Dalam perjalanan pulang ke rumah, Sherly tampak muram. Di dalam mobil ia hanya bisa menatap orang yang lalu-lalang di bagian bahu jalan dari kaca jendela yang tertutup. Dilihatnya siswa-siswi yang berjalan sambil tertawa. Dalam hati ia berkata, "Apakah di dunia ini hanya aku yang mendapat masalah seperti ini?" katanya dalam hati.
Dengan kepala yang bersandar di bagian jendela, ia memikirkan semua masalah yang dihadapinya sekarang. Ia yakin, jika seandainya meminta pendapat dari orang tuanya maupun kedua orang tua Tommy, mereka justru akan menyuruhnya diam di rumah saja. Lalu bagaimana sekolahnya? Apa dia tidak akan mengikuti ujian? Lalu kalau seandainya dia bersikeras untuk masuk sekolah, bagaimana kalau pihak sekolah akan mengeluarkannya? "Tidak! Aku harus mengikuti ujian. Aku harus lulus dan mendapatkan ijazah SMU yang murni," katanya dalam hati. "Biar aku tak kuliah, setidaknya Tommy takkan malu punya istri yang hanya lulusan SMA. Toh aku bisa lanjut kuliah setelah melahirkan."
"Non?" panggil sang supir. Dilihatnya Sherly sedang melamun sambil menatap kosong. "Non, Sherly?"
"Hah!" Ia terkejut. Matanya menyapu sekeliling saat mobil itu berhenti di depan halaman. "Oh, maaf. Aku pikir kita belum sampai."
"Tidak apa-apa, Non."
Sherly pun turun dari mobil. "Terima kasih ya, Pak."
"Sama-sama, Non. Nanti besok pagi aku akan menjemput Non Sherly lagi."
"Baik, Pak."
"Terima kasih, Non. Mari." Ia berpamitan.
Sherly mengangguk dan menunggu sampi mobil keluarga Fabian iti pergi. Sedan hitam tadi itu adalah mobil milik Tommy yang sengaja ditugaskannya untuk mengantar jemput Sherly ke mana pun dia pergi. Setelah mobil itu menghilang di balik gerbang, Sherly pun masuk ke dalam rumah.
"Sherly?! Kenapa tidak menelepon mama, Nak? Siapa yang mengantarkanmu?" tanya Lenna saat melihat Sherly hendak masuk dari pintu depan rumah.
"Supir Tommy yang menjemputku tadi, Ma. Dia menugaskan supirnya untuk mengantar dan menjemputku ke mana pun aku pergi, termasuk ke sekolah."
"Ya ampun, calon mantu mama memang yang terbaik. Dia memang calon suami idaman sekali. Kau sangat beruntung mendapatkan lelaki seperti itu, Nak."
Sherly tersenyum lemah. "Aku memang sangat beruntung, Ma."
Lenna menyadari ekpresi putrinya. "Ada apa, Sayang? Apa yang kau rasakan?"
"Tidak apa-apa, Ma. Aku hanya lelah."
"Kalau sedang ngidam memang seperti itu. Naiklah dan istirahat. Kau mau makan apa? Nantu mama buatkan."
Sherly menggeleng. "Tidak usah, Ma. Aku hanya sedang tidak nafsu makan. Aku ke atas dulu, ya?"
"Iya, Sayang. Pelan-pelan ya kalau naik tangga."
Sherly pun segera melangkah. Ia menaiki tangga dengan gontai. Bukan karena kondisinya yang sedang hamil membuatnya seperti itu, tapi pikiran akan dikeluarkan dari sekolah-lah yang membuatnya muram. Ia tidak mau hanya karena kesalahannya itu membuat masa depannya hancur meski Tommy akan bertanggung jawab.
Di sisi lain.
"Eh, Papa," sapa Andin. "Tumben cepat pulang, Pa?" Diraihnya tas laptop yang ada di tangan Ferry.
"Tumben juga jam segini kau ada di rumah," kata Ferry lalu merangkul bahu putrinya. Mereka sama-sama memasuki ruang tamu.
"Lagi malas saja, Pa."
Ferry mendudukan dirinya di sofa. Andin yang juga masih dalam rangkulan sang papa pun ikut mendudukan dirinya lalu menatap sang ayah. Tatapannya yang penuh keingintahuan dapat dibaca oleh Ferry.
"Ada apa? Apa yang ingin kau tanyakan, hah?"
Ia tidak ingin ayahnya salah mengartikan maksud pertanyaannya, jadi sebisa mungkin ia membuat suaranya terdengar biasa-biasa saja. "Eh, begini, Pa. Bukan maksud aku..." Andin menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Eh, begini. Aduh... apa ya?"
Ferry mengerutkan alis. "Apa yang ingin kau tanyakan, hah? Dan kenapa kau jadi gugup begini?"
Wajah Andin kontan memerah. Rasa gugup yang sengaja tidak diperlihatkannya pun akhirnya terlihat juga. Ibarat maling ketangkap basah, Andin pun tersenyum lebar. "Begini, Pa. Ini soal rencana Papa tempo hari."
"Rencana?"
"Iya. Rencana yang Papa bilang akan bicara dengan Om Charles dan Tante Lisa mengenai aku dan Tommy."
Seandianya saja suara Andin tak begitu bahagianya, Ferry pasti tidak akan terkejut dengan perkataan yang terlontar dari mulut sang putri. Ekpresi Ferry yang tadinya bahagia, kini berubah muram. Sambil melepaskan rangkulannya dari bahu Andin, ia mengenduskan napas panjang.
