Tải xuống ứng dụng
4.28% Elyana : Jodoh Dari Allah / Chapter 14: JANJIKU PADA FARIDA

Chương 14: JANJIKU PADA FARIDA

Dia datang dan langsung memelukku. "Maafkan aku, Mbak. Aku yang salah," ucapnya pula.

Air mata kami luruh secara bersamaan. Pelukannya ku balas dengan lembut. Aku menatap bang Fahri yang berdiri di belakangnya. Bang Fahri tersenyum padaku sambil merangkul pundak mbak Anisa. Aku yakin, dia yang sudah menjelaskan semuanya pada Farida hingga sekarang adikku itu tidak lagi salah paham.

"Maafin aku, Mbak. Aku yang salah," katanya pula setelah melepas pelukan kami.

Aku menggeleng, tersenyum hangat sambil mengusap air matanya. "Tidak, Farida. Mbak yang salah, kalau aja tadi pagi Mbak tidak pergi ke kebun belakang, mungkin kejadiannya tidak sampai seperti ini," kata ku menenangkannya.

Semua orang tampak kaget melihatku dan Farida berpelukan. Terutama Ayah yang tadi tampak begitu marah padaku. Dahinya terlihat jelas berkerut bingung, sementara bunda tidak melihatkan ekspresi apapun selain senang. Mungkin dia bahagia karena dua putrinya ini sudah akur.

"Apa yang terjadi? Coba jelaskan, Ayah tidak mengerti," kata Ayah membuka suara.

Farida merangkul tangan kokoh ayah lalu menceritakan semuanya. Ceritanya sama persis seperti apa yang aku ceritakan pada bang Fahri. Ayah dan bunda percaya, mereka segera meminta maaf atas kesalahpahaman ini.

"Ayah dan Bunda tidak perlu minta maaf, aku yang salah," jawabku.

"El, biar bagaimanapun juga, Ayah sudah kasar padamu tadi. Maafkan Ayah, ya?"

Aku mengangguk. Akhirnya kesalahpahaman ini selesai. Aku lega, sangat lega. Habib juga senang, dia merangkul ku dengan penuh kasih sayang. Aku lihat Umar tidak mau melihatku sedikitpun. Kenapa? Dia cemburu? Beginilah rasanya cemburu Umar, aku bahkan menangis melihat kemesraanmu dan Farida.

Setelah acara maaf-maaf an seperti lebaran, aku pun pamit pulang. Tak lupa, aku bersalaman pada ayah, bunda dan juga kakakku.

"Mbak, tunggu!" cegah Farida saat aku baru saja melangkah dari pintu.

Ayah dan yang lainnya sudah masuk sejak tadi, hanya Farida yang masih berdiri di pintu. Dia pun kembali menghampiriku setelah aku berhenti dan berbalik badan. Aku suruh Habib masuk ke mobil lebih dulu, karena tampaknya ada hal yang masih ingin di bicarakan oleh Farida.

"Kenapa, Far?" tanya ku.

Farida tampak ragu, dia menggigit bibir bawahnya saat aku memperhatikan wajahnya.

"Ada apa?" tanya ku lagi mencoba mencari tahu apa yang ingin dia bicarakan.

"Aku memang sudah memaafkan Mbak El, tapi aku juga tahu kalau Mbak El dan mas Umar pernah saling mencintai. Jadi ... aku mohon, jangan dekati mas Umar," tuturnya lembut.

Deg!

Aku tidak menyangka bang Fahri akan bercerita sejuah ini pada Farida. Kenapa dia malah menceritakan hal ini? Aku hanya ingin Farida tahu bahwa kejadian tadi hanya karena Umar ingin menyelamatkanku dari buah kelapa yang jatuh. Bukan cerita tentang masa laluku dan Umar.

Farida meraih tanganku, matanya berkaca-kaca seraya memohon. "Mbak, Mbak mau janji padaku, 'kan? Mbak harus janji untuk tidak mendekati Umar lagi. Tolong, Mbak ... Umar itu suamiku, tidak seharusnya Mbak mencintai suami adik Mbak sendiri."

