebagai kode supaya dua pemuda itu, melihat keberadaannya.
"Kangen..." Tias menghamburkan tubuhnya, memeluk erat sahabtanya. Tubuhnya yang tidak berhenti meloncat, adalah ekspresi bahwa ia benar-benar sangat bahagia.
Arga hanya tersimpul menyaksikan dua sahabat yang saling melepaskan rindu.
"Makin cakep aja si, su?" Komentar Tias sambil mencubit gemes pipi sahabatnya.
Eza tersenyum nyengir. "Tumben, kamu muji aku."
"Kali-kali..." Tias mengalihkan perhatiannya pada sosok pemuda yang berdiri di samping Eza. "Gimana kabar kamu, Arga?"
"Baik," sahut Arga. "Kamu?"
"Baik," balas Tias. "Ngomong-ngomong kalian lama amat sih, pegel tau nunggu kalian." Perotesnya kemudian.
"Kita yang lama, apa kamu yang kecepatan dateng kesini." Sela Eza. "Kamu nggak liat jadwalnya?"
Tias tersenyum nyengir. "Habis kangan banget si, udah nggak sabar pengen ketemu kamu."
"Dasar," olok Eza.
"Udah ah, yuk... mama juga udah kangen banget pengen ketemu. Lagi masak yang enak-enak buat nyambut kalian." Wanita itu memeluk erat sebelah lengan sahabtanya--menyertanya berjalan ke tempat di mana mobilnya diparkirkan, di ikuti Arga di samping Eza.
Terlihat beberapa pria yang bekerja sebagai jasa pengangkut barang, mengekor di belakang mereka.
***
Setelah mandi manggunakan air hangat Arga dan Eza juah lebih segar dari sebelumya. Kedua pemuda yang hanya memakai kaus tipis dan celana kolor itu, berjalan ke arah ruang makan dimana sudah Tias dan ibu nya, menunggu di sana.
Eza mengalungkan tangannya di pundak sang ibu, lalu mencium pipinya penuh kasih. "Udah ketemu tapi, masih kangen aja sama mama."
"Mama juga," balas ibunya.
"Manja," Tias mencibir, sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas.
Mengabaikan cibiran sahabatnya, Eza menarik kursi di samping Arga, lalu mendudukkan dirinya di sana.
Terlihat Tias meletakan gelas yang sudah ia isi penuh di hadapan Eza. Manik matanya melirik pada tumpukan paper bag di atas sofa. "Ngomong-ngomong banyak banget oleh-olehnya," Tias melanjutkan menuang air yang akan ia berikan ke pada Arga. "Kalian kayak pengantin baru habis pulang dari bulan madu tau nggak?"
"Uhuk... Uhuk... Uhuk...!" Kalimat yang meluncur mulus dari mulut Tias, membuat air yang sedang diminum oleh Eza menyedak-- seolah berhenti di tenggorokannya.
Hal itu membuat pemuda di sebelahnya panik, hingga beranjak dari duduknya, lalu berdiri di belakangnya.
"Kamu nggak apa-apa Za?" Dengan lembut telapak tangan Arga mengusap pungung kekasihnya, membantu meredakan batuknya. "Pelan-pelan dong." Nada suaranya terdengar lembut--penuh perhatian, hingga membuat dua wanita di dekatnya, lantas menatap heran.
"Enggak apa-apa?" Aku Eza ditengah batuk yang belum mereda. Sadar dengan tatapan tidak biasa dari ibu dan sahabatnya, Eza menyingkirkan tangan Arga yang masih setia memijat punggungnya. "Udah aku nggak apa-apa."
"Yakin?" Tanya Arga.
"Iya..." tegas Eza.
"Dia cuma kesedak Arga, bukan mau mati besok." Ceplos Tias. "Nggak usah berlebihan paniknya."
Meski sebenarnya Tias hanya bercanda, namun membuat Arga sempat berpikir. Ternyata tindakannya barusan, membuat orang yang melihat akan berpikir yang bukan-bukan. Sepertinya, ia harus lebih hati-hati dalam bersikap supaya tidak menuai kecurigaan.
"Oh, iya." Arga tersenyum canggung sambil mendudukan dirinya kembali.
"Lagian Tias, kamu aneh-aneh aja bercanda." Tegur sang ibu. "Emang apa hubungannya oleh-oleh banyak sama bulan madu?"
