Tải xuống ứng dụng
7.4% MENGEJAR CINTA MAS-MAS / Chapter 8: MCMM 7

Chương 8: MCMM 7

Happy Reading♥️

Gladys dan para sahabatnya berkumpul di butik sesuai permintaan Gladys. Di hadapan mereka tersaji minuman dan kue brownies yang tadi diberikan oleh Hasna. Mereka tampak menikmati kue tersebut.

"Gimana menurut kalian? Enak nggak?" tanya Gladys

"Enak banget Dys. Nggak kalah sama kue-kue buatan toko kue terkenal." sahut Ayu yang sudah menghabiskan potongan kue keduanya. "Elo yang bikin, Dys?"

"Gladys bikin kue? Wah itu artinya dunia sudah mau kiamat, Yu." Khansa tergelak mendengar perkataan Ayu. "Lo kayak nggak tau si Gladys aja. Masak air aja bisa gosong."

"Sialan lo, Sa." Gladys melempar bantal ke arah Khansa.

"Ini siapa yang bikin, Dys? Mau dong aku pesan. Mas Jihad senang banget kue ini."

"Ini buatan tantenya Hasna. Tadi gue dibawain sekotak. Anak itu rajin banget bawa kue buat kita. Enak-enak kuenya." jawab Gladys. "Gue ngumpulin kalian karena gue punya ide bagus nih, tapi gue mau tanya dulu pendapat kalian. Kira-kira kue ini layak jual nggak?"

"Layak banget, Dys." sahut Ayu. "Nagih banget rasanya. Rasa coklatnya pas, fudgynya juga dapat banget"

"Gue setuju sama Ayu."

"Menurut elo gimana Win?" tanya Gladys.

"Dari rasa mantap banget. Apalagi kalau bahan-bahannya halal semua."

"Gue punya rencana mau bikin cafe di butik ini. Kalian lihat kan butik ini spacenya gede banget. Sayang kalau nggak dimanfaatkan. Gue pengen lantai dua itu nantinya jadi butik baju muslim dan kain batik. Lantai 3 full kantor majemen. Nah, lantai pertama yang nantinya mau gue jadiin cafe dan sedikit space catwalk stage. Gimana menurut kalian?"

"I think it's a good idea. Tapi siapa yang nanti memanage cafenya? Elo kan pasti sudah sibuk dengan berbagai kegiatan yang seabreg." tanya Khansa.

"Kalau seandainya ide ini disetujui papi, gue bakal minta Ayu atau Wina yang pegang cafe. Gimana menurut kalian?"

"Kayaknya mas Jihad nggak bakal ngijinin aku sering-sering keluar rumah deh."

"Tapi kan sayang ilmu lo kalau nggak kepake, Win."

"Iya sih, tapi aku nggak berani ngebantah omongan mas Jihad. Dia kan suamiku dan aku wajib patuh sama dia."

"Yaelah win, segitu nurutnya sama suami," ledek Gladys.

"Yang namanya istri emang harus nurut sama suami, Dys. Surga kita kan sekarang tergantung suami." Jelas Wina.

"Sudah ah Win, nggak usah bahas hal kayak gitu sama Gladys. Nanti tambah takut kawin dia." celetuk Khansa.

"Bukan takut kawin, tapi belum mau kawin." Elak Gladys.

"Kenapa? Takut nggak bebas?"

"Iyalah... umur gue aja baru 24. Masih muda bangetlah buat hidup terikat. Gue masih pengen bebas jalan-jalan, kejar karir, hang out sama kalian tanpa khawatir ada yang nungguin di rumah."

"Umur sekita nggak muda-muda amat kali. Lihat tuh Wina, waktu usia 23 tahun sudah nikah. Qori usia 24 juga sudah nikah. Lagipula menurut gue umur nggak mempengaruhi kesiapan lo untuk nikah. Yang penting mental lo siap atau nggak. Kalau mindset lo kayak gitu sampai umur lebih dari 30 juga nggak bakal siap, Dys," kritik Khansa. Hanya dia yang berani mengkritik dengan cara pedas seperti ini.

