Happy Reading Guys ❤
"Ayo kita pulang." Ajak Banyu.
"'Lapar."
"Tadi kan sudah sarapan di rumahku, masa masih lapar? Katanya mau diet," ledek Banyu.
"Gara-gara nungguin kamu yang asyik berduaan sama pacar kamu, aku jadi lapar." sahut Gladys. "Boleh buka jaketnya nggak?"
"Jangan."
"Gerah."
"Biar."
"Tapi aku nggak nyaman siang-siang begini pakai jaket. Panas."
"Neraka jauh lebih panas daripada sekarang." sahut Banyu.
"Nyebelin."
"Biarin. Siapa suruh senang banget pakai baju kayak gitu. Ketat, mempertontonkan aurat." Gladys langsung cemberut.
"Ayo ke Cafe yang itu. Yang ada ACnya."
"Mahal. Kalau sama aku kita ke kantin saja. Lebih terjangkau," Tolak Banyu.
"Kantin itu? Panas, nggak ada ACnya. Kamu kok tega banget sih melarang aku buka jaket tapi ngajak aku ke tempat yang nggak ber-AC." Gladys hampir menangis.
"Kalau jadi istri seorang tukang sayur ya tempat kayak gitu yang kamu datangi. Bukan cafe mahal seperti yang di seberang sana." Gladys mendadak mogok jalan. Banyu ikut menghentikan langkahnya.
"Kenapa berhenti?"
"Aku mau pulang. Capek."
"Tadi katanya lapar." Gladys tak menyahut. Hanya wajahnya tambah ditekuk. Banyu ingin tertawa melihatnya. Mirip Nabila kalau ngambek.
"Nggak jadi. Antar aku ke butik aja."
"Hey, aku bukan tukang ojek kamu. Lagipula gimana dengan mobil kamu?"
"Aaargh.. nyebelin.. nyebelin... nyebeliiiin!!" Banyu berusaha keras menahan tawa melihat tingkah Gladys.
"Kamu tau nggak kalau kelakuan kamu kayak anak kecil? Kelakuan kamu seperti Nabila kalau ngambek. Hmm.. mungkin lebih mirip kelakuan Zahra, anaknya Cole yang TK." ledek Banyu. "Tadi yang memaksa ingin ikut siapa?"
"Iya, tapi tengah hari bolong gini, aku nggak boleh lepas jaket terus makannya di kantin yang panas. Aku nggak sanggup. Kalau boleh buka jaket, aku mau makan di kantin. Lagipula aku pasti keliatan kayak orang bego. Panas-panas begini kok pake jaket." Omel Gladys sambil menjatuhkan dirinya di lantai. Banyu benar-benar tak sanggup menahan tawanya lagi.
"Hey, bangun. Kamu benar-benar mirip anak TK kalau begitu. Nggak malu dilihatin orang banyak?" Gladys melihat ke sekitarnya. Dan memang banyak mahasiswa yang memperhatikan mereka.
"Gladys!" Tampak Andre berjalan mendekati mereka. "Elo kenapa duduk disitu?"
"Capek, gerah." Andre menoleh ke arah Banyu yang kini wajahnya tampak kaku.
"Mas, kasihan itu calon istrinya kok dibiarin," tegur Andre kepada Banyu. Ia mengulurkan tangannya kepada Gladys. "Ayo, sini gue bantu berdiri."
Gladys menerima uluran tangan Andre. Setelah Gladys berdiri, Andre tak langsung melepaskan tangannya.
"Ke Cafe sana yuk." Gladys menoleh ke arah Banyu yang segera membuang pandang ke arah lain. Tentu saja Gladys kesal dengan sikap Banyu yang dianggapnya tak peduli.
"Ayo." jawab Gladys mengiyakan ajakan Andre.
"Ayo mas," ajak Andre kepada Banyu yang dari tadi hanya diam saja.
"Maaf, kami masih ada urusan lain." Banyu menarik tangan Gladys yang ada dalam genggaman Andre. "Makasih sudah bantuin dia berdiri. Ayo, kita pulang."
