'Kejujuran selalu mendapat jalan sendiri bagai petunjuk bagi manusia. Baik itu sebuah bangkai atau mutiara, satu persatu rahasia dalam hidup mereka mulai berenang ke permukaan.'
Matahari sedang tinggi tapi hawa udara sejuk disini membuat kedua anak itu tetap betah bermain diluar. Seorang anak perempuan berlarian menangkap capung dipinggir danau. Sementara yang lelaki sibuk menertawakan tingkahnya. Kadang anak perempuan itu hampir tercebur ke danau atau tersandung batu. Herannya anak itu tak menangis saat terjatuh, melainkan menertawakan kekonyolannya sendiri. Inilah yang membuat Yoongi kecil tertawa gemas melihat tingkah Jangmi.
"Pah, lucu juga ya Yoongi kelihatan akrab dengan Jang Mi."
Wanita yang baru berumur tiga puluh itu tersenyum gembira menatap anaknya dengan anak lelaki yang baru mereka temukan.
"Iya, Jangmi itu, ya ampun! Dia ga sadar kayaknya kalau tangannya daritadi menyeret Yoongi supaya mengikutinya kesana kemari," sahutnya disertai tawa ringan istrinya.
Kini mereka duduk menenggelamkan setengah kaki mereka didanau. "Kamu tinggal jauh dari sini?" tanya sang gadis kecil yang dibalas anggukan lemah oleh Yoongi.
"Ayah dan ibumu ada dimana?" kepalanya menoleh ke anak lelaki itu.
Senyap. Yoongi tidak tahu jawaban apa yang pantas ia katakan. Namun dirinya juga teringin memiliki seseorang yang bisa mendengar cerita menyedihkannya.
"Ayahku sering pergi bekerja jadi jarang dirumah. Ibuku juga suka bekerja jadi kemungkinan mereka hanya dirumah pada saat akhir pekan."
Awalan yang cukup baik. Diliriknya Jang Mi yang masih melongokkan kepala mendengar ceritanya.
"Hari ini sudah akhir pekan. Jadi mungkin mereka dirumah, di Seoul."
"Wah, aku juga akan pindah ke Seoul besok!" sahut gadis disampingnya senang.
"Kamu bisa ikut pulang denganku kalau begitu," lanjutnya.
Tidak! Ini salah, pikirnya. Yoongi merasa lebih tenang berada disini. Ia lebih suka tinggal disini. Kepalanya menggeleng. "Aku lebih suka disini. Rumahku menyeramkan."
Anak lelaki itu menundukkan kepalanya menatap riak air didanau. Jang Mi kecil malah heran sendiri mendengar ucapan itu, maka ia bertanya lagi. "Menyeramkan seperti apa? Aaah, jangan bilang kalau rumah kamu berhantu?"
Kini anak lelaki itu malah tertawa geli. Ditambah lagi ekspresi polos nan lucu milik Jang Mi.
Sambil menggeleng ia berkata, "Bukan menyeramkan yang seperti itu."
Ia berusaha menjelaskan dengan sisa tawa akibat wajah kebingungan gadis kecil disebelahnya sembari mengayunkan kakinya di air. "Ayahku sangat galak. Ia suka memukul ibu dan menuduhnya selingkuh dengan pria lain. Aku juga sering dimarahi dan dipukuli ibuku karena ..."
Kalimatnya terputus oleh rintik hujan yang datang tiba - tiba dengan derasnya. "Ah, hujan!"
Jang Mi kecil membawa Yoongi masuk kedalam tenda untuk berteduh. Ayah ibunya sudah ada disana dengan dua handuk.
....
"Eomma, bisakah aku tinggal dengannya? Dia bisa jadi oppa-ku."
Kesekian kalinya Jang Mi merengek pada sang ibunda yang memangkunya. Mereka hampir tiba di Seoul dan masih berada didalam kapal. Yoongi sempat menangis karena tidak mau pulang dari Pulau Hong Do. Anak itu tak berbicara sejak dari pelabuhan hingga sekarang. Dirinya terpaksa memberitahu alamat rumahnya dan mengikuti kemauan Ahjussi Ahn untuk pulang kerumah.