Andin menyimak. Ia menatap sang ayah yang seakan menyimpan sesuatu yang belum diketahuinya.
"Sebenarnya Papa sudah bicara dengan mereka, tapi saat itu mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa karena Tommy sudah terlanjur menjalin hubungan dengan Sherly." Dilihatnya wajah Andin yang masih menatapnya. "Maafkan papa, Sayang. Seandainya papa sedikit cepat mengambil tindakan, Tommy pasti tidak akan menikahi Sherly."
Andin terkejut. "Menikah?" pekik Andin yang dirinya sendiri bahkan terkejut mendengarnya. Saat melihat alis Ferry mengerut menatapnya, dengan cepat ia mengubah ekpresi dan tersenyum. "Tommy dan Sherly akan menikah? Ya Tuhan, akhirnya. Tapi, Pa? Sherly kan masih sekolah?" Ekpresinya bercampur aduk. Rasanya ia ingin berteriak dan menangis, tapi sebisa mungkin ia menampakkan ekpresi bahagia agar Ferry tak curiga.
Sebagai seorang ayah, dia tahu kalau Andin hanya berpura-pura senang. Tapi demi menjaga perasaan putrinya ia berkata, "Mungkin kalau seandainya Sherly belum hamil, mereka pasti tidak akan menikah. Eh, maksud papa, belum sekarang. Mungkin akan menunggu sampai Sherly lulus."
"Hamil?" ulang Andin dalam hati. "Sherly hamil?" Untung saja Ferry sedang asik menatap meja sehingga tidak sempat melihat ekpresi Andin yang cukup syok saat ia melontarkan kata Hamil. "Jadi, mereka sudah..."
"Papa cukup terkejut saat Tommy kemarin muncul di sini, padahal proyeknya di luar kota masih berjalan dan tanpa mandor. Tapi saat papa tanya pada Om Charles kenapa, Om Harry yang menjawab bahwa Tommy datang untuk menjenguk Sherly yang sedang sakit. Papa pun tanya sakit apa dan Om Harry bilang bahwa Sherly sudah berbadan dua."
Ferry menarik napas panjang. "Mungkin jika seandainya papa ini orang lain, Om Harry pasti tidak akan langsung terbuka soal masalah itu. Tapi di sisi lain, sebagai orang tua yang tahu akan perasaan papa, Om Charles justru diam saja dan tak menjawab. Papa rasa Om Charles pasti merasa bersalah."
Andin memaksakan diri untuk tertawa. "Itu hanya perasaan Papa saja." Ia tersenyum lebar. "Kalau begitu aku ke atas dulu ya, Pa? Aku harus siap-siap."
Ferry menatap Andin dengan alis berkerut heran. "Siap-siap? Memangnya mau ke mana? Bukannya tadi kau bilang..."
"Aku lupa, Pa. Tadi aku ada janji dengan Jovita sore ini." Ia mencondongkan badan mencium Ferry. "Bye, Papa. Sampaikan salamku pada Tommy. Bilang aku turut bahagia."
Ferry menggeleng-gelengkan kepala. Dilihatnya Andin mulai menaiki tangga sambil berlari kecil. Ia tahu bahwa putrinya itu bersikap pura-pura ceria padahal hatinya sakit. "Maafkan papa, Nak. Papa telah gagal membahagiakanmu." Ferry menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, sambil menatap langit-langit ia berkata, "Maafkan aku istriku, aku kali ini aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Aku tidak bisa menyatukan Andin dan Tommy."
Di sisi lain.
Andin yang sedari tadi menahan tangis kini duduk di atas kasur sambil memeluk lututnya. Ia menangis. Air matanya merebak seperti air guhi yang membuncah. "Tidak! Itu tidak mungkin! Tommy tidak mungkin akan menikah."
Di ambilnya ponsel di samping nakas lalu mencari kontak Tommy. "Aku yakin, semua ini pasti cuma akal-akalan Sherly agar mau menikahi Tommy. Aku yakin Tommy tidak seperti itu. Tommy laki-laki baik, Tommy tidak mungkin menghamilinya."
Ditekannya huruf-huruf di atas papan keyboard di layar ponselnya. Meski tahu ayahnya tak mungkin berbohong, tapi Andin mau hal itu didengarnya langsung dari Tommy. Toh pria itu sudah berangkat, pasti Sherly takkan tahu jika ia mengirim pesan padanya. Dan kalau pun dia tahu kenapa? Kan mereka sahabatan.
Setelah mengutarakan semua pertanyaan lewat pesan chatting itu, Andin kembali membacanya, "Tom, apa benar kau akan menikah? Aku mendengar berita ini dari papa. Aku ikut bahagia mendengarnya. Selamat, ya." Andin mengetik tombol kirim lalu melempatkan ponselnya secara asal.
Bayang-bayang akan Tommy yang akan segera memiliki anak dan istri membuat Andin seakan tak sanggup hidup dan ingin mati saja. Bertahun-tahuan keinginannya mendapatkan Tommy sampai sekarang pun tak bisa terwujud. Namun perasaannya pada pria itu justru semakin besar.
Apakah Andin bisa menerima kenyataan ini? Atau sebaiknya ia menerima lelaki dan mulai membuka hati. Mungkin dengan berpacaran hal itu mampu mengalihkan perasaannya dari Tommy?
Continued____
Jangan lupa masukin ke rak buku ya, Sobat.