Tải xuống ứng dụng
12.44% Die inside (Hopeless) / Chapter 29: Selalu salah

Chương 29: Selalu salah

"S-suster! Tolong anak saya!" Seorang wanita tergopoh gopoh membawa anak laki laki berusia 5 tahun digendongannya. Dibelakangnya ada seorang pemuda 17 tahun yang tak kalah panik. Keringat bercucuran di pelipisnya setelah lari dari tempat parkir ke lobi Rumah sakit.

Dokter yang melihatnya dengan sigap membawa Rendi ke UGD. Kemudian Kevin dan ibunya duduk di depan ruang UGD dengan harap cemas selagi Dokter memberikan pertolongan pada Rendi. Dokter memberikan suntikan berisi obat anti alergi. Tak berapa lama napas Rendi kembali normal. Ruam di kulitnya mulai memudar. Denyut nadinyapun mulai normal. Tak berdetak cepat tapi lemah lagi.

Selang beberapa waktu seorang pria dengan jas putih dan stetoskop di lehernya keluar. Ibunya bergegas menghampiri Dokter dan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. "Tenang Ibu. Anak ibu baik baik saja. Ia seperti itu karena alergi makanan. Saya akan resepkan obat," kata Dokter dengan tenang.

"Iya Dok anak saya alergi makanan. Dia alergi udang. Gara gara anak pertama saya ini! Rendi jadi sakit!" jawab ibunya Kevin diselingi hujatan. Kevin menundukkan kepalanya. Ia tahu dirinya salah. Tapi apa pantas ibunya bersikap seperti itu?

"Tenang Bu. Jangan buat keributan di Rumah sakit. Saya tinggal dulu," pamit Dokter. Kevin berdiri menghampiri ibunya. Ia menggenggam lembut tangan wanita yang sudah membesarkannya selama ini. "Kevin minta maaf Mah. Kevin salah."

"Syukurlah kamu sadar. Lain kali jangan belikan makanan apapun untuk Rendi." Wanita paruh baya itu menghentak kasar tangan anaknya lalu masuk ke ruang UGD. Wajah ibunya berubah lembut ketika menatap Rendi berbeda saat menatap Kevin.

"Kevin bodoh!" makinya pada diri sendiri. Ia lalu mengikuti ibunya ke ruang UGD. Manik hitamnya menatap sendu adiknya yang terbaring lemas di ranjang. Adiknya memberi senyum tipis pada kakaknya sambil menggenggam tangan Kevin. "Rendi gak apa apa Kak. Kakak jangan menyalahkan diri sendiri."

Kevin menggeleng. "Ini salah Kakak. Seharusnya Kakak gak kasih bakso udang itu ke Rendi," sesal Kevin yang menundukkan kepalanya. Rendi tersenyum. "Kakak kan gak tahu Rendi alergi udang. Lagipula Rendi sudah sehat."

"Kevin, lihat Adikmu. Dia begitu menyayangimu. Kakak macam apa yang meracuni Adiknya," umpat ibunya Kevin.

Pemuda berbadan tegap kembali merasa bersalah. Ibunya benar. Ia bukan kakak yang baik. Namun di sisi lain ia sakit hati. Kevin merasa ibunya tidak menyayanginya. Kevin sadar ia salah tapi pemuda itu tidak bermaksud membuat adiknya sakit. Kevin sangat menyayangi adiknya. Tak mungkin ia tega melukai adik satu satunya. Tapi percuma Kevin membela diri. Toh tadi ia sudah membela diri tapi tak didengar. Biar saja ibunya berspekulasi. Yang penting Kevin tidak akan memberi makanan apapun yang mengandung udang lagi.

#

.

.

Bulan telah menampakkan dirinya dan tiba dipersinggahannya di langit bersinar menerangi Kota Jakarta. Menggantikan Matahari yang ingin beristirahat. Kota Jakarta tetap ramai di malam hari. Berbanding terbalik dengan hati Kevin yang sepi. Ia menatap bulan dari jendela kamarnya yang ia biarkan terbuka. Menatap benda bulat yang bersinar terang di langit.

"Cantik sekali. Kamu secantik gadis yang ku suka," gumam Kevin pada bulan. Ia menyeruput kopi sambil menatap langit malam yang berhiaskan bulan dan beberapa bintang. Sepertinya pemuda sipit itu akan begadang.

Keadaan di kamar yang lain tak sesepi kamar Kevin. Seorang wanita rambut sebahu dan bocah lelaki rambut mangkok sedang bercengkrama di kamar bercat biru. "Mah. Tadi Mamah marahin Kak Kevin yah?" tanya bocah yang sedang duduk bersandar ke bantalan ranjang. Ibunya mengangguk pelan. "Iya karena Kak Kevin nakal," jelas ibunya.