"Tapi...." Tanpa menunggu kelanjutan ucapan Gladys, Banyu menarik gadis itu untuk mengikutinya. Dengan terpaksa Gladys mengikuti Banyu.
"Apaan sih tarik-tarik begitu? Tanganku sakit, tau!" omel Gladys sambil menarik tangannya yang dari tadi dipegang oleh Banyu.
"Pakai helmnya. Ayo kita pulang."
"Tapi aku lapar."
"Iya nanti kita ke Cafe, tapi jangan yang disitu. Mahal. Aku tau Cafe yang nyaman tapi nggak semahal disitu."
"Beneran?" tanya Gladys tak percaya. Banyu mengangguk meyakinkan.
"Mana tas kamu, biar aku yang pakai." Banyu menyerahkan tasnya sambil tersenyum. Setelah itu ia hendak melepaskan dasinya namun dicegah oleh Gladys. "Jangan. Kamu lebih ganteng pakai dasi."
"Nggak cocok tukang sayur pakai dasi."
"Tapi kamu kan nggak lagi jualan sayur. Kamu lagi jalan sama aku."
"Kenapa? Biar disangkain jalan sama pegawai kantoran?" Gladys diam tak menjawab. Tanpa banyak bicara Banyu melepas dasinya. "Maaf, aku bukan pegawai kantoran. Kalau kamu nggak berkenan dengan hal itu, silahkan mundur."
"Maaf, aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya senang lihat kamu pakai dasi. Lagipula aku yang tadi memakaikan dasi itu. Ini pertama kalinya aku memakaikan dasi ke seorang cowok yang bukan keluargaku." ucap Gladys lirih sambil membuang pandang. Banyu tak membalas ucapan Gladys.
"Ayo cepetan naik. Katanya lapar." Banyu menyuruh Gladys baik ke belakangnya. "Jangan lupa pegangan biar nggak jatuh."
Kali ini Gladys hanya diam. Dia lebih memilih berpegangan pada bagian belakang motor. Banyu menghela nafas kasar lalu mengambil tangan Gladys agar memeluk pinggangnya.
"Aku nggak mau diomelin keluargamu kalau kamu sampai jatuh dari motor."
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 15 menit, mereka sampai di sebuah Cafe yang terlihat ramai namun cozy. Gladys mengikuti Banyu masuk ke dalam Cafe tersebut. Ia memperhatikan interior Cafe yang terlihat sederhana namun homey. Masuk ke dalam Cafe itu terasa seperti pulang ke rumah. Nyaman.
"Ayo kita duduk disana," ajak Banyu sambil mengajak Gladys ke salah satu sudut. "Kamu lihat-lihat saja menunya sementara aku mau ke kamar mandi."
Tak lama Banyu kembali. Wajahnya terlihat segar. Gladys hanya melirik sebentar kemudian asyik kembali dengan menu yang ada di hadapannya.
"Makanan apa yang enak disini?"
"Kamu mau sekalian makan siang atau hanya sekedar ngemil?" Banyu balik bertanya setelah duduk di hadapan Gladys.
"Hmm... masih jam segini. Ngemil berat deh." sahut Gladys.
"Nggak diet lagi?" ledek Banyu.
"Nggak usah ngeledek deh. Gara-gara nungguin kamu pacaran aku jadi kelaparan. Kalau tau kamu mau pacaran, mendingan aku nggak ikut." omel Gladys.
"Yang tadi maksa mau ikut siapa?"
"Ya, kamu kan nggak bilang kalau mau ketemu pacar." ucap Gladys tak mau disalahkan. Banyu menghela nafas untuk mengurangi kekesalannya.
"Princess, semua penderitaan kamu hari ini ya gara-gara kamu sendiri. Siapa yang pagi-pagi buta datang ke rumah? Siapa yang memaksa mau ikut aku ke kampus? Jadi nggak usah complain ya."
Gladys sudah siap membantah, namun ia batalkan. "Aku pesan spaghetti aja. Minumnya ice lemon tea."