"Tidak bisa sayangku. Ayah sudah menelpon keluarganya barusan. Yoongi punya ayah ibu yang pasti sedang merindukannya dirumah. Kau boleh memanggilnya oppa sebagai tanda kalian berteman," ucap sang ayah mencoba memberikan pengertian pada anak gadisnya.
Akhirnya Jang Mi menyerah lalu menghampiri Yoongi.
"Yoongi oppa, boleh aku memelukmu sekali? Kita sebentar lagi turun dari kapal. Artinya kita tidak bisa bertemu lagi," kalimat itu terdengar menyedihkan. Maka Yoongi berbalik dan memeluknya dengan dua alasan. Pertama, ia punya seseorang yang mau mendengar ceritanya. Kedua, ia sedih harus kembali ke neraka kecilnya, rumahnya sendiri.
...
Jang Mi masih terduduk lemas dilantai. Punggungnya bersandar pada pintu kamarnya. Ia baru ingat sekarang bahwa ada seorang anak lelaki yang sangat ingin ia angkat sebagai kakaknya. Sebagai anak tunggal, Jang Mi selalu sendirian kemanapun. Namun anak lelaki itu kini sudah tinggal serumah dengannya. Bahkan lebih dari kakak, mereka terlibat dalam satu ikatan resmi secara agama dan hukum. Jang Mi hanya merasa linglung. Ini agak aneh, ia tak tahu harus bersikap bagaimana. Seperti yang dokter Jung katakan pada sesi konseling kemarin, bahwa mereka memang nyatanya punya keterkaitan.
Jang Mi hampir melupakan kenangannya di lembah itu sebab hal tersebut sudah begitu lama terjadi. Lalu bagaimana dengan pria itu? Apa ia masih ingat?
"Apa perlu aku menanyakan soal ini padanya?" tanya wanita itu pada dirinya sendiri.
Dering ponselnya mengganggu kegiatannya berpikir. Ada telepon masuk dari Namjoon rupanya. "Halo?"
...
Akhirnya wanita itu turun untuk mencari sosok yang berkeliling di otaknya sejak tadi.
"Mr Min!?"
Jang Mi pergi ke dapur dan semua sudah bersih. Tak ada Yoongi juga disana. Bahkan seluruh ruangan lantai satu sudah ia telusuri, sayangnya pria itu tidak ada.
"Apa mungkin ada dikamarnya?"
Lelah, akhirnya ia memilih duduk di sofa. Jang Mi menatap layar ponselnya yang menunjukkan pukul 02.59. Benar juga, kenapa tidak mengirimi pesan pada Yoongi, batinnya.
Tangannya bergerak mengetikkan sesuatu di aplikasi pesan.
"Mr Min, kau dimana? Ada yang mau aku ..."
Kemudian ia menghapus rentetan kata itu. Berpikir kalimat apa yang paling tepat untuknya.
"Apa kau keluar rumah?"
Setelah menekan tombol kirim, tubuhnya luruh diatas sofa. Rebahan memenuhi sofa panjang hitam bekasnya dengan Yoongi tidur semalam.
Astaga, ia jadi teringat lagi dengan kejadian semalam. Tiba - tiba Jang Mi merasakan hawa panas disekitarnya lalu mengibaskan dua tangannya mencoba mengipasi tubuhnya.
"Ini memalukan. Untung belum sampai berciuman," bisiknya pelan.
Ting!
Sementara Yoongi yang nyatanya sedang tertidur diatas ranjangnya, mulai meraba - raba sekitarnya mencari ponsel yang beberapa menit lalu berbunyi. Yoongi belum sepenuhnya terlelap, sebab membuat otaknya beristirahat saat ini cukup sulit dengan segala pikiran yang mengganggunya. Tapi lumayan juga jika tubuhnya bisa ia baringkan diatas tempat empuk, mengingat semalam ia tidur di sofa sempit berdua dengan Jang Mi.
Dilihatnya ponsel hitam itu. Terdapat satu pesan dari kontak yang bernama "Pemilik Hong Do".
Pria itu tadinya tak berniat membalas dan hendak menghampirinya langsung yang kemungkinan juga berada dirumah. Namun terbersit niatan usil dikepalanya.
"Dikamarku."
Terkirim.
Jang Mi menerima pesan sambil mengoceh sendiri. "Yaampun, ternyata benar dugaanku."
Lalu sesegera mungkin membalasnya.
