Setelah melewati perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Melalui suasana pegunungan dan juga perbukitan yang begitu sejuk. Mereka akhirnya berhenti di sebuah bangunan yang cukup luas dengan suasana pegunungan yang menenangkan.
"Sanatorium?" Ryan Fernandez memandang sekeliling lokasi itu. Dia melihat beberapa perawat sedang berjalan-jalan bersama beberapa orang yang berpakaian seorang pasien. "Apakah kalian pikir aku sudah gila?" kesal Ryan karena mereka sudah menganggapnya sudah tak waras.
"Coba buka matamu dengan lebar! Sanatorium ini bukanlah rumah sakit jiwa," tegas Reine Fernandez pada kakak laki-lakinya.
Sanatorium itu hanyalah sebuah tempat khusus bagi mereka yang mengalami depresi. Entah itu depresi berat atau ringan yang hanya akan menjalani rawat jalan. Mereka semua akan mendapatkan perawatan yang terbaik di sana dengan seorang dokter yang hebat dan sangat kompeten.
Ryan akhirnya berjalan mengikuti adiknya yang sudah duluan. Dia menyadari jika Steve masih juga belum keluar dari mobilnya.
"Cepatlah keluar, Steve! Kamu bukan seorang sopir!" kesal Ryan karena asistennya itu tak segera menyusul mereka berdua.
Steve yang tadinya tak ingin ikut masuk, terpaksa keluar dari mobil dan menyusul mereka berdua. Hal itu dilakukannya bukan karena takut pada Ryan ataupun Reine, ia hanya tak mau jika sepupunya itu membuat keributan karena dirinya.
Tak ingin mengikuti Reine yang sudah memasuki gedung, Ryan dan Steve memilih untuk menunggu di sebuah ruangan yang cukup lebar dengan kursi yang berjajar rapi.
"Kita duduk di sini saja dulu," ajak Ryan pada sepupunya. Mereka berdua akhirnya duduk di sana sembari menunggu seseorang yang sedang ditemui oleh Reine.
Di sisi lain, Reine sedang berjalan sendirian mencari sebuah ruangan sesuai dengan petunjuk dari seorang perawat yang ditemuinya tadi. Tak berapa lama, akhirnya dia menemukan sebuah ruangan yang sejak tadi dicarinya.
Dengan sangat pelan, Reine mengetuk pintu di hadapannya. Sebuah suara yang terdengar lembut menyapa dan mempersilakan dia untuk masuk.
"Evelyn apa kabarmu?" sapa Reine pada sahabat lamanya itu. Mereka pernah tinggal di asrama yang sama saat masih kuliah. Sayangnya, sahabatnya itu memiliki urusan penting yang harus diselesaikan.
Perempuan yang cukup cantik dengan seragam dokter itu langsung bangkit dan memeluk sahabatnya. Sudah cukup lama mereka tak lagi tinggal di tempat yang sama.
"Reine .... Aku sangat merindukanmu. Ini sudah terlalu lama," ucapnya lirih tanpa melepaskan pelukannya.
Mereka berdua adalah dua sahabat yang sudah cukup lama tak berjumpa. Entah berapa lama, serasa bagai setelah kehidupan bagi mereka berdua. Meskipun mereka berdua kuliah di jurusan yang berbeda, Reine dan Evelyn tinggal di ruangan yang sama. Mereka berbagi banyak hal bersama.
"Di mana kakakmu? Bukankah dia yang akan berkonsultasi? Ataukah kamu juga ingin konsultasi dengan dokter sehebat aku?" goda Evelyn pada sahabatnya. Perempuan itu sangat tahu kisah menyakitkan yang dialami oleh Reine. Mereka selalu membagikan beban hidupnya satu sama lain.
"Jangan meledek aku, Eve! Aku semakin tersiksa saat kembali ke tanah air. Bisa memandangnya namu tak bisa memilikinya menjadi sebuah siksaan mengerikan bagiku," ungkap Reine atas perasaan di dalam hatinya. Selama bertahun-tahun dia harus terus menahan perasaannya pada Steve. Hal itu sangat menyakitkan baginya.
