Masih berada di luar hutan, aku, Caka, Isaria, dan Lev, masih sedang merundingkan sebuah rencana.
Yah ... lebih tepatnya mungkin 'mendengarkan rencana', sih...
Maksudku, bukan hanya aku saja, dia bahkan tidak memberikan Isaria dan Lev sedikit kesempatan untuk setidaknya mengeluarkan pendapat.
Ini bisa saja karena dirinya memang sudah memercayai atau memang karena dirinya itu sangat egois saja.
"–berjanjilah, ya. Kalau kau akan menemaniku nanti."
"Ya, ya. Aku berjanji. Sebagai gantinya, aku ingin kau untuk melakukan yang terbaik, ya, Isaria."
Dia ini ... apa mungkin dia melakukannya dengan sengaja...?
Aku sangat yakin jika diriku masih belum bergerak ke manapun sejak awal dia memulai pembicaraan.
Mengelus-ngelus rambut merah gadis di sebelahku tanpa memerhatikan sekitarnya, Caka melakukannya sembari tersenyum.
Seolah-olah dari awal memang sudah berniat untuk mengabaikanku yang berdiri tepat di sampingnya.
Aku tidak iri, kok ... aku tidak iri...
Ah, ngomong-ngomong, saat aku bilang 'iri', tentu saja itu maksudnya adalah ketika ia mengelus-ngelus rambut si merah ini.
Aku tahu jika ini tidak terlalu penting, tapi aku akan tetap memberitahukannya saja.
Dengan tujuan tersembunyi. Yaitu, tentu saja agar orang-orang tidak salah paham dan beranggapan jika diriku sudah 'belok' dari jalur.
Itu benar, aku adalah seorang remaja laki-laki tulen yang masih menyukai perempuan.
Itu benar, 'masih'...
***
Ini buruk sekali...
Maksudku, bukankah suasananya sangat canggung? Membiarkan dua orang yang bahkan belum mengenal antara satu sama lain untuk pergi dalam sebuah misi.
Apalagi, dua orang tersebut adalah seorang laki-laki dan perempuan!
Mengapa aku bisa bilang itu buruk?
Yah, yah, tentu saja itu dikarenakan aku sangat jarang sekali ... tidak, mungkin saja bahkan belum pernah ... itu benar, aku mungkin belum pernah berbicara dengan seorang introvert selain dari laki-laki yang kukenal.
Sejak awal berpisah dengan mereka berdua, aku dan Isaria bahkan belum pernah melakukan kontak mata lagi.
Ah, ini gawat sekali. Aku tidak bisa membiarkan hal ini berlangsung terus-menerus.
Itu benar, itu benar, aku harus mencari topik dan memulai pembicaraan lebih dulu.
Namun ... kalau kuperhatikan dari belakang begini ... entah mengapa dia terlihat seperti anak-anak yang sedang berburu belalang di hutan...!
Maafkan aku, maafkan aku, Isaria.
Hidupmu pasti berat sekali karena memiliki tubuh seperti anak polos begitu...
"..."
Mungkin karena aku membuat suara-suara yang aneh, Isaria pun melirik ke belakang sekali-kali.
Padahal selama ini aku bisa berbicara seperti biasanya ketika bersama dengan Lucia dan Rord...
Apa yang sebenarnya sedang merasukiku...?
"..."
Tidak, ini tidak boleh terus menerus berlangsung. Sebagai sosok yang lebih dewasa, aku harus bisa untuk memimpin jalannya pembicaraan.
Itu benar, aku harus mengalah.
"A–Anu ... jadi, apa pendapatmu soal benda berukuran kecil?"
"Apa kau sedang membicarakan payudaraku?"
Eh? Kenapa malah langsung ke situ?
Ya–Yah, dia tidak salah, sih...
Namun, yang lebih penting lagi ... mengapa aku malah menanyakan hal seperti itu? Bukankah suasananya malah akan jadi semakin lebih canggung sekarang?