"Nggak gitu juga, Sa. Aku yakin nggak sampai umur 30 Gladys pasti akan menikah. Asal bertemu dengan orang yang tepat yang bisa membimbing dia," bela Wina. "Nggak ada yang tahu rahasia Allah, dan jodoh adalah salah satu rahasia Allah."

"Tapi Win, bukannya ucapan itu adalah doa?" tanya Ayu sambil menyesap minuman yang disediakan.

"Memang, tapi kita juga nggak akan pernah tahu ucapan yang mana yang akan dijadikan kenyataan oleh Allah. Makanya berkatalah yang baik atau diam."

"Sudah, ah. Kenapa jadi lanjut bahas urusan jodoh sih?"

"Kita itu prihatin sama elo, Dys. Diantara kita, elo doang yang belum punya gandengan." sahut Khansa. 

"Memangnya gue truk gandeng. Sudah ah nggak usah dilanjut bahasan soal pasangan. The most important thing is I enjoy my life." ucap Gladys kesal. "Back to my plan? What do you think? Yu, elo bersedia nggak manage cafe itu kalau nanti proposal gue disetujui papi. Karena kalau gue mau mengajukan proposal, papi pasti bakal nanya siapa yang akan manage."

"Iya Yu, kamu saja yang manage cafe itu. Kamu kan punya pengalaman kelola resto ayahmu. Aku bukan nggak mau bantu, tapi aku dan mas Jihad berencana tahun ini untuk punya momongan."

"Serius Win? PCOs lo gimana?" tanya Ayu penasaran. Sejak sebelum menikah, Wina diketahui memiliki sindrom PCOS yang membuatnya sulit memiliki anak. Untung saja Jihad tidak mundur saat mengetahui hal tersebut.

"Aku dan mas Jihad lagi menjalani terapi. Kita juga disuruh dokter untuk merubah pola hidup dan pola makan. In syaa Allah itu bisa membantu program hamil kita. Aku serahin semua ke Allah, Yu."

"Kita pasti akan mendukung kalian. Gue nggak sabar pengen punya ponakan dari elo atau Qori." ucap Gladys yang memang sangat senang dengan anak kecil.

"Kenapa nunggu dari kita, elo aja bikin sendiri, Dys." ledek Khansa.

"Kagak ada lawan."

"Carilah."

"Ogah. Ngapain juga gue musti nyari. Nanti juga datang sendiri."

"Aamiin." Ketiga sahabatnya meng-amin-kan ucapan Gladys.

"Dys, pernah ketemu sama pasangan lo pas kawinannya Qori?" tanya Khansa. "Gue dengar dari bang Ghif elo masih nyimpan jas dia? Ngapain masih lo simpan?"

"Gue mau balikin lewat bang Gibran, dia nggak mau. Erick juga sama saja."

"Coba lah tanya no hpnya ke Erick terus hubungi dia buat janjian ketemu atau suruh dia ambil. Atau memang lo mau simpan buat kenang-kenangan?" ledek Khansa

"Idih ogah banget menghubungi tuh orang."

"Tapi lumayan ganteng lho, Dys. Elo nggak tertarik gitu sama dia?"

"Ngapain juga gue tertarik sama cowok tukang kritik begitu. Bikin capek hati aja."."

"Beneran nggak mau sama dia? Siapa tau dia itu jodoh elo." ledek Khansa lagi.

"Sudah deh, Sa. Kalau elo terus-terusan meledek, gue nggak bakal setuju elo sama bang Ghif." Ancam Gladys.

"Iya deh iya." Khansa mengalah.

