Isabel senang, akhirnya Azam mau membuka matanya. Isabel langsung tersenyum bahagia melihat Azam terbangun. Azam yang melihat senyum Isabel, begitu senang, hatinya terasa hangat. Rasanya Azam ingin terus melihat senyum itu. Senyum milik Isabel yang terpancar jelas hanya untuknya.
Isabel masih terus saja tersenyum. Isabel senang akhirnya dia tidak perlu merasa akan disalahkan oleh keluarga Azam.
"Huh, untunglah, Mas. Akhirnya Mas sadar juga. Aku sudah takut. Mas Azam bikin aku jantungan. Aku takut tahu, Mas Azam akan sakit parah," terang Isabel tanpa sadar.
Tidak terbendung lagi rasa senang didalam diri Azam saat ini. Azam begitu senang, sangat senang. Jika begini, dia lebih baik sakit saja terus, agar dikhawatirkan oleh Isabel.
Isabel menyadari ucapannya barusan. Dia langsung menyesalinya. Dia menyesal telah mengatakan itu pada Azam. Dia berfikir pasti Azam sekarang sedang berada diatas angin.
"Jangan salah sangka, Mas. Aku hanya takut saja kamu sakit, terus mati. Nanti aku yang akan jadi tersangkanya. Belum lagi pasti keluargaku dan keluarga Mas Azam akan sangat marah padaku," aku Isabel.
Azam tidak masalah dengan ucapan Isabel barusan. Azam hanya akan mengingat ucapan Isabel yang pertama.
"Kamu mengkhawatirkan, Mas?" tanya Azam dengan penuh percaya diri. Suaranya terdengar serak.
"Sudah aku bilang, aku hanya takut Mas Azam mati, dan aku akan disalahkan," ucap Isabel.
"Benarkah hanya itu? Sepertinya tidak begitu. Mas lihat kamu begitu takut kehilangan, Mas. Kamu pasti sangat mengkhawatirkan, Mas."
"Apa sih? Engga lah, aku ga mungkin mengkhawatirkan, Mas Azam," ucap Isabel.
"Ah, masa? Jujur saja, pasti khawatir. Iya, 'kan?" goda Azam.
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Boong dosa, loh? Nanti masuk neraka. Emangnya mau?" lanjut Azam yang masih terus saja menggoda Isabel.
"Ah, sudahlah. Mas, nyebelin. Aku mau pergi aja. Silahkan, Mas di sini sendirian," Isabel sudah benar-benar kesal.
"Eh, kok gitu sih. Lalu Mas gimana? Masa iya sendirian. Mas lagi sakit tahu. Ga kasian apa?"
"Bodo amat. Emang aku pikirin."
"Yah, kok kamu gitu sih, sama Mas," Azam cemberut.
"Idih, apaan tuh? Sebel aku liatnya," ungkap Isabel.
Rasa sakit Azam hilang seketika, saat Isabel mau berbicara dengannya tanpa ada kebencian. Hanya sedikit terpancar kekesalan diwajah Isabel, bagi Azam itu sudah lebih dari cukup.
Isabel masih tetap setia duduk didekat Azam berbaring. Dia sepertinya benar-benar takut Azam kenapa-kenapa.
"Aduh, Isabel, perut Mas sakit," keluh Azam.
"Apa? Apa, Mas Azam? Perut Mas Azam kenapa?" terlihat sekali kalau Isabel cemas.
"Aduh, arghhh, sshhh ... sakit, aw sakit. Isabel tolong Mas!" keluh Azam.
"Mas Azam ih, jangan bikin Isabel takut. Mas Azam kenapa? Aku akan panggilkan Dokter saja, ya."
"Uh ... uh ..." Azam semakin menjadi-jadi.
Isabel semakin panik saja melihat Azam seperti itu. Azam kejang-kejang, nafasnya sesak. Azam memegangi bagian dada dan perutnya.
Seketika itu juga Isabel langsung kelimpungan. Dia menjadi sangat tidak tenang.
"Mas Azam, jangan gitu. Aku takut. Aku akan panggil Dokter sekarang juga."
Isabel langsung mencari ponselnya, dia bingung mencari-cari keberadaan ponselnya di mana, saking paniknya.
"Kenapa saat begini ponselku tiba-tiba ngilang, aku bisa setres kalau gini. Mas Azam jangan kenapa-napa dulu," ucap Isabel.
Azam semakin tidak terkendali. Isabel yang melihatnya semakin dibuat tidak tenang.
"Mas Azam."