"Ya–Ya, begitulah."
Hey! Berhenti di sana!
"... Aku tidak terlalu mempermasalahkannya."
"O–Ooh ... jadi begitu..."
Ja–Jawaban macam apa itu...? Aku tidak mengerti. Dan juga, mengapa dia meresponku secara positif seperti itu?
Itu benar, itu benar. Lebih baik aku ubah saja topiknya.
"Mengapa kau memiliki tanduk di kepalamu, Isaria? Apa kau ini ras iblis?"
Sudah kukatakan! Kumohon berhentilah diriku–!
"Tidak. Aku ini manusia."
"..."
"..."
Apa aku benar-benar harus bertanya tiap waktunya?
Kami berdua kembali diam.
Aku merasa kebingungan dengan diriku yang sedari tadi selalu menanyakan hal-hal yang bisa saja terkesan sensitif untuk didengar beberapa orang.
Aku tak tahu kenapa diriku bisa langsung terang-terangan melakukannya begitu, tapi kurasa itu dikarenakan diriku yang memiliki kemampuan komunikasi yang cukup renda–
"–dulu sekali, aku tidak ingat jika diriku memilikinya."
"He–Heeh..."
Itu sedikit mengejutkanku karena dia tiba-tiba saja berbicara.
"Ja–Jadi, apa benda itu tiba-tiba saja tumbuh dengan sendirinya di kepalamu, Isaria?"
"Tidak, bukan begitu, ini lebih rumit. Sulit untuk dijelaskan ... bagaimana, ya...? Ya–Yah, mungkin kau juga bisa mengatakannya seperti itu."
" 'Bisa mengatakannya seperti itu'? Mengapa kau malah membuatku penasaran seperti itu, sih...?"
Isaria berhenti dari jalannya sebentar dan mengatakan sesuatu yang sepertinya cukup penting untuk diingat.
"Yah, suatu saat nanti, kau juga pasti akan mengetahuinya."
Apa ini? Apa ini? Apa ini adalah semacam pertanda akan kisahku di masa depan nantinya...?
Padahal jika dia langsung mengatakannya sekarang, itu mungkin saja bisa akan langsung mengungkapkan seluruh misterinya...
Kembali lanjut berjalan, aku bertanya pada Isaria.
"Bagaimana dengan mawar merah yang ada di mata kananmu? Benda itu kelihatannya seperti terhubung dengan kedua tanduk yang ada di kepalamu juga."
"Matamu bagus juga. Itu benar, seperti yang kau katakan, mawar ini memang membentuk semacam pembuluh dan menghubungkannya ke kedua tandukku ini. Dan dengan begitu, aku pun akhirnya bisa mendapatkan kemampuan luar biasa yang sepertinya hanya dimiliki oleh diriku seorang."
"Heeh ... begitu rupanya. Ngomong-ngomong kemampuan macam apa itu?"
"Yah, kau bisa lihat sendiri nanti. Daripada itu, mungkin kau bisa menceritakan soal dirimu sekarang. Tidak adil rasanya jika hanya aku saja yang bercerita. Kau tahu itu, 'kan?"
"O-–Oh, baiklah."
Eh...? Tanpa kusadari, aku baru saja melakukan interaksi dengannya dengan normal.
Tetapi ... gadis bernama Isaria ini kelihatannya cukup baik juga.
Padahal awalnya aku mengira jika dirinya adalah tipe gadis yang judes. Tapi, kurasa ini hanya karena memang dirinya merupakan seorang introvert saja.
Apa mungkin sebenarnya aku benar-benar berbakat dalam berkomunikasi...?
Tidak, tidak. Kurasa itu tidak benar...
"Karena kau sudah mengetahui namaku, jadi kurasa aku tidak perlu menyebutkannya lagi. A--Ah, aku berasal dari tempat yang jauh dari sini, bisa dikatakan jika diriku dulunya adalah seorang 'pengelana'."
"Oh, begitukah? Kalau begitu, kita sepertinya sama."
"...? Apa Isaria juga tidak berasal dari sini?"
"Ya, begitulah. Hanya saja, aku bukanlah seorang pengelana. Melainkan ... yah, bisa dikatakan jika diriku berasal dari negeri yang benar-benar jauh dari tempat ini. Setidaknya, itulah yang kuingat."
'Yang kuingat'–? Apa yang dia maksud denga–
Isaria berhenti untuk diam sebentar, dan akhirnya mengarahkan pandangannya pada diriku untuk pertama kalinya sejak awal kami berpisah dengan Caka dan Mbak Lev.
"–ngomong-ngomong, mengapa kau memutuskan untuk menjadi seorang petualang? Biasanya, pengelana itu adalah seorang pedagang, jadi sangat jarang sekali untuk mereka memutuskan untuk berubah tiba-tiba begitu."
Eh? Apa itu benar?
"Ya–Yah, aturan seperti itu tidak berlaku padaku."
"Heeh ... lalu, mengapa kau memutuskan untuk ingin menjadi petualang?"
"I--Itu, tentu saja! Untuk mengalahkan raja iblis dan menyelamatkan dunia dari situasi 'krisis' ini!"
Yah, meskipun aku tidak tahu letak 'krisis'-Nya itu di mana, sih...
Aku menggaruk wajah dengan jari telunjuk.
Melihatku, Isaria tidak menanggapi kata-kataku dan lagi-lagi kembali berjalan meninggalkanku di belakang.
Apa dia bisa untuk tidak berhenti tiba-tiba begitu? Itu selalu mengejutkanki, tahu...
Tetapi, meskipun begitu ... aku yakin jika sebenarnya dia adalah orang yang cukup baik.
Itu benar, maksudku, dia bahkan mau membantuku untuk mencari seseorang yang bahkan tak ia kenal.
"Apa masih ada pertanyaan lain juga, Senior? Atau mungkin ada sesuatu yang membuatmu penasaran tentangku?"
" 'Senior'...? O–Ooh, i–itu benar juga. Ku–Kurasa masih ada. Se–Sebentar, ya."
Menyuruhku untuk menunggu, Isaria berbalik, membuatku kini hanya bisa melihat bagian belakang tubuhnya saja.
Itu benar, dibandingkan dengan seorang 'petualang', Isaria benar-benar terlihat seperti anak kecil yang sedang bermain mencari serangga di hutan kalau begini.
Seperti punggung anak-anak...
"..."
A–Apa?
Suara apa itu?
Terdengar seperti suara napas yang tergesa-gesa. Lebih tepatnya mungkin ... benar, tidak teratur mungkin akan jauh lebih tepat.
Kedengarannya seperti suara seorang perempuan.
Yah, napas yang lembut dan seksi begitu, sudah pasti tidak mungkin ke luar dari mulut laki-laki.
Apa itu hanya perasaanku saja...?
"...!"
Tu–Tunggu. Apa mungkin suara itu berasal dari–
Aku akhirnya sadar dari mana asal suara napas tersebut.
"I–Isaria...?"
Aku memanggil Isaria, dan ia pun meresponnya dengan perlahan berbalik ke arahku.
"A–A–A–A–A–Ada sa–satu hal ya–yang menarik pe–perha–hatianku. Ba–Ba–Ba–Ba–Baga––ga–ga––gaima–ma–ma–ma–mana dengan party-mu ... Junior!?"
Sudah kuduga.
Hanya dengan melihatnya saja, aku langsung bisa tahu.
Tampaknya, Isaria si gadis introvert ini, merasa kesenangan karena aku memanggilnya dengan sebutan 'Senior'.
Di wajahnya saja sudah tertulis dengan sangat jelas. Wajah panik sampai salah tingkah begini ... apa dia benar-benar tidak pernah dipanggil begitu...?
Lagi pula, bukankah kepribadiannya jadi benar-benar berubah...?
Tidak, tidak. Kurasa sesuatu yang seperti ini masih terbilang normal.