"Yah nggak ada si." Tias tersenyum nyengir. "Cuma aneh aja gitu mah, dua laki-laki pulang tugas tapi bawa banyak oleh-oleh."
Sang ibu menggelang heran. "Ada-ada aja kamu." Kemudian telapak tangannya mengulur, mengusap lembut punggung sang anak. "Kamu nggak apa-apa Za?" Ucapnya.
"Udah mah, nggak apa-apa."
***
Usai makan malam, Eza dan Arga, duduk santai di atas lantai beralaskan permadani, di ruang televisi. Ada Tias dan ibunya ikut bergabung bersama mereka, sedang sibuk memilih oleh-oleh khas kota Jogjakarta.
"Bu ini dari saya buat ibu, tidak seberapa, tapi mudah-mudahan ibu suka," kata Arga sambil menyodorkan beberapa paper bag, ke arah ibunya Eza.
"Lho apa ini?" Ucap ibu Eza sambil menerima paper bag tersebut. "Aduh Arga, harusnya kamu nggak usah repot-repot, ibu udah dapet banyak dari Eza."
"Itu kan dari Eza bu, kalau yang ini dari saya."
"Yaudah kalau gitu ibu terima, makasih lho..."
"Iya bu."
Eza tersenyum simpul, hatinya berdesir melihat interaksi antara Arga dan ibunya. "Kok aku nggak tahu kalau kamu beli oleh-oleh buat mama." Cetusnya kemudian.
"Ini bukan soal kerjaan, jadi nggak harus lapor dulu sama kamu." Jawab Arga.
Eza memanyunkan bibir bawahnya.
"Hye...!"Suara cempreng Tias sukeses mengalihkan perhatian Eza dan yang lainnya, menatapnya heran. "Kamu nggak lupa sama aku kan Ga? Jangan bilang kamu enggak beli oleh-oleh buat aku."
"Ada buat Tias," sahut Arga. Ia mencari beberapa paper bag yang memang sudah disiapkan untuk wanita itu. "Oh, ini..."
"Ah, terima kasih Arga." Bola mata Tias berbinar menerima paper bag berisi oleh-oleh untuk dirinya.
"Oh iya, kabar kantor gimna Su," tanya Eza sesaat kemudian.
"Kantor baik, aman terkendali," jawab Tias sambil mencoba baju tidur batik yang baru saja ia terima dari Arga. "Oh iya pak direktur udah bilang kan, kalian disuruh libur dulu beberapa hari?"
Eza mengangguk, "iya udah." Secara tidak sengaja manik matanya melirik pada jam yang menempel pada dinding, waktu menunjukan pukul 23.30. "Udah malam kamu enggak pulang?"
"Aku udah bilang sama mama kalau hari ini kamu pulang, jadi aku mau nginep di sini." Sahut Tias sambil memperhatikan baju tidur bermotif batik yang sudah melekat di tubuh rampingnya. Beberapa detik kemudian senyumnya mengembang. "Bajunya bagus, kamu pinter pilihnya. Makasih ya Arga."
Arga tersenyum nyengir, "iya cocok sama kamu."
"Tapi kamu tidur sama mama kan?" Cetus Eza masih membahas soal menginap.
"Ya iya lah...!" Sahut Tias buru, menatap sahabatnya kesal. "Bisa rugi bandar kalau aku tidur sama kalian."
"Ha... Ha... Ha..."
Arga dan Eza terbahak.
"Mama tidur dulu ya, udah ngantuk." Celetuk ibunya Eza yang membuat perhatian kini beralih ke arahnya. "Kalian juga pasti capek kan, jangan malam tidurnya." Wanita paru baya itu beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan ke arah kamar.
"Aku juga mau tidur, besok aku masih ngantor, kalian mah enak bisa libur." Setelah mengatakan itu ia beranjak, lalu menyulus ibunya Eza yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar.
Arga dan Eza bersitatap, sambil tersenyum simpul setelah mereka hanya tinggal berdua di ruangan itu. Sesaat kemudian Arga beringsut, memangkas jarak duduk di hadapan pemuda kesayangan. Ia menggeliat, menyandarkan punggungnya di dada bidang milik Eza. Kedua tangannya ia rentangkan ke atas, lalu ia kalungkan di leher kekasihnya. "Ngantuk, tidur yuk," ajaknya.