⭐⭐⭐⭐

"Nyu, jangan lupa antar pesanannya bu Cecile." Aminah mengingatkan Banyu yang sedang mengerjakan tugas akhirnya. "Kata mbok Siti jam berapa harus diantar? Ini sudah jam setengah 3 lho. Ibu khawatir jalanan macet."

"Iya sebentar bu. Banyu save dulu tugas Banyu. Oh iya bu, Aidan kemana?"

"Adikmu antar pesanan ke rumah bulikmu. Kemarin Hasna pesan kue untuk cafe di tempat kantornya. Semoga mereka cocok dengan kue-kue buatan ibu ya. Lumayan Nyu, kalau mereka jadi pelanggan reguler. Minimal 2 atau 3 hari sekali mereka pasti akan pesan ulang."

"'Semoga ya bu. Tadinya Banyu mau ajak Aidan antar kue. Banyu khawatir kuenya jatuh. Bila ada bu?"

"Bila kan hari ini ada liqo, Nyu. Atau kamu minta antar sama bang Malih aja. Kebetulan dia lagi sepi order tuh. Nanti dari uang kue, kamu kasih potong buat bayar bang Malih. Kasihan istrinya lagi hamil tua. Mereka pasti butuh biaya."

"Siap ibu bos! Banyu panggil bang Malih dulu ya bu. Tadi pas dzuhur Banyu sempat ketemu di masjid."

Tak lama kemudian Banyu telah sampai di rumah mami Cecile. Banyu sebenarnya pernah beberapa kali berkunjung ke rumah tersebut saat masih SMA. Kebetulan dirinya, Gibran dan Erick satu sekolah. Bahkan mereka sempat sekelas saat kelas 12. Namun sejak lulus SMA, belum sekalipun Banyu berkunjung ke rumah tersebut. Ini kali pertama Banyu mengunjungi rumah tersebut setelah sekian tahun berlalu.

"Assalaamu'alaikum pak," sapa Banyu sopan kepada security yang berjaga di pos.

"Wa'alaikumussalaam. Mau cari siapa ya, mas?"

"Pak Gito ya?" tanya Banyu antusias saat mengenali security yang berjaga. "Saya Banyu, pak."

"Oalaaaah, mas Banyu teman mas Gibran tho? Masyaa Allah.... apa kabar mas? Lama banget ya nggak pernah main kesini. Cari mas Gibran?" Pak Gito langsung menyalami Banyu.

"Nggak pak. Saya mau antar kue pesanan mami Cecile. Beberapa hari lalu mbok Siti disuruh mami Cecile pesan kue buat acara arisan keluarga hari ini."

"Oh gitu. Bentar ya mas, saya panggilin dulu mbok Sitinya. Eh, mobilnya masukin aja mas langsung ke arah dapur, biar gampang nurunin kuenya." Banyu menyuruh bang Malih memasukkan mobilnya.

Banyu dengan di antar pak Gito masuk ke dapur. Setelah bertemu mbok Siti, Banyu mulai menurunkan kotak-kotak kue.

"Mas Banyu, lagi sibuk nggak?" Tiba-tiba mbok Siti bertanya.

"Nggak terlalu kok mbok."

"Memangnya nggak malam mingguan mas?"

"Hehehe.. belum punya pacar mbok. Siapa sih yang mau pacaran sama tukang sayur kere kayak saya."

"Hush... jangan merendah gitu mas."

"Oh ya, mbok tadi mau minta tolong apa?"

"Itu lho mas, tadi siang mbok pesan air mineral di toko yang ada di perempatan jalan sana. Itu lho toko Terang Bulan. Tapi si Engkohnya bilang nggak ada yang bisa antar barang, karena anak buahnya cuma satu yang hari ini masuk. Mas Banyu bisa tolong ambilin nggak?"

"Yaaa... mobil bang Malih keburu pergi, mbok. Gimana dong? Memangnya beli berapa kotak, mbok?"

"Lumayan banyak mas. 10 kotak. Aduh gimana ya?"