Terkadang, memang ada orang-orang yang bisa berubah 180 derajat dalam situasi tertentu.
Dan nampaknya, perkara itu sedang berlaku pada Isaria sekarang.
Aku memanggilnya 'Senior' agar setidaknya dia sedikit menghormatiku, tapi siapa yang menyangka malah akan begini jadinya...
"A–Ah, itu. Iyah ... kelompok kami benar-benar kacau, tahu ... kami bahkan pernah hampir tak terselamatkan ketika tidak sengaja berhadapan dengan The Elder. Bukan hanya itu saja, kami bahkan belum pernah benar-benar menyelesaikan satu quest pun dengan usaha kami sendiri. Yah, namanya juga masih pemula. Kalau Senior sendiri, bagaimana?"
"A–Ah! A–Aku, ya?! A–Ah ... se–sebenarnya, kelompok kami bisa dibilang biasa saja. Maksudku, aku biasanya selalu berada di belakang sementara Caka dan Lev bertarung dengan musuh."
Begitu rupanya...
Pantas saja ia sangat terkejut ketika tiba-tiba dipanggil begitu ... selama ini dia selalu berada di belakang, akan aneh jadinya jika ia tiba-tiba tahu ada seseorang yang sedang mengaguminya.
Yah, sebagai seseorang yang belum pernah dikagumi juga, aku akan senantiasa mengagumimu.
Jadi, tenanglah saja, ya, Senior.
"... Ju–Junior?"
"O--Oh, ya. A–Ada apa?"
"Bu–Bukan apa-apa. Ha–Hanya saja–"
Mempertemukan dua jari telunjuk yang ia miliki secara berulang-ulang kali, Isaria melirik secara acak ke arah manapun.
"–a–apakah kau tidak keberatan untuk menceritakan soal dirimu secara lebih lanjut...?"
E–Eh...? A–Apa-apaan ini?! Bukankah kepribadiannya benar-benar terlalu berubah dengan drastis?!
Dari sosok seorang Senior yang cuek, dia tiba-tiba saja berubah menjadi Senior yang selalu ingin tahu soal Junior-nya!
Bukankah ini terasa terlalu cepat?
"I–Ini adalah permintaan– pe–perintah oleh senior-mu."
"..."
Tu–Tunggu. Tolong tunggu sebentar. Aku masih tidak bisa memproses ini.
"A–Ah, tentu saja, kok. Akan kuberitahu. E–Ehem. Sejak awal sampai ke kota, jujur saja, aku bahkan belum pernah tidur di kamar yang nyaman. Apa kau tahu rasanya, Senor?"
Aku berhenti di tengah-tengah pertanyaan untuk mengintip wajah penasaran Isaria.
Dia menyadari tatapanku dan mengangguk-angguk untuk memberikanku sinyal agar kembali melanjutkan ceritaku.
Mau bagaimana lagi ... aku akan melakukannya demi dirimu, Senior!
"Itu sangat tidak nyaman, tahu! Apalagi, aku selalu tidur bersama dengan seseorang yang tidak pernah merapikan tempat tidurnya, jika kau berada dalam posisiku, bukankah kau juga pasti akan merasa kesal? Maksudku, bukankah seorang gadis biasanya selalu rapi dalam aspek apapun? Meskipun memliki kasta yang tinggi, tapi haruskan dia benar-benar bersikap begitu padaku? Belum lagi, baru-baru ini kami bahkan mendapatkan anggota baru yang sikapnya benar-benar membuatku–"
Di tengah-tengah bercerita, aku kembali mengintip Isaria. Dengan tujuan untuk memerhatikan wajah lucu penasaran miliknya.
Itu benar, dia memang tidak terlihat seperti seorang Senior yang dapat diandalkan.
Maka dari itulah, itu adalah tugasku untuk membuat dirinya merasa nyaman.
Selesai dari bercerita, Isaria pun bertepuk tangan tanpa alasan yang jelas.