"Aku ingin bicara langsung denganmu."
Dan terkirim.
Sekarang dirinya cemas dan gelisah menunggu pesan dari Yoongi. Hawa disekitarnya terasa semakin panas apalagi setelah ia membaca balasan dari pria itu.
"Apa kau mau mengulangi pernyataanmu semalam? Baiklah, masuk saja kekamarku."
Tangannya mengibas cepat ke arah kepalanya berharap memberi kesejukan. Terutama emosinya yang dibawa naik oleh Yoongi. "Oh, Ahn Jang Mi persiapkan hati dan mentalmu."
...
Terdengar suara ketukan pintu kamar tiga kali barulah Yoongi menyuruh orang diluar sana masuk. Ia sedang duduk dipinggir ranjang. Sementara Jang Mi hanya berdiri dan memulai pembicaraan dari jarak beberapa meter seolah lelaki itu terjangkit virus berbahaya. Matanya menatap jendela kamar Yoongi yang menampakkan pemandangan dedaunan hijau diluar sana. "Aa... itu ... tadi Namjoon oppa menghubungiku soal perusahaan."
Kakinya hanya mampu maju selangkah dan melanjutkan ucapannya, "besok aku harus ke Seoul dan menyamar sebagai sekertarismu lagi. Ia bilang ada masalah juga akhir - akhir ini. Kemungkinan akan ada demo dari para karyawan."
Yoongi diam dengan raut dinginnya. Membuat nyali gadis itu ciut. Ia nampak seperti anak ayam yang bertemu raja ular. Ditambah lagi hatinya masih belum siap berhadapan langsung dengan Yoongi akibat kejadian semalam.
"Kenapa kau tak duduk?" tanya Yoongi padanya. Ada senyum tipis dibibirnya.
Gadis itu menangkapnya sebagai sebuah ejekan. Jang Mi cemberut dan mengeluarkan tatapan malasnya.
'Apa dia tahu kalau aku sedikit gugup sekarang? Ayolah Jang Mi jangan bertindak bodoh lagi.'
Akhirnya dengan terpaksa ia mendudukan diri di ujung ranjang.
"Jadi, kau memintaku datang denganmu ke perusahaan besok?" tanya Yoongi sembari mencondongkan tubuhnya ke arah Jang Mi.
"Ha? Iya iya." Gadis itu menjawab sambil memundurkan badannya.
"Tapi aku minta imbalan. Karena kau berhutang penjelasan padaku."
Jang Mi bingung. Bertanya - tanya dalam hati penjelasan seperti apa yang perlu ia sampaikan pada lelaki itu.
"Kau ingat semalam bilang apa?"
Jang Mi menggeleng.
Yoongi menghela napasnya. 'Payah. Kupikir dia ingat,' batinnya.
"Ada kemungkinan lain yang kau katakan selain kemungkinan kau suka padaku."
'Tidak, jangan topik itu lagi.' Pipinya merona sekarang.
Yoongi melanjutkan dengan tatapan yang lebih serius dari sebelumnya, "bahwa kemungkinan kau tau kenapa aku bisa bertahan denganmu disisiku. Kemungkinan kau sebagai pengecualian diantara wanita sebagai sosok yang kubenci."
Wanita itu baru saja dihujami pukulan secara tak langsung. Benar - benar baru disadarinya bahwa mulutnya sudah membocorkan peristiwa masa kecilnya dengan Yoongi dulu, semacam sebuah spoiler yang membuat lelaki itu penasaran sekarang.
"Ya, kau benar. Itu sebuah kemungkinan penyebab gejala penyakitmu tidak muncul kadang - kadang. Sebab kita pernah bertemu. Dahulu sekali sebelum orang tuaku meninggal."
Yoongi mendengarkan untaian kata itu sembari memperhatikan wajah Jang Mi yang memunduk.
"Ditempat itu. Tempat yang kau bilang adalah satu - satunya yang paling aman. Gadis kecil yang saat itu sedang berkemah dengan keluarganya dibalik lembah itu, menemukan anak lelaki yang terluka entah apa penyebabnya."
Kemudian mereka menghabiskan sore itu dengan sebuah kejujuran hati masing-masing tentang masa lalu antara mereka berdua.
*bersambung*
— Chương tiếp theo sắp ra mắt — Viết đánh giá