Isabel langsung berlari kembali untuk mendekati Azam. Dia tidak peduli di mana ponselnya sekarang berada. Yang terpenting sekarang bagaimana caranya membuat Azam kembali seperti semula.
"Mas Azam, apa Mas Azam kesurupan?" tutur Isabel yang membuat Azam harus menahan tawanya. Betapa polos dan menggemaskannya Isabel saat panik, itu menurut Azam.
Awalnya Isabel hanya takut akan disalahkan oleh keluarga Azam saja. Tapi sekarang dia benar-benar takut Azam kenapa-napa dan pergi untuk selamanya. Walaupun Isabel tidak suka Azam, tetapi dia tetap memiliki rasa kemanusian.
Ditengah kebingungannya karena melihat kondisi Azam yang semakin memburuk, Isabel kembali dikejutkan saat tiba-tiba saja Azam tidak sadarkan diri.
Sontak saja Isabel langsung berteriak histeris. Dia berpikir Azam sudah tidak dapat diselamatkan.
"Mas Azam! Huwa ... Mas Azam! Tidak! Ini tidak mungkin!" Isabel memang orang yang mudah panik dan takut. Saat rasa takut mengahampirinya, dia tidak akan bisa berfikir dengan jernih.
Isabel menekan-nekan dada Azam, dia memegangi denyut nadi Azam.
"Ih, kenapa aku tidak bisa melakukannya? Aku tidak mengerti hal beginian," terang Isabel.
Lagi-lagi Isabel melakukan hal yang tidak dapat dipercaya, dia memukul-mukul wajah Azam dengan sangat keras. Padahal kalau hanya untuk menyadarkan Azam saja, dia bisa melakukannya secara pelan.
Azam merasa kesakitan sampai mengerjap-ngerjapkan matanya karena menahan rasa sakit akibat ulah Isabel. Ternyata Azam hanya berpura-pura pingsan. Dari tadi Azam hanya berakting. Dia tidak benar-benar mengalami kejang-kejang. Semua itu Azam lakukan untuk mengerjai Isabel. Azam ingin tahu reaksi Isabel akan seperti apa saat dirinya tidak dalam kondisi baik. Dan Azam berhasil membuat Isabel percaya dengan kebohongannya sampai membuat Isabel panik.
Meskipun kesakitan karena dipukul-pukul oleh Isabel, Azam tetap tidak ingin membuka matanya, dia masih suka melihat Isabel sangat takut dengan kondisinya. Azam sedikit membuka sebelah matanya, dia ingin melihat wajah panik Isabel saat ini. Baginya itu sangat menggemaskan.
"Mas Azam," lirih Isabel.
Tidak diduga, wajah Isabel memerah, matanya berkaca-kaca. Butiran bening mulai menggenang dipelupuk matanya. Genangan air dari mata Isabel siap untuk meluncur membasahi pipi.
Azam menjadi tidak tega melihatnya. Jujur dia merasa sakit saat air mata Isabel keluar dengan sia-sia. Tapi dia juga bahagia Isabel menangisi kondisinya.
Air mata Isabel pun mulai berjatuhan. Isabel menangis dengan begitu memilukan. Tangisnya tidak mengeluarkan suara, tapi tetap saja terlihat begitu menyedihkan, apalagi jika Azam yang melihatnya.
Sudah cukup, Azam tidak bisa melanjutkan sandiwaranya. Dia tidak mau Isabel menangis. Hati Azam sakit menyaksikan itu semua. Melihat istri yang paling dicintainya menangis karena ulahnya.
Azam kemudian membuka mata dan menyentuh tangan Isabel. Jujur saja Azam ingin menyentuh pipi Isabel dan menghapus air mata Isabel yang membasahi pipi Isabel, tapi Azam tidak memiliki keberanian untuk melakukannya.
"Hiks ... hiks ... Mas Azam," tangis Isabel. Isabel belum menyadari ada seseorang yang menyentuh tangannya.
"Isabel, jangan menangis! Mas tidak apa-apa. Mas hanya bersandirawa. Maafkan, Mas. Mas hanya ingin sedikit bercanda denganmu. Mas, tidak ada niat untuk membuatmu menangis," terang Azam, berucap terus terang.
Isabel yang mendengar pengakuan Azam barusan benar-benar dibuat emosi. Langsung saja Isabel mengambil bantal yang menjadi bantalan Azam tidur.
"Aduh, Isabel. Apa yang mau kamu lakukan? Tolong jangan sakiti, Mas. Mas mohon, tolong maafkan perbuatan Mas, padamu."
Azam sudah ketakutan melihat Isabel yang emosi.