Apa yang harus aku jawab? Jika aku jujur, bahwa aku masih mencintai Umar, Farida pasti akan sangat kecewa. Tapi kalau aku berkata dusta, itu akan berakibat dosa. Mulut pun seakan terkunci, bahkan satu patah kata pun tak bisa keluar dari mulut ku.

"Mbak! Ayo berjanji!"

Aku menggeleng lemah. Lidahku kelu jika harus mengucap janji. "Apa Mbak tega, melihatku stres? Ini bisa mempengaruhi bayiku, Mbak." Kata Farida lagi.

"Mbak mau, bayi ku cacat gara-gara Mbak?" Aku rasa itu terlalu berlebihan. Tapi aku menggeleng kuat, tentu saja aku tidak mau itu terjadi. Ammah mana yang mau punya ponakan cacat? Apalagi sampai di bilang penyebab kecacatan itu.

"Iya, Farida. Mbak janji, Mbak tidak akan mendekati Umar lagi," ucapku pada akhirnya.

"Janji?" Farida mengeluarkan jari kelingkingnya, itu kebiasaan kami sewaktu kecil dulu untuk selalu mengaitkan jari kelingking saat berjanji.

"Janji." Aku pun mengeluarkan jari kelingking kanan.

Farida tersenyum, senyumnya manis sekali. Dia senang, tapi hatiku tidak. Janji yang aku ucapkan rasanya menjadi beban yang harus aku panggul.

***

Aku terbangun dalam keadaan tertutup selimut, tentunya ada Habib yang mendekap tubuh ini. Seperti biasa, Habib selalu memeluk tubuhku saat tidur. Aku tidak tahu sekarang jam berapa, tapi yang jelas matahari belum muncul.

Aku kembali mengingat ucapan Farida kemarin. Padahal, itu sudah hampir satu minggu terlewatkan. Tapi, aku masih saja kepikiran. Belum lagi pesan beruntun yang Umar kirimkan padaku, membuat aku semakin tidak karuan.

[Maaf, El. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Farida tidak mau mendengarkan penjelasan ku]

[El, apa kamu baik-baik saja? Malam ini aku tidak bisa tidur]

[Aku rindu padamu, tolong balas pesan ini]

Begitulah kira-kira isi dari beberapa pesan yang Umar kirim. Aku tidak berniat untuk membalasnya sedikitpun, karena aku tidak mau mengecewakan Habib ataupun Farida.

Aku mendesah pelan, berharap dengan melepas karbon dioksida masalahku bisa sedikit berkurang. Melihat wajah Habib yang sedang tertidur pulas, membuatku tersenyum. Kumisnya sudah semakin tebal, sejak setelah menikah, dia tidak lagi mencukur kumisnya. Aku mengelusnya pelan sambil sesekali menarik rambut itu.

"El, apa yang kamu lakukan?"

Aku terkesiap saat Habib bersuara. Aku tidak tahu kalau gerakan tanganku akan membangunkannya.

Aku pun memejamkan mata saat ada gerakan tangan Habib. "Jangan pura-pura tidur," kata Habib mengejutkanku.

Dengan perlahan, akhirnya aku membuka mata. "Kok Mas tau, kalau aku tidak tidur?"

"Tentu saja Mas tau. Pupil matamu bergerak dengan jelas," pungkasnya.

Aku merengut. Malu karena sudah ketahuan berpura-pura. Habib menatapku, lama sekali sampai aku tak tahan dengan tatapan itu. Serba salah, karena dia juga tidak berkedip.

"Kenapa Mas menatapku seperti itu?" tanyaku dengan pipi yang sudah memerah seperti kepiting rebus.

"Memangnya tidak boleh? Mas ini suamimu, Mas berhak menikmati istri Mas sendiri," sanggahnya.

"Iya, tapi aku merasa tidak nyaman dengan tatapan itu, Mas."

"Tapi Mas suka melihatmu malu-malu seperti itu."

Haduh, kenapa aku malah semakin salah tingkah? Ku putuskan untuk bangun dari tempat tidur dengan alasan mau sholat tahajud, karena kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul dua pagi. Tapi, Habib tidak membiarkan ku pergi begitu saja, dia menarik tanganku dan posisi kembali seperti semula.