Evelyn melepaskan pelukannya lalu membuka pintu ruangan itu. Dia tak mendapati siapapun di sana.
Perempuan itu ingin melihat sosok lelaki yang selama ini diceritakan oleh sahabatnya.
"Di mana kakakmu? Kenapa tak ikut masuk ke sini?" tanya Evelyn dalam wajahnya yang sangat penasaran
"Sepertinya mereka menunggu di luar." Reine tak terlalu yakin di mana mereka berada. Dia mencoba untuk menghubunginya namun tak tersambung. Bahkan beberapa pesan yang dikirimkannya juga gagal.
Setelah tak bisa menghubungi mereka berdua, Reine berpikir jika hanya ada satu cara untuk menemukan dua lelaki yang datang bersamanya itu.
"Kita cari saja ke depan," ajak Evelyn pada sahabatnya. Sepertinya mereka berdua benar-benar satu hati. Bahkan Reine dan Evelyn memiliki pemikiran yang sama untuk mencari mereka ke depan.
Akhirnya ... dua perempuan tadi beranjak keluar meninggalkan ruangan itu. Mereka harus menemukan seseorang yang juga datang bersama Reine.
"Selain kakakmu, siapa lagi yang datang bersamamu?" tanya Evelyn sembari terus melangkah menuju ke pintu masuk utama Sanatorium itu.
"Sepupuku," jawab Reine singkat.
"Apa!" Dalam ekspresi terkejut, Evelyn tersenyum melihat sahabatnya itu. Dia sangat tahu jika sosok lelaki yang dicintai oleh Reine adalah sepupunya. Bisa jadi seseorang yang datang adalah orang yang sama.
Melewati ruang tunggu di depan pintu utama, mereka sama sekali tak menemukan siapapun. Akhirnya kedua perempuan itu keluar dari gedung itu. Ternyata ... mereka berdua sedang duduk di sebuah bangku yang ada di taman depan Sanatorium.
"Itu mereka!" tunjuk Reine pada dua orang lelaki yang duduk membelakanginya. Dari kejauhan mereka berdua tampak sedang duduk bersama tanpa melakukan apapun.
Dua perempuan cantik itu akhirnya berjalan ke arah taman. Mereka sedang menyusul kakak laki-laki dan juga sepupu dari Reine itu.
Semakin mendekat, Reine mempercepat langkahnya dan sengaja mengejutkan Ryan dengan menutup kedua mata lelaki itu. Rasanya sangat menyenangkan saat melihat wajah panik dari kakak laki-lakinya.
"Apa-apaan kamu, Reine!" protes Ryan saat adik perempuannya itu datang dan mengerjainya.
"Bagaimana kamu tahu jika ini aku?" Reine merasa penasaran dengan alasan Ryan bisa sangat yakin jika itu dirinya.
Ryan menarik adiknya lalu mendekatkan wajahnya ke arah tengkuk leher Reine. Seolah dia akan mencium perempuan muda yang selalu mengganggunya itu. Lelaki itu sama sekali tak peduli, saat Steve membulatkan mata ketika Ryan memperlakukan adiknya sedikit berlebihan.
"Dari aroma tubuhmu saja, aku sudah bisa mengenali kamu, Reine," jawab Ryan tanpa menjelaskan lebih rinci. Dia pun melirik Steve yang mendadak sangat kesal padanya. "Lihatlah matamu hampir terlepas dari tempatnya," sindir lelaki itu pada sepupunya.
"Aku akan mengenalkan sahabatku padamu. Dia adalah seorang psikiater hebat," ujar Reine sangat bersemangat.
"Apakah dia cantik? Aku tak mau konsultasi jika dia tak cantik," ancam Ryan tanpa menyadari jika seseorang yang sedang dibicarakan sudah berada di belakangnya.
Bahkan Steve juga tak menyadari sosok perempuan yang berdiri tak jauh dari mereka. Dia hanya fokus pada Reine yang sejak tadi begitu dekat dekat kakak laki-lakinya.
"Dia Dokter Evelyn, seorang psikiater dan juga sahabat dekatku." Reine memandang sosok perempuan berseragam dokter itu. Melemparkan sebuah isyarat agar dia segera menghampiri mereka bertiga.
"Datanglah ke sini, Eve!" panggil Reine pada sahabatnya itu.
Awalnya ... Ryan sama sekali tak tertarik dengan sahabat adiknya itu. Bahkan tak sedikit pun, ia menyambut kedatangan Evelyn di sana. Bersikap tak acuh dan seolah tak peduli pada perempuan itu.
"Ryan!" Reine mulai kesal saat pria itu tak mengacuhkan sahabatnya. Bahkan Steve juga tampak sibuk dengan ponsel miliknya.
Dengan sangat terpaksa, Ryan akhirnya membalikkan badan dan memandang takjub sosok perempuan yang sudah berhari-hari dicarinya. Rasanya tak percaya mendapati perempuan itu berdiri di hadapannya.
"Angel!" Sebuah sorotan tajam dan penuh arti terlukis begitu indah di wajah Ryan. Pria itu tersenyum hangat memandang seorang perempuan yang berpenampilan sebagai seorang dokter yang sebenarnya.
Angel membelalakkan mata dalam ketidakberdayaan dan juga keterkejutan yang mengguncang dirinya. Rasanya seperti mimpi buruk yang menjadi nyata menyapa dirinya.
"Apakah kalian berdua sudah saling mengenal?" Bukan hanya mereka berdua yang sangat terkejut. Reine juga cukup terkejut saat mendengar mereka berdua saling mengetahui nama mereka masing-masing.
Tak hanya itu saja, Steve juga langsung membalikkan badan dan melihat sendiri seorang perempuan yang sudah membuat sepupunya hampir gila. Memang sangat sulit untuk dipercaya. Takdir benar-benar tak bisa diduga dan sangat mengejutkan bagi mereka.
'Mungkinkah mereka berdua berjodoh?' tanya Steve di dalam hatinya. Terlalu banyak kebetulan yang terjadi di antara mereka berdua. Hal itu membuat pria itu berpikir jika Ryan berjodoh dengan sosok perempuan bayaran yang telah disewanya.
"Ryan Fernandez adalah salah satu pasienku." Angel tak pernah memberitahu Reine jika dirinya memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi seorang dokter. Hal itu tentunya menjadi rahasia kecil di dalam dirinya.
'Pasien?' Ingin rasanya Ryan menertawakan jawaban itu. Jelas-jelas dia adalah seorang pria yang menyewa Angel untuk menghabiskan waktu dengannya. 'Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh perempuan itu?' tanya Ryan di dalam hatinya.
Terlalu banyak hal yang telah disembunyikan oleh Angel pada mereka semua. Bahkan perempuan itu juga tak jujur pada sahabatnya sendiri. Hal itu membuat Ryan semakin penasaran akan sebuah rahasia yang sengaja disembunyikannya.
"Bagaimana kamu bisa memanggil Evelyn dengan sebutan 'Angel'?" tanya Reine sangat penasaran. Perempuan itu memang sangat mengetahui nama panjang dari sahabatnya itu. Namun sangat jarang orang lain yang mengetahui nama lengkap dari Angel, Evelyn Angel Zhou.
"Tanyakan saja pada sahabatmu itu!" Ryan tak ingin membuka identitas lain dari sahabat adik perempuannya. Dia sengaja membiarkan Angel menjelaskan sendiri pada sahabatnya.
Sebisa mungkin, Angel mencoba bersikap setenang mungkin. Bersikap seolah hubungan dan Ryan benar-benar sangat baik. Meskipun pada kenyataannya, ia sama sekali tak ingin kembali bertemu dengan sosok pria yang pernah menyewanya itu.
"Aku menggunakan nama 'Angel' saat kembali ke sini. Kupikir nama 'Evelyn' kurang menjual," kilah seorang perempuan yang memiliki banyak kehidupan yang tak terduga. Mulai dari seorang dokter, DJ bahkan seorang perempuan bayaran yang menjual jasanya.
Terlihat kecanggungan di wajah Angel. Dia masih tak percaya jika kakak laki-laki dari Reine adalah Ryan Fernandez. Sepertinya dia telah melupakan hal penting atas mereka berdua, Ryan dan Reine memiliki nama belakang yang sama. Angel terlalu ceroboh hingga melupakan hal sepenting itu.
"Bisakah aku memulai konseling dengan kakakmu?" Bukan karena Angel sudah tak sabar, dia ingin membicarakan hal serius pada pria itu. Tentu saja dia tak ingin jika sahabatnya itu sampai mengetahui beberapa pekerjaannya selain menjadi seorang psikiater.
"Tentu saja. Lebih cepat justru lebih baik," sahut Reine yang tampak lega saat mengetahui mereka berdua saling mengenal satu sama lain.
Akhirnya ... Angel dan juga Ryan berjalan ke arah bangunan yang tampak luas dengan desain minimalis itu. Memang bukan sebuah bangunan mewah yang megah, namun cukup nyaman bagi setiap orang yang akan melakukan rehabilitasi di sana.
Setelah berjalan tak terlalu jauh, Angel mengajak Ryan untuk duduk di sebuah aula kosong yang nampak senyap. Tak ada pasien ataupun perawat yang nampak di sekitar sana.
"Kuharap kamu tak mengatakan apapun mengenai pekerjaanku di night club. Apalagi menjadi seorang wanita sewaan pada Reine," ucap Angel dengan nada datar namun penuh tekanan dalam setiap kata yang diucapkannya. Dia tak ingin sahabatnya itu mengetahui sisi gelap dalam dirinya.
"Apakah kamu malu pada Reine? Atau kamu justru ingin terlihat seperti malaikat di hadapan adik perempuanku itu?" cerca Ryan dengan sebuah tuduhan yang cukup menyudutkan dokter cantik yang duduk tak jauh darinya.
Angel tersenyum kecut mendengar tuduhan pria itu. Tak sepenuhnya salah namun juga tak semuanya benar. Hanya saja ... ada sebuah rahasia yang tak pernah dikatakan oleh Angel pada Reine. Meskipun mereka berdua berbagi kehidupan yang sama, satu hal itu hanya tersimpan di dalam hatinya.
"Anggap saja semua benar, Ryan. Mari kita mulai konseling sekarang. Coba ceritakan, apa yang sudah membuat kamu tak pernah serius dengan banyak perempuan?" Sebuah pertanyaan awal yang cukup mengejutkan bagi Ryan. Pria itu harus membuka sisi gelap di dalam dirinya.
"Tapi aku sangat serius padamu, Angel," sahut Ryan tanpa memberikan sebuah jawaban yang tepat atas pertanyaan Angel.
Perempuan itu langsung bangkit dari tempat duduknya. Ryan sama sekali tak bisa diajak berbicara serius sama sekali. Hal itu membuatnya sedikit kesal. Andai pria itu bukan kakak dari Reine, Angel tak mau memaksakan diri untuk lebih bersabar.
"Tidak bisakah kamu bersikap seperti seorang pasien? Setidaknya sampai konseling ini selesai beberapa sesi." Angel sudah sangat yakin jika menghadapi Ryan tidaklah mudah. Seorang pria kaya dengan kekuasaan tak terbatas, dikagumi oleh banyak perempuan dari berbagai kalangan. Sosok Ryan Fernandez yang sangat diidamkan oleh banyak orang.
bình luận đoạn văn
Tính năng bình luận đoạn văn hiện đã có trên Web! Di chuyển chuột qua bất kỳ đoạn nào và nhấp vào biểu tượng để thêm nhận xét của bạn.
Ngoài ra, bạn luôn có thể tắt / bật nó trong Cài đặt.
ĐÃ NHẬN ĐƯỢC