Rendi menggelengkan kepalanya pelan. "Mah Kak Kevin gak salah. Kakak hanya mau memberikanku makanan. Sayangnya Kak Kevin gak tau Rendi alergi udang," ujar Rendi membela kakaknya.

"Kamu selalu membela Kakakmu." Wanita itu lalu memgambilkan obat dan air minum untuk Rendi. "Ayo minum obat," titah ibunya lembut. Rendi menggangguk patuh. Ia meminum obatnya dengan mudah. Tak seperti anak lainnya yang susah disuruh minum obat. Tak lama kantuk menyerangnya. Netra sipitnya terasa berat. Mulutnya menguap pelan. "Selamat malam anakku," ucap ibunya sambil mengecup kening Rendi setelah itu keluar dari kamar Rendi.

#

.

.

Indra pendengaran pemuda kurus mendengar suara pintu terbuka. Sontak Kevin membalikkan badannya. Manik legamnya melihat ibunya berdiri di depan pintu. Kevin menaruh kopinya di meja lalu menghampiri ibunya. "Ada apa Mah?" tanya Kevin.

"Puas kamu?" hardik Ibunya. Kevin menautkan alisnya tak paham. "Puas kamu membuat Rendi kesakitan seperti tadi?" kata ibunya lagi.

"Mah Kevin sudah bilang Kevin gak sengaja," bela Kevin dengan tatapan sedih. "Kamu tahu kan Adikmu rentan sakit? Seharusnya kamu sebagai Kakak bisa menjaganya. Tapi kamu malah membuatnya sakit," ujar ibunya yang menganggap Kevin tak becus sebagai kakak. Kevin tak tahan lagi. Dari sore sampai malam tiba ibunya masih menyalahkannya. Tak bisakah ibunya memaafkannya? Kevin juga tidak berniat mengulang kesalahaan yang sama.

"Mamah selalu menyalahkanku! Mamah tidak pernah mendengarkan penjelasanku!" jerit Kevin yang tak bisa menahan amarahnya. "Mamah ingat 2 tahun lalu waktu Rendi main bola denganku?"

#

.

.

Awan bergelayut manja di langit menutupi cahaya mentari. Tidak, bukan mendung pertanda hujan. Hanya cuaca berawan saja. Cuaca yang cocok untuk main diluar bagi yang takut kulit menggelap. Dua laki laki dengan usia terpaut jauh tengah bermain bola. Remaja belasan tahun dan anak kecil sekitar 3 tahun saling menendang bola. Tawa mengiringi permainan mereka.

"Ayo Rendi tendang bolanya!" kata Kevin menyemangati. Rendi mengambil ancang ancang. Ia melangkah mundur lalu lari sambil menendang bola. Tapi bukannya bola yang menggelinding, malah Rendi yang jatuh tersungkur. Ibunya yang sedari tadi memperhatikan sambil minum es sirup terperanjat dan menghampiri Rendi.

"Kamu gak apa apa Rendi?" tanya ibunya khawatir. Rendi menggelengkan kepalanya sambil meringis. Wanita kulit pucat mengeraskan rahangnya saat menatap Kevin. "Kamu Kakak yang gak becus! Kenapa Rendi jatuh saat bermain denganmu?" hardik ibunya.

"Rendi jatuh sendiri. Mamah pasti lihat kan? Rendi jatuh saat menendang bola."

"Iya Mamah lihat. Tapi seharusnya kamu memegangi Adikmu atau apalah biar Rendi gak jatuh," ketus ibunya lalu menggendong Rendi ke kursi di halaman depan. Ibunya mengobati Rendi dengan telaten membiarkan Kevin yang sedang menatap nanar mereka.

Ibunya tertegun kala Kevin menceritakan kejadian 2 tahun lalu. "Bukan hanya itu! Waktu Kevin dan Rendi pulang dari mall beberapa hari lalu, Mamah menyalahkan Kevin. Padahal Kevin sudah menjelaskan Rendi tiba tiba lari. Kevin juga tidak diam. Kevin mencari dan langsung mengobati Rendi. Dan masih banyak lagi kejadian Mamah menyalahkan Kevin jika terjadi sesuatu pada Rendi!" teriak Kevin mengeluarkan keluh kesahnya.

Napas pemuda rambut hitam pekat itu tak beraturan. Dadanya naik turun setelah mengeluarkan kegundahan hatinya. Ibunya serasa tertampar. Apakah ia sudah berbuat kesalahan? Apakah selama ini ia bersikap berlebihan? Apakah tindakannya menyakiti anaknya? Ibunya terdiam seribu kata. Menatap sendu anaknya yang dibanjiri air mata.


Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Rank -- Xếp hạng Quyền lực
    Stone -- Đá Quyền lực

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C29
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank NO.-- Bảng xếp hạng PS
    Stone -- Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập