"Boleh ya minta bantuan ayah kamu?"
Terdengar suara manja seorang perempuan yang sangat dikenal Ameera. Dia adalah Raina Daisy, kekasih Neandro. Perempuan yang seusia dengannya itu memang cukup sering berkunjung ke kafe, entah memang ingin minum atau hanya sekedar menemui kekasihnya yang sedang bekerja.
"Bantuan jenis apa dulu nih? Ayah cukup sibuk sekarang, untuk bertemu saja kamu harus menelponnya jauh-jauh hari," ujar Neandro yang mengambil air mineral di kulkas. Perempuan berambut panjang lurus itu masih berjalan di belakangnya.
"Ya aku mau kerjasama gitu karena akan melakukan pendataan warga di kelurahan ini. Aku enggak enak kalau langsung bertindak tanpa ada komunikasi dulu dengan ayahmu sebagai lurah."
"Temui saja di kantor, beliau pasti akan membantu semampunya. Kalau kamu minta bantuanku, aku enggak ngerti harus melakukan apa."
"Emm … Okedeh. Tapi temenin ya ke kantor kelurahannya. Ya ya ya?" rengek Raina manja.
"Aku ada pertandingan basket besok," sahut Neandro sambil menatap kekasihnya itu.
Raina mendengkus kasar, dia melirik ke arah Ameera yang sedang melayani pelanggan tak minat.
"Setelah bertanding deh aku temenin. Semoga pas beliau enggak sibuk, ya." Neandro menepuk pelan kepala Raina, puk puk puk.
"Jangan ngambek," tambahnya lagi seraya mencubit hidung mungil Raina.
"Ih apaan sih, By." Raina menampik tangan kekasihnya itu dan membuat Neandro tertawa kecil gemas.
Ameera yang sudah biasa dengan sikap sepasang sejoli itu hanya mehela napas dan menaikkan kedua alisnya. Pasangan yang serasi memang, Neandro dingin berdampingan dengan Raina yang manja.
Kling!
Suara lonceng terdengar saat pintu kafe dibuka oleh seseorang dari luar. Ameera yang mengetahui Neandro sedang membersihkan beberapa gelas dan piring segera mengatakan kalau kafe telah tutup kepada sosok yang masuk.
Tanpa melihat siapa yang masuk ke kafe, Ameera hanya bergumam sambil mengelap meja ketika diketahuinya kalau pelanggan tadi tidak keluar.
"Maaf, tapi …." Kalimatnya terhenti saat melihat sosok lelaki dengan gaya rambut undercut berwarna hitam yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam dengan kaos berwarna putih polos di dalamnya.
"Americano satu," kata Lelaki itu sambil membuka dompet dan mengeluarkan uang untuk membayar pesanannya.
"Kami sudah tutup. Apa kamu tidak bisa membaca tulisan di pintu itu?" tanya Ameera.
Lelaki menoleh ke arah pintu yang telah digatungi tulisan 'Tutup'.
"Ah aku tidak melihatnya," ujarnya dengan ekspresi menyesal. "Tapi aku sangat menginginkannya, apa kamu tidak ingin berbaik hati denganku, Saveri?" sambungnya dengan senyum gigi kelincinya yang sama sekali tidak membuat Ameera terpana.
Perempuan itu mehela napas kasar.
"Ayolah itu tidak sulit, kan?"
Tanpa basa basi lagi Ameera segera membuatkan pesanan lelaki itu.
"Apa ini? Kenapa kamu membuatkan pesanan orang yang bukan pelanggan?" tanya Neandro yang kembali dari membersihkan gelas dan piring di dapur.
"Siapa yang bukan pelanggan? Aku membayar ini, berarti aku pelangganmu."
"Enggak apa, Kak. Setelah ini kumatikan semuanya dan langsung tutup," sahut Ameera yang tidak ingin Neandro ribut dengan pelanggan terakhirnya itu.
"Altezza, ini milikmu. Besok dan seterusnya tolong jika ingin berkunjung sesuaikan dengan jam operasional kami," kata Ameera sambil meletakkan pesanan pelanggannya itu di meja.
Lelaki berjaket kulit hanya mengangguk tak minat. Dia segera berterimakasih dan keluar dari kafe.
Sementara Neandro, dia sedang merapikan susunan kursi dan meja. Dilihatnya jam yang telah menunjukkan hampir pukul sebelas malam, dia segera menyuruh karyawannya untuk pulang karena besok masih harus pergi kuliah pagi.
"Terimakasih untuk hari ini, Ameera. Maaf tidak dapat mengantarmu pulang karena harus ke rumah ayah."
Ameera mengangguk mantap, "Jangan lupakan kalau aku jago bela diri, Kak. Hehe aku akan pulang dengan selamat."
Dengan kembali mengenakan jaket dan maskernya, Ameera berjalan menuju halte. Sudah sangat malam untuk menunggu bis, dia hanya berharap akan ada taksi yang lewat.
Cukup lama menunggu, dia memutuskan untuk memesan taksi online dengan ponselnya. Tetapi belum sempat dia memesan, sebuah mobil sport berwarna merah yang menyilaukan parkir tepat di depannya.
Sudah diketahui oleh Ameera siapa pemilik mobil itu, tentu saja Altezza, seorang lelaki tampan kaya raya yang selalu menyombongkan harta kekayaan ayahnya.
"Naiklah, aku akan mengantarmu pulang," teriaknya dari dalam mobil dengan sedikit mengintip dari kaca mobil yang tebuka.
"Aku akan memesan taksi online, kamu tidak perlu repot."
"Tidak repot karena kita searah. Lagipula, dengan menerima tumpangan dariku kamu akan menghemat biaya taksi dan dapat kamu gunakan untuk makan besok hari."
Ameera mendengkus kesal. Lelaki itu selalu saja mengakatan hal yang kurang nyaman di telinganya.
"Ayo! Waktuku enggak banyak!" teriak lelaki berjaket kulit itu lagi.
"Enggak, kamu duluan saja!" sahut Ameera kekeh. Dia kembali fokus dengan ponselnya yang terkendala jaringan ketika hendak memesan taksi online.
Ameera mengumpat ke ponselnya yang tidak dapat diajak kerja sama.
"Bagaimana? Ini pertanyaan terakhirku. Hari semakin gelap, kamu hanya akan sendirian disini?"
Ameera masih tidak memberi jawaban dan masih bersikap sibuk dengan ponselnya.
Altezza menginjak gas dan pergi meninggalkan Ameera di depan halte sendirian.
"Arghh! Benar-benar menyebalkan hey! Kenapa ponselku juga bermasalah disaat genting seperti ini?" Ameera memaki dan memukulkan ponselnya pada telapak tangannya dengan kasar.
Tidak lama kemudian mobil sport berwarna merah kembali terparkir di depannya. Tanpa basa basi lagi, pemiliknya keluar dan berjala memutar untuk membukakan pintu lalu mempersilahkan Ameera untuk naik.
"Cepatlah!" dia menarik lengan perempuan bertudung itu agak kasar.
Brukk
Segera ditutupnya pintu mobil saat Ameera telah masuk dan duduk di dalam.
"Untuk besok dan seterusnya tolong jangan menolak saat aku menawari tumpangan. Aku sudah cukup lelah selama ini selalu kamu tolak!"
"Aku tidak menolak, aku hanya tidak ingin merepotkan," jawab Ameera yang membuka tudungnya.
"Aku akan repot jika kamu yang memaksaku untuk mengantarmu saat aku sedang tidak ingin. Tetapi selama ini akulah yang menawarimu, itu artinya aku sama sekali tidak repot dan ingin mengantarmu," ujar Al yang melirik tajam Ameera.
Ameera hanya diam tidak begitu menghiraukan lelaki di sampingnya. Hidungnya menangkap sebuah aroma yang asing bagi indra penciumannya. Aroma yang tidak begitu tajam, hanya saja membuatnya penasaran hingga mencari-cari di dalam mobil Al.
"Itu bir. Aku baru membelinya beberapa di kursi belakang," kata Al yang seolah paham dengan isi kepala Ameera. "Ini, barusan aku meminumnya," tambahnya lagi sambil menunjukkan kaleng minuman berakohol itu pada perempuan di sampingnya.
Ameera menelan ludah. Dia sudah tahu kalau anak dari orang terpandang ini adalah peminum, tetapi dia belum pernah melihatnya secara langsung sehingga dia merasa terkejut dengan apa yang ada di hadapannya kini.
Al mengantar Ameera hingga depan rumah kontrakannya yang berada tidak begitu jauh dari komplek rumah Al.
"Besok aku akan bertanding basket dengan jurusan Olahraga. Apa boleh aku menyewamu sebagai penyemangatku di lapangan?" tanya Al saat Ameera hendak keluar mobil.
"Hemm …." tawabnya singkat.
"Baiklah, sampai jumpa besok di kelas dan di lapangan, Saveri." Al kembali menyunggingkan senyumnya sambil melambaikan tangan.
"Dah …." Ameera membalas lambaian tangan lelaki tampan itu dengan malas.
Mereka memanglah teman sekelas, mereka juga sering bersama karena Al menyewa Ameera untuk banyak hal, diantaranya sebagai penyemangat di lapangan saat pertandingan basket, menemani pergi ke kantin dan menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan bersama, atau hanya untuk sekedar belajar bersama.
Al selalu membayar Ameera untuk semua kebaikannya, dia bilang dia tidak akan menyia-nyiakan jasa seseorang begitu saja. Karena dia memiliki uang, maka dia akan membalasnya dengan uang.
***