"Mas, aku mau sholat tahajud dulu. Lepaskan aku," pintaku lembut.

"Tenang saja, masih ada waktu untuk ibadah. Kenapa buru-buru?"

Tangannya merayap di pipiku. Aku membiarkan dia menyentuh bagian wajahku karena itu memang haknya. Tapi wajahnya kembali murung saat menatap bibirku. Kenapa?

"Kenapa, Mas?" tanyaku pula.

"Mas ingin mencicipi bibir ini, tapi Mas tidak tahu kapan Mas bisa mencicipinya."

Hatiku mencelus mendengar ucapannya. Air mukanya berubah drastis dari sebelumnya. Aku tahu, Habib tidak mau menyentuhku sebelum aku bisa melupakan Umar. Tapi aku tidak mau hal itu malah membuat Habib merasa tidak di hargai.

Maksudku, dia suamiku. Sudah menjadi haknya jika ingin mencicipi bibirku. Tapi dia menjadi serba salah karena masih ada nama Umar di hatiku. Aku sendiri tidak tahu kapan Umar bisa hilang dari sana.

"Mas, kalau Mas mau, Mas bisa mencicipi bibirku kapanpun yang Mas mau. Aku sama sekali tidak keberatan," kataku lemah.

"Tidak, El. Mas tidak akan melakukan itu. Mas akan membuatmu jatuh cinta dulu pada Mas, barulah Mas akan menyentuhmu dan memilikimu seutuhnya." Jawaban Habib membuatku semakin kagum akan sosok lelaki itu. Tidak seharusnya aku memperlakukan Habib seperti ini.

"Maaf, Mas. Aku masih belum bisa mencintai Mas seutuhnya. Aku janji akan berusaha menerima Mas ... tolong bantu aku, ya?" Habib mengangguk lalu mencium keningku.

"Sekarang ayo sholat! Mas akan jadi imamnya," kata Habib pula beranjak dari tempat tidur.

"Iya."


Chương 15: PESAN DARI UMAR

Salah satu hadits yang di riwayatkan oleh imam Al-Bazaar berkata, "Siapa yang mencintai seseorang karena Allah, kemudian seseorang yang di cintainya itu berkata, "Aku juga mencintaimu karena Allah." Maka keduanya akan masuk surga. Orang yang lebih besar cintanya akan lebih tinggi derajatnya dari pada yang lainnya. Ia akan di gabungkan dengan orang-orang yang mencintai karena Allah."

Aku merinding saat membaca salah satu hadits di buku yang Habib pinjamkan padaku. Aku pikir, ini hadits biasa. Tapi begitu aku baca, banyak hadits yang sepertinya menyinggung rumah tanggaku dan Habib.

"Mas, maksud kamu apa memberikan buku hadits ini padaku?" tanyaku pada Habib saat sarapan bersama.

"Tidak ada maksud apa-apa, hanya untuk menambah wawasanmu saja."

"Yakin? Bukan karena kamu menyindir ku?" tanyaku memastikan.

"Yakin, El. Memangnya kenapa?" Aku menggeleng lemah.

Kami kembali melanjutkan sarapan. Tidak ada lagi yang berani bersuara selain suara dentingan sendok dan piring. Habib pun tampak sesekali menyeruput teh hangat yang aku buatkan untuknya. Sampai pada akhirnya, ada sebuah pesan masuk ke ponselku.

Umar? Mau apa dia?

[El, hari ini aku akan ke Jakarta. Ada sesuatu yang harus aku urus di sana, setelah jam makan siang, apa kita bisa bertemu?]

Isi pesan itu membuat jariku gatal. Ingin sekali aku membalasnya dengan kata-kata kasar. Tapi aku tidak mungkin melakukan itu, sebagai wanita, aku masih harus menjaga tata krama.

"Siapa, El?"

Aku terkesiap saat Habib bertanya. Gugup, aku kembali menaruh ponsel di atas meja. "Bukan siapa-siapa, Mas." Astaghfirullah, aku bahkan sampai berbohong pada Habib.