Eza tersenyum simpul, sambil menarik hidung mancung milik Arga. "Malam ini terkahir kita tidur bareng ya?"
"Jangan bilang terakhir." Protes Arga.
"Iya artinya, udah nggak kayak biasanya lagi." Jelas Eza.
***
"Za..." Arga mengeratkan pelukannya di tubuh Eza yang masih terlentang menghadap langit kamar.
"Hem."
"Kata kamu, malam ini malam terakhir."
"Kenapa emangnya?"
Arga tersenyum nyengir, rona merah di wajahnya menandakan kalau ia sedang terlihat malu. Atau lebih tepatnya ragu untuk mengatakan maksudnya.
"Kok diem, kenapa emangnya?"
"Aku pengen nyoba lagi yang pernah gagal waktu itu." Jelas Arga basa-basi.
Kening Eza mengernyit, "yang mana?"
"Yang waktu itu kamu kesakitan, terus nggak jadi aku dorong masuk."
"Oh..." Eza mengulas senyum, mengingat kejadian pada saat akan mencoba hubungan sex lebih jauh.
Waktu itu Arga mencoba memasukan miliknya ke dalam lubang milik Eza, namun gagal karena Eza tidak sanggup menahan sakit. Meski baru ujungnya saja yang akan masuk, tapi rasanya luar biasa sakit. Bahkan, waktu Eza sempat mendorong perut Arga menggunakan kakinya.
"Mau yah, kita coba lagi?" Bujuk Arga.
"Jangan sekarang deh, aku masih belum siap." Eza bergidik merinding membayangkan rasa sakitnya. "Sakit banget sumpah."
Arga menghela kecewa. "Kamu nggak cinta ya sama aku?"
"Kok kamu ngomong gitu?"
"Kamu nggak mau?"
"Apa kamu mikirnya gitu? Aku si enggak, bagi aku sexs bukan salah tujuan dari perasaan cinta. Aku bisa ngomong kalau aku cinta sama kamu itu karena aku nyaman kalau deket kamu. Enggak cuma itu. Aku sayang, karena kamu juga peduli sama aku. Dari kamu aku bisa dapet perhatian yang enggak pernah aku dapetin dari orang lain selain mama ku__"
Eza menghentikan kicauan nya, lantara tiba-tiba saja Arga naik ke atas tubuhnya, lalu menutup mulutnya menggunakan bibir.
"Jangan diterusin, aku tau. Tadi aku cuma becanda." Ucap Arga di tengah mulut mereka yang masih bertauan.
"Jangan pernah ngomong gitu lagi." Ancam Eza.
"Maaf..."
"Sekarang gimana kalau aku minta di atas, aku yang nusuk kamu?" Tantang Eza mengabaiakan permohonan maaf kekasihnya.
Arga menggelang cepat. "Kata mu sakit, aku nggak mau."
"Tuh kan, kamu aja enggak mau. Tapi aku nggak mikir kaya kamu tadi__"
Tidak ingin pemuda yang sedang ia tindih mengoceh lebih lanjut, Arga mengeratkan peluk nya. "Udah jangan ngomong lagi. Aku udah minta maaf tadi. Aku tau kamu sayang sama aku." Arga menenggelamkan wajahnya di ceruk leher milik kekasihnya. "Yaudah kayak biasanya aja yah..."
"Lagi nggak mood..." ketus Eza.
"Iya nanti aku mut deh," goda Arga.
"Dasar..."
Hening sejenak sebelum akhirnya Arga membuka mulut. "Tapi beneran, aku pengen nyoba. Kalau enggak sekarang, kapan-kapan bisa kan?" Jangan lupakan posisi Arga yang masih berada di atas tubuh Eza.
Eza melingkarkan kedua tangannya di tubuh pemuda kesayangannya--memeluknya erat. "Kamu yang aku masukin." Tantangannya.
"Siapapun yang dimasukin, yang jelas aku mau nyoba kapan-kapan." Ucap Arga serius. "Kalau perlu gantian juga nggak apa-apa. Sekarang kita pake mulut aja kayak biasanya. Gantian."
Eza mengeratkan pelukannya di tubuh Arga--merasakan hawa hangat tubuh pemuda itu.
Tbc