Saat mereka sedang kebingungan, terdengar adzan ashar berkumandang.

"Mbok, saya shalat dulu di masjid ya. Nanti selesai shalat saya balik lagi kesini. Mungkin nanti saya pinjam motor pak Gito saja. Mbok kabarin aja ke si Engkoh kalau saya yang akan ambil."

"Oke mas. Makasih banyak ya mas. Aduh, kalau nggak ada mas Banyu nggak kebayang deh gimana ngomelnya mami Cecile."

Saat kembali dari masjid bersama pak Gito, Banyu bertemu dengan Gibran dan Pradito yang juga selesai melaksanakan shalat ashar di masjid.

"Lho Nyu, ngapain lo sholat disini? Perasaan rumah lo jauh deh." tanya Gibran. "Pi, ini teman SMA Gibran yang kemarin jadi pendamping Gladys di acara resepsinya Erick." Banyu menyalami dan mencium punggung tangan Praditho dengan khidmat.

"Oh ini temanmu yang waktu itu kamu ceritain? Yang kuliah sambil jualan itu?"

"Iya benar om." jawab Banyu sopan.

"Hebat kamu." Praditho menepuk-nepuk bahu Banyu.

"Oh ya, elo ngapain disini?"

"Antar pesanan kue ke rumah lo, Gib. Ini mau balik ke rumah lo karena mbok Siti minta tolong gue buat ambil pesanan air mineral di toko Terang Bulan."

"Lho, memangnya pak Dudung kemana, pak?" tanya Gibran kepada pak Gito.

"Si Dudung lagi antar non Gladys dari tadi pagi, den."

"Banyak Nyu?"

"Kata mbok Siti 10 kotak. Nanti gue pinjam motor pak Gito aja buat ambil. Paling bolak balik sedikit."

"Bareng gue aja. Kebetulan gue juga nggak ada kerjaan. Kasihan elo kalau bolak-balik." Tawar Gibran.

"Lho, kamu bukannya mau jemput Vania dan eyang Tati?"

"Oh iya, pi. Hampir saja Gibran lupa. Bisa ngamuk Vania kalau Gibran telat. Sorry ya Nyu, gue nggak jadi bantuin elo."

"Nggak papa, Gib. Biar nanti gue pinjam motor pak Gito. Bisa kan pak?"

"Biar nanti Banyu pakai Fr**d Gladys buat ambil air mineral. Mobilnya jarang dipakai sama yang punya. Nanti pak Gito yang menemani Banyu, ya. Kamu bisa kan menyetir mobil?"

"Bisa om. Tapi biar saja saya pakai motor pak Gito. Nggak apa-apa bolak balik. Kebetulan saya juga lagi nggak ada kegiatan."

"Kamu pakai mobil Gladys dan ini perintah saya. Bukan permintaan. Daripada mobil itu nganggur, malah mubazir." Tegas Pradhito tak mau dibantah.

"Ba-baik om." Akhirnya Banyu memenuhi perintah Pradhito setelah melihat Gibran memberi kode. "Terima kasih om."

⭐⭐⭐⭐


Load failed, please RETRY

Tình trạng nguồn điện hàng tuần

Rank -- Xếp hạng Quyền lực
Stone -- Đá Quyền lực

Đặt mua hàng loạt

Mục lục

Cài đặt hiển thị

Nền

Phông

Kích thước

Việc quản lý bình luận chương

Viết đánh giá Trạng thái đọc: C8
Không đăng được. Vui lòng thử lại
  • Chất lượng bài viết
  • Tính ổn định của các bản cập nhật
  • Phát triển câu chuyện
  • Thiết kế nhân vật
  • Bối cảnh thế giới

Tổng điểm 0.0

Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
Bình chọn với Đá sức mạnh
Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
Stone -- Power Stone
Báo cáo nội dung không phù hợp
lỗi Mẹo

Báo cáo hành động bất lương

Chú thích đoạn văn

Đăng nhập