"Nggak mau nyobain tiramisunya? Enak lho. Tenang aja aku bayarin." Banyu menawarkan dessert kepada Gladys.
"Nggak.. Kasihan kamu yang musti bayarin aku. Lagipula aku nggak terlalu suka tiramisu." Banyu tersenyum mendengar ucapan Gladys. Entah sudah berapa kali ia tersenyum akibat ulah gadis ini.
"Tenang saja princess. Hari ini kamu boleh makan apa saja. Aku lagi bahagia karena urusanku hari ini lancar."
"Mas, Mila itu pacar kamu?" tanya Gladys sambil menikmati spaghetti. Entah karena suka atau karena benar-benar lapar, Gladys makan dengan lahap. Akibatnya saus spaghetti menempel di sudut bibirnya. Bukannya menjawab pertanyaan Gladys, Banyu malah mengambil tissue dan membersihkan saus tersebut. Gladys langsung berhenti makan akibat perlakuan Banyu.
"Kenapa berhenti makan? Kamu tuh benar-benar kayak Zahra. Sudah gede makan masih berantakan. Seorang princess seharusnya punya manner dalam urusan makan. Nggak kayak kamu begini." Tegur Banyu setelah membersihkan saus tersebut.
"Dari tadi kamu selalu menyamakan aku dengan anak kecil. Aku tuh sudah dewasa, mas. Umurku sudah 24 tahun." Protes Gladys. "Aku tuh nggak suka diperlakukan kayak anak kecil."
"Ya, bersikap dewasalah."
"Aku sudah bersikap dewasa kok."
"Ngambek dan duduk di lantai kayak tadi di kampus itu kamu bilang dewasa?" Gladys langsung memberengut mendengar ucapan Banyu.
"Pertanyaanku tadi belum kamu jawab." ucap Gladys tanpa memperdulikan pernyataan Banyu tentang sikapnya hari ini.
"Soal Mila?" Gladys mengangguk. "Mila itu dosen pembimbingku. Tadi aku ketemu dia untuk bahas skripsiku."
"Kamu pacaran sama dosen pembimbing? Memangnya boleh? Nggak fair dong penilaiannya." komentar Gladys. "Memangnya nggak ada cewek lain di kampus yang mau sama kamu? Atau kamu memang suka dengan wanita seperti Mila, yang memegang kendali atas dirimu?"
"Sudah ngomelnya? Kalau sudah, buruan habiskan makanannya. Kita masih harus ke sekolah adik-adikku untuk antar bekal mereka."
"Jauh sekolahnya?" tanya Gladys.
"Kenapa? Nggak mau ikut?"
"Ikut."
"Ya sudah, aku bayar makanannya dulu. Kamu habiskan makanan dan minumannya. Jangan disisain. Mubazir."
Tak sampai 5 menit, Banyu sudah kembali. Alis matanya naik sebelah melihat piring dan gelas yang licin.
"Kamu beneran lapar ya?" tanyanya menahan tawa. Gladys mengangguk dengan wajah polos. "Makanya nggak usah diet-dietan segala. Di rumah biasakan makan yang kenyang, biar nggak keseringan jajan di luar. Nggak sehat buat perut dan juga buat dompet."
"Nggak usah protes. Lain kali aku yang akan traktir mas Banyu."
"Tunggu dulu. Kenapa akhir-akhir ini kamu memanggilku mas Banyu?"
"Karena kamu lebih tua dariku dan kamu teman bang Gibran." jawab Gladys sambil berdiri. "Dan calon suamiku."
"Princess, wake up. Aku ini nggak pantas jadi suami kamu."
"Kenapa nggak pantas? Karena kamu cuma tukang sayur?" Banyu mengangguk. "Yang menentukan pantas atau nggak itu bukan kamu."
"Aku nggak mencintaimu."
"Sama. Aku juga nggak mencintaimu, mas."
"Mustahil bisa ada pernikahan tanpa ada cinta, Princess. Setidaknya aku ingin menikahi seseorang yang aku cintai. Dan orang itu bukan kamu. Lagipula saat ini aku tak ingin berpikir tentang cinta ataupun pernikahan."
"Aku sudah bilang sama kamu bahwa aku akan belajar mencintaimu dan akan membuatmu mencintaiku. Tapi bagiku saat ini itu tak terlalu penting. Yang penting adalah aku memenuhi keinginan eyang Tari."
Banyu menghela nafas kesal. Kepalanya serasa mau pecah bila sudah berhadapan dengan sikap keras kepala Gladys. Apalagi bila berhubungan dengan masalah pernikahan.
⭐⭐⭐⭐
"Dys, lo nanti pasangan sama siapa pas kawinannya bang Ghiffari dan Khansa?" tanya Ayu saat mereka berkumpul di rumah Wina. Kebetulan hari itu mereka janjian menjenguk Wina yang sedang kurang enak badan.
"Acaranya 4 hari lagi ya?" tanya Wina yang sedang rebahan di sofa. Rumah minimalis mereka terasa penuh dengan kehadiran para sahabatnya.
"Iya Win. Setelah gue kayaknya princess yang satu ini bakal nyusul nih." ucap Khansa.
"Ah, yang benar?" Qori, Intan, Ayu dan Wina tak percaya mendengar ucapan Khansa. Mereka semua memandang Gladys.
"Sama siapa? Kok bang Erick nggak bilang apa-apa ke gue," tanya Qori. "Terakhir dia cuma cerita kalau eyang Tari sakit. Papa Robert juga nggak bilang apa-apa soal elo mau nikah."
"Beneran nih? Kok tiba-tiba? Elo nggak bunting kan, Dys?" tanya Ayu dan Intan serempak.
"Astaghfirullah... nggak mungkinlah dia hamidun. Punya pacar aja nggak," bela Wina.
"Elo tau dari siapa Sa?" tanya Qori.
"Om Robert nggak cerita kalau eyang Tari nyuruh Gladys nikah?" Khansa balik bertanya. Qori menggeleng.
"Gue kan nggak serumah sama mertua. Lagipul akhir-akhir ini Erick lagi sering ke Singapura, mengecek hotel yang disana."
"Waah, mantu durhaka lo. Pasti elo jarang main ke rumah mertua kan?" tuduh Gladys. "Kayak Khansa dong, belum jadi mantu aja sudah sering main ke rumah."
"Elo nyindir atau muji nih?"
"'Eh, ini beneran Dys? Elo beneran disuruh nikah oleh eyang Tari?" tanya Wina penasaran. Gladys mengangguk.
"Elo mau?" Kali ini Ayu yang penasaran.
"Kalau eyang Tari sudah memberi ultimatum, nggak ada yang boleh menolak, Yu. Apalagi hal ini kan nggak bertentangan dengan ajaran agama kita." timpal Qori.
"Eyang nyuruh gue menikah dalam waktu 6 bulan setelah pernikahan bang Ghif. Mami malah lebih parah, dia nyuruh gue bawa calon dalam waktu dua bulan. Tenggang waktunya tinggal sebulan lagi."
"Kalau elo nggak bawa calon gimana?"
"Gladys bakal dijodohin oleh mami Cecile," timpal Khansa.
"Lo sudah ada calonnya?"
"Mungkin." jawab Gladys.
"'Kok mungkin?"
"On process girls. Insyaa Allah gue bakal bawa pas kawinan Khansa." jawab Gladys
"Serius Dys?" tanya semuanya termasuk Khansa tak percaya.
"Doain aja."
"Siapa sih? Kita kenal nggak?" desak yang lain. Gladys hanya tersenyum tanpa menjawab rasa penasaran para sahabatnya.
"Gue doain semuanya berjalan lancar ya Dys." ucap Wina. "Semoga niatan baik itu bisa terlaksana tanpa hambatan apapun."
"Makasih ya win. Emang cuma elo sahabat gue yang berakhlak." Ucap Gladys yang berujung bantal-bantal melayang ke wajahnya.
⭐⭐⭐⭐