Aku kembali melanjutkan sarapan. Habib juga tidak lagi bertanya mengenai pesan itu. Tapi pikiranku terus melayang-layang ke pesan itu. Tidak mungkin Umar datang ke Jakarta karena ada urusan lain, sebab dia tinggal di Bandung bersama ayah dan bunda.

Lagi pula, dia harus mengurus pesantren milik abinya. Tapi aku juga kurang tau kalau memang dia ada keperluan di Jakarta.

Aku dan Habib berangkat ke kampus bersama setelah sarapan selesai. Di mobil, kami sama-sama terdiam dan fokus pada kegiatan masing-masing. Sementara Habib fokus menyetir, aku pun fokus membaca buku hadits yang dia pinjamkan tadi.

[Aku tunggu kamu di caffe dekat kampus]

Sebuah pesan kembali masuk. Ini gila, benar-benar gila. Kenapa Umar tidak mengerti juga? Jika aku tidak membalas pesannya, bukankah itu sudah menjadi sinyal penolakan? Tapi kenapa dia masih saja ingin berusaha menemuiku?

"Pesan dari siapa, El?" tanya Habib melirik ku.

"Bukan dari siapa-siapa, Mas. Tidak penting," jawabku.

Aku kembali melanjutkan kegiatan membaca buku, meski pikiran melanglang buana menuju ke satu nama, Umar. Aku tahu ini salah, tidak di benarkan seorang istri memikirkan lelaki lain di saat sedang bersama suami. Tapi aku bisa apa?

Bahkan saat kelas di mulai pun, aku masih terus kepikiran dengan pesan Umar. Arkh! Kenapa dia selalu memenuhi kepalaku?

"El, kapan kamu punya anak?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan Ayu. Teman sekampusku ini memang kadang suka asal bicara tanpa di saring dulu, seperti netizen saja.

"Kenapa bertanya seperti itu?" tanyaku pula.

"Karena kamu sudah menikah satu bulan lebih, tapi belum ada tanda-tanda. Apa jangan-jangan ..."

"Jangan berpikiran yang macam-macam. Tidak baik," potong ku cepat karena Ayu sudah mulai ngawur.

"Tapi, pernikahanmu dan pak Habib baik-baik saja, 'kan?"

"Tentu saja, kami baik dan selalu mesra setiap hari."

Tiba-tiba Ayu memandangku aneh, seperti ada sesuatu yang dia selidiki. Dia memperhatikan sekitar, memastikan kalau tidak ada orang yang berani menguping pembicaraan kami. Aku semakin bingung dengan tingkah lakunya yang aneh.

"Kamu ini kenapa?" tanyaku.

"Ssstt ... nanti ada yang dengar."

"Memangnya kamu mau ngomong apa?"

Ayu menarik tanganku agar bisa duduk lebih dekat dengannya. Padahal kami hanya duduk berdua di bangku belakang kampus, tidak akan ada orang yang mendengar sekalipun bicara seperti biasa. Maksudku, tidak perlu bisik-bisik.

���Pak Habib normal, 'kan?" tanya Ayu berbisik.

"Maksudmu?" Aku tidak mengerti arah pembicaraan Ayu sekarang ini.

"Maksudku ... dia tidak trauma seks?" Aku langsung melempar tatapan tajam padanya.

Pertanyaan macam apa itu? Sangat tidak sopan dan kedengaran begitu mendalam. Sementara yang di tatap hanya bisa nyengir kuda sambil mengangkat dua jari.

"Jangan sembarang kalau bicara, Habib itu normal!" bantahku.

Aku menggeleng karena tak habis pikir dengan pertanyaan Ayu. Ada-ada saja, masa iya Habib tidak normal?

Aku dan Ayu kembali terdiam setelah tadi sempat beradu mulut. Setelahnya, dia pergi karena harus mengejar jadwal kelas yang kemarin sempat ketinggalan. Jadilah aku sendirian. Dan di saat itulah Habib datang, dia duduk di sebelahku sambil membawa begitu banyak buku di tangannya.

"Assalamu'alaikum," ucapnya.

"Wa'alaikumsalam."

"Sedang apa duduk sendirian di sini?"

"Tidak ada, hanya sedang duduk santai saja," jawabku enteng.