Aku tahu tindakan tersebut tertuju padaku, tapi apa dia benar-benar harus bertepuk tangan...?
Apalagi, dia melakukannya sembari memasang wajah puas begitu.
***
"Junior, kau sangat pandai, ya, dalam berkomunikasi."
"Ya–Ya, begitulah."
"Berbanding terbalik denganku."
Eh? Tunggu. Kurasa aku tahu apa yang ingin dia katakan selanjutnya.
"Sejak dulu, aku benar-benar sangat buruk dalam hal itu. Bahkan, saat awal kita bertemu, aku bahkan sempat berkeinginan untuk membuat jarak denganmu karena kau masihlah orang asing bagiku."
Yap, sudah kuduga. Pasti akan seperti ini jadinya.
Dugaanku memang belum pernah salah.
Yah, kondisi yang ia alami cukup wajar, sih. Menjaga jarak dengan orang asing.
Sebelum mengenal satu sama lain, tentu saja seseorang tidak akan langsung ingin dekat-dekat denganmu.
"Hey, katakan. Apa mungkin kau berpikir jika aku ini orang yang jahat, Junior?"
"Ti–Tidak, tidak. Tidak begitu, kok. Maksudku, bukankah wajar-wajar saja jika kau ingin menjaga jarak dengan orang asing? Aku dulunya juga begitu."
"Junior memang sangat baik hati, ya ... kau bahkan membuat sesuatu yang terkesan 'negatif' bisa menjadi 'positif' demi seseorang."
"A–Ha–Ha ... aku tidak terlalu mengerti apa maksud perkataanmu itu."
"Padahal kau tahu apa artinya, tapi kau berlagak seolah-olah tidak mengetahuinya. Terus terang saja, itu cukup jahat, tahu, menyembunyikan kebenaran."
Isaria berhenti dari jalannya.
Menanggapi hal tersebut, aku pun spontan ikut berhenti.
Tidak seperti sebelumnya, tanpa kami sadari, kami pun mulai berjalan berdampingan seperti orang-orang akrab lainnya.
"Ada apa, Senior?"
"Bukankah sudah waktunya untukmu memberitahukannya? Tidak, mungkin dari awal kau seharusnya memang sudah memberitahukannya, sih..."
"Memberitahu? Soal apa?"
"Soal anggota party-mu, tahu. Perihal ciri-ciri fisik mereka. Dari awal saja, sudah mustahil untuk mencari mereka tanpa mengetahuinya, apa kau paham soal itu?"
Kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya itu benar juga.
Meminta seseorang untuk mencarikan sesuatu tanpa memberitahukannya apa benda yang dicari itu benar-benar tidak ada maknanya.
"Ya–Ya, tentu saja aku paham soal itu."
"Ya sudah, kalau begitu, cepat beritahukan apa saja yang kau tahu soal mereka."
"E–Emm ... Rord, dia adalah seorang gadis dengan tubuh kecil–"
"... Apa dia lebih kecil daripadaku?"
"Ya–Ya, sepertinya begitu."
Isaria berbalik dan mengangkat tangannya ke atas seolah-olah tindakannya itu mengatakan sesuatu seperti 'Yes, aku menang!' atau sesuatu yang mirip dengannya.
Melihatnya, aku meresponnya dengan wajah datar.
Apa sikap kompetitif seperti itu benar-benar diperlukan?
Yah, dibandingkan dengan Rord, Isaria memang memiliki tubuh yang lebih tinggi.
Hanya saja, sikap mereka berdua benar-benar berbanding terbalik.
Membuat mereka berdua menjadi individu yang benar-benar berbeda.
Yah, kau tidak men-sama ratakan semua orang, sih...
"Apa ada sesuatu yang mencolok pada dirinya?"
