"Saya benar-benar tidak menyembunyikan penyadap di balik pakaian saya, Pak," Jeanna berusaha meyakinkan Rain dengan putus asa.
Rain berdehem. "Bukan itu. Tapi … rokmu terbalik."
Jeanna menunduk dan terkesiap kaget menyadari ritsleting roknya ada di depan. Ia memang punya kebiasaan memutar roknya untuk memasang ritsleting di depan, lalu memutar roknya ke belakang setelahnya.
Dengan panik, Jeanna memutar roknya dengan keras, tapi ia lupa untuk menahan napas dan mengecilkan perutnya, membuat roknya tertarik paksa dan …
Ctak!
Kaitannya terlepas. Jeanna refleks memegangi roknya meski roknya tidak meluncur jatuh karena ritsletingnya masih tertutup aman sampai atas. Ia hanya mengantisipasi. Namun, Jeanna tak berani untuk menatap Rain saat ini. Terlalu malu, sekaligus takut pria itu akan memecatnya.
Jeanna memejamkan mata ketika mendengar suara langkah sepatu Rain mendekat ke arahnya. Jeanna menahan napas ketika mendengar suara Rain di telinganya,
"Kau memang benar-benar gadis yang bodoh, rupanya."
Lalu, Jeanna merasakan sesuatu terikat di pinggangnya. Jeanna membuka mata dan melihat lengan sebuah jas merah marun melilit pinggangnya, seketika menjadi sabuk yang menahan roknya.
"Pergilah," ucap Rain kemudian.
Jeanna menatap ke depan dengan panik. "Apa … saya dipecat, Pak?" tanyanya cemas.
"Ganti pakaianmu. Kau tidak mungkin bisa bekerja dengan pakaian seperti itu, kan?" Setelah mengatakan itu, Rain berbalik dan pergi ke kursi kerjanya.
"Ka-kalau begitu, saya permisi dulu, Pak," pamit Jeanna sebelum berbalik dan buru-buru keluar dari ruangan itu.
Tak ingin Rain menuduhnya menyembunyikan penyadap di pintu lagi, Jeanna tidak menutup pintu sepelan tadi. Ia berusaha menutupnya dengan biasa, tapi malah membuat suara keras akibat ayunannya ternyata lebih kuat dari yang diperkirakan. Jeanna mematung selama beberapa saat di depan pintu, lalu dengan hati-hati membuka pintu dan melongokkan kepala untuk menjelaskan pada Rain,
"Ma-maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja."
Tak ada jawaban. Rain sudah duduk di kursi kerjanya dan hanya menatap Jeanna dingin.
"Pe-permisi, Pak." Jeanna menutup pintu itu dengan sangat hati-hati. Lebih baik dituduh memasang penyadap daripada dituduh mengamuk. Bisa-bisa kepalanya yang dijepit di pintu ini hingga putus.
Jeanna menghela napas lega setelah keluar dari ruangan Rain. Ia bahkan selalu terbata-bata ketika berbicara pada pria itu. Entah kenapa … aura pria itu … terasa berbahaya. Jeanna merasa jika pria itu bisa saja menembak Jeanna dengan pistol atau menusuknya dengan pisau di depan matanya tanpa berkedip sedikit pun.
Jika itu Rain … Jeanna merasa … pria itu bisa melakukannya.
***
Rain mengembuskan napas setelah gadis bodoh itu benar-benar pergi. Apa orangnya yang memberikan informasi yang salah tentang gadis itu? Gadis bodoh seperti itu … punya nilai bagus di sekolah dan mendapat beasiswa prestasi? Tidak mungkin.
Tidak, tunggu. Apa saat ini dia sedang berpura-pura bodoh? Rain mengingat kejadian tadi. Tidak. Bagaimana mungkin ada orang yang berpura-pura bodoh seperti tadi? Begitu meyakinkan hingga Rain takjub akan kebodohannya. Bagaimana bisa dia … memakai roknya terbalik?
Rain memijat pelipis. Ia penasaran, apa ada orang yang mengirim gadis itu untuk mengecoh Rain dan memata-matai Rain? Rain masih belum menemukan alasan jelas kenapa gadis itu membutuhkan uang sebanyak itu hingga mempertaruhkan nyawa. Alasan untuk keluarganya, untuk adiknya yang sakit, itu terasa … bodoh.
Apa gadis itu malaikat? Orang bodoh macam apa yang mempertaruhkan nyawa untuk orang-orang seperti keluarga gadis itu?
Ah, benar juga. Gadis itu. Dia orang bodohnya. Apa itu alasannya? Karena dia bodoh?
Itu lebih masuk akal bagi Rain.
***