Aku memperhatikan banyak buku yang Habib bawa, bisa jadi itu adalah buku para mahasiswa yang di ajarnya. Begitu banyak dan menumpuk.

"Mas mengajar berapa kelas hari ini?" tanya ku.

Dia memutar bola mata. "Sekitar tiga kelas," jawabnya pula.

Aku mengangguk paham. Kulirik jam tangan Habib, sudah hampir jam makan siang. Biasanya, Habib akan mengajak ku makan siang bersama di caffe miliknya yang terletak tak jauh dari kampus ini. Tapi bagaimana dengan hari ini? Apakah aku harus menemui Umar atau tetap makan siang bersama Habib?

"Hari ini ada menu baru di caffe, mari kita coba!" kata Habib menarik tanganku.

"Eum ... Mas, boleh tidak, kalau aku makan di tempat lain?" tanyaku ragu.

Habib tersenyum. "Tentu saja boleh, kita bisa mencoba menu baru itu lain kali," jawabnya.

"Ah, maksudku, aku makan di tempat lain sendirian. Mas tidak perlu ikut." Bibir ini bergetar hebat saat mengatakan kalimat ini.

Habib menatapku aneh, genggaman tangannya juga perlahan melonggar. Desahan napas berat terdengar jelas setelah dia mengalihkan pandang ke arah lain.

Jujur, sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Tapi aku juga penasaran dengan hal yang di sampaikan oleh Umar. Aku tidak bisa membiarkan rasa penasaran ini terus menggelitik. Tapi jika memang Habib tidak mengijinkan, aku tidak akan pergi.

[Ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Ini tentang Farida]

Pesan itu, baru saja masuk ke ponselku. Dan itu juga yang membuatku semakin penasaran.

"Kamu mau bertemu dengan siapa?" tanya Habib tiba-tiba seperti sudah mengetahui sesuatu.

"A—aku ... aku hanya ingin makan siang sendirian, Mas." Bodoh! Jawaban macam apa itu?

"Mas tau, kamu pasti mau menemui Umar, 'kan?"

Tuh, kan benar. Aku sudah tidak kaget lagi karena memang itu sudah menjadi dugaanku. Aku menatap bola mata coklatnya, dia tampak begitu gagah. Melihat sepasang mata itu, membuatku tidak berani menjawab.

"Baiklah, ayo Mas antar."

"Apa?! Mas mengijinkan aku pergi?" tanyaku kaget. Jelas saja aku kaget, Habib mengijinkanku pergi?

Habib mengangguk dengan senyuman manis khas-nya. "Iya. Mas percaya padamu, Mas juga tidak akan cemburu."

"Mas yakin? Aku tidak akan pergi jika memang Mas tidak mengijinkan," cicitku lemah.

Habib memegang kedua belah bahuku, hingga kami bisa berdiri saling bertatapan. Senyumnya yang teduh selalu membuatku merasa tenang. Aku tidak tahu kenapa sampai sekarang aku masih belum mencintainya, padahal dia sangat baik.

"InsyaAllah, Mas yakin. Mas juga percaya kamu bisa menjaga pandangan," katanya kemudian.

"Tapi aku tidak mau membuat Mas terluka. Tidak apa, aku tidak akan pergi."

"Jangan, Umar sudah menunggumu di caffe. Sebaiknya Mas segera mengantarmu."

Akhirnya, aku menurut. Selagi aku mengantongi ijin dari Habib, aku rasa tindakan ku ini tidak ada salahnya. Yang salah itu Umar, dia terus-terusan menggangguku tanpa henti. Aku harap, setelah pertemuan kali ini, dia akan mengerti kalau aku tidak ingin berhubungan lagi dengannya.


Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C14
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank 200+ Bảng xếp hạng PS
    Stone 0 Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập

    tip bình luận đoạn văn

    Tính năng bình luận đoạn văn hiện đã có trên Web! Di chuyển chuột qua bất kỳ đoạn nào và nhấp vào biểu tượng để thêm nhận xét của bạn.

    Ngoài ra, bạn luôn có thể tắt / bật nó trong Cài đặt.

    ĐÃ NHẬN ĐƯỢC