"Joshua, aku mencintaimu, maukah kau menjadi kekasihku?"
Kutatap manik cokelat terang yang tak pernah terlihat membosankan. Bibir manis Joshua masih melekat pada indra perasaku, membuatku semakin berdebar-debar.
Joshua mengangguk. Sebuah jawaban yang langsung memberikan suntikan dopamin dalam darahku. Rasanya seperti ada ratusan kembang api menyala di dalam kepalaku. Semuanya tampak berwarna-warni dan indah. Sama seperti ketika aku melihat sosok Joshua untuk pertama kalinya.
"Tapi..."
Lalu satu kata itu melenyapkan segala metafora keindahan dalam benak. Membungkamku telak. Namun, aku tak lantas menghujaninya dengan pertanyaan 'mengapa'. Aku tak bergeming, membiarkan Joshua melanjutkan kalimatnya.
"Bisakah kita menyembunyikannya? Hanya untuk sementara saja," kata Joshua.
"Hah..." Aku menghela napas lega. "Kupikir tentang apa."
"Jadi bagaimana? Bolehkah?"