"Ah, dia memiliki sepasang tanduk di kepalanya, dan juga, ia memiliki rambut pirang krem yang panjang. Selanjutnya adalah Lucia. Dia adalah gadis yang tinggi, setidaknya, kurasa dia sedikit lebih tinggi daripadaku. Dia memiliki rambut pirang dan wajah yang seolah-olah selalu mengatakan jika dirinya adalah seseorang yang hebat."
"Seseorang yang hebat?"
"Ya, begitulah. Harus kuakui, dia memang hebat. Tapi, wajahnya itu benar-benar terlihat selalu mengatakan hal itu. Yah, dia itu sangat kuat, sih. Jadi, kurasa dia akan baik-baik saja dengan dirinya sendiri."
"Meskipun dirinya sangat hebat begitu, tapi tidak ada salahnya juga jika kita ikut mencarinya juga, 'kan?"
"Ya–Yah, tentu saja itu tidak apa-apa. Ta–Tapi, kalau bisa, aku ingin kita untuk lebih memprioritaskan Rord dulu."
"Baiklah. Terima kasih atas informasinya."
Isaria berterima kasih dan berjalan lebih dulu, meninggalkanku di belakang.
Aku segera menyusulnya dengan cepat ketika aku tahu jika aku akan ditinggalkan oleh dirinya sama seperti sebelum-sebelumnya.
"A–Anu, Senior ... aku sudah ingin menanyakan hal ini dari tadi, tapi..."
"Ada apa? Tanyakan saja apapun itu."
"Emm ... bagaimana cara kita mencari mereka? Maksudku, apakah tidak ada cara lain yang kita bisa gunakan selain berkeliling tidak jelas seperti yang sedang kita lakukan sekarang?"
Isaria sedikit terkejut mendengar ucapanku, ia melanjutkannya dengan meletakkan jari telunjuk ke dagu miliknya diiringi dengan sedikit berkeringat.
Mungkin dia begitu karena pertanyaanku dan membuatnya kebingungan untuk menjawab.
"Ka–Kalau kau bilang begitu, rasanya benar juga. Petunjuk yang kita miliki pun minim sekali. Ditambah, hutan ini juga benar-benar sangat luas! Sepertinya memang mustahil jika hanya kita saja yang mencari mereka..."
Sudah kuduga ... memang mustahil sepertinya bagi kami untuk mencari mereka.
"Sepertinya, kita memang butuh bantuan."
"Bantuan? Apa maksudnya kau ingin menunggu bantuan tiba saja?"
"Tidak, bukan begitu."
"...? Lalu, apa maksudmu?"
"Aku ingin mengajak seseorang, tidak, lebih tepatnya mungkin orang-orang. Eh– kurasa yang benar tak kasat mata biasa."
Apa yang dia maksudkan?
Tak kasat mata?
Perasaanku, di sekitar kami tidak ada orang sama sekali...
...?!
A–! A–Apa jangan-jangan hantu?!
Tidak, tidak, tidak. Lagi pula, di dunia lain begini, apa hantu itu juga ada?!
Aku melihat ke sekeliling. Ke arah manapun yang dapat dijangkau dengan mata manusiaku.
Aku dan Isaria bertukar pandangan.
Ekspresi misterius yang terpampang pada wajahnya sedikit kucurigai.
Ka–Kalau aku tidak salah ingat, dia pernah bilang jika dirinya memiliki kemampuan spesial yang ia dapatkan dari tanduknya.
Apa kemampuan spesial tersebut maksudnya adalah untuk melihat hantu?!
Ka–Kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya itu bisa jadi.
Sejak awal kami mulai berjalan berdampingan, dia selalu melihat ke sekelilingnya berkali-kali tanpa memerhatikan diriku sebagai lawan bicaranya.
Ta–Tapi, tidak baik rasanya jika aku hanya menyimpulkannya begitu saja tanpa bukti yang kuat.
"He–Heeh, siapa yang ingin kau ajak?"
Oi, oi, jangan bercanda begitu dong, Senior.
Itu benar, mana mungkin ada orang lain yang juga sedang ada di sini. Yang ada, palingan mereka juga sedang tersesat, tahu.