Setelah kejadian semalam yang berakhir dengan Yola yang tidur dengan membelakangi Abdul, serta Abdul yang memeluk Yola dari belakang. Kini Yola masih merasa malu untuk bersitatap dengan sang suami.
Sebisa mungkin Yola menghindari bertatapan dengan Abdul, dan itu membuat Abdul tersenyum geli karena tahu jika sang istri malu kepadanya, namun bukan Abdul namanya jika tidak bisa merayu sang istri untuk menatap dirinya.
"Sayang, tolong pakaikan dasi, dong." Kata Abdul, sengaja menyuruh sang istri untuk memakaikannya dasi padahal biasanya dia menggunakannya sediri tanpa bantuan Yola.
Yola melangkah mendekati Abdul lalu berdiri di hadapannya dengan kikuk, dan tak berani menatap wajahnya.
"Kayaknya aku salah milih warna dasi deh." Ucap Abdul lagi.
Yola melihat kemeja dan jas yang ada di atas ranjang, lalu kembali menatap dasi yang Ia pegang.
"Enggak kok, ini sudah pas, serasi." Ucap Yola sambil menatap dasi tak mau menatap wajah Abdul.
"Kalau begitu aku milih dasi yang terlalu bagus." Lagi, Abdul berkata dengan kata-kata yang membuat Yola kembali melihat pada dasi yang Ia pegang.
"Enggak ah, kenapa kamu ngomong gitu?"
"karena dari tadi, kamu fokus banget lihatin dasinya dari pada wajah suamimu yang ganteng ini."
Sontak Yola langsung tersenyum dan kedua pipinya jadi memerah. Abdul memeluk tubuh Yola, lalu mengangkat dagu Yola agar mau menatapnya.
"Kenapa ga mau natap wajah ku? Nanti kangen lho." Ucap Abdul sambil menjepit dagu Yola menggunakan jarin dan jempolnya, dengan lembut.
"Ga apa-apa."
"Kamu marah sama aku? Memang salah aku apa?" Abdul memancing istrinya agar mau lebih terbuka dengannya, walau Ia tahu alasan sebebarnya Yola menghindari tatapannya.
"Maaf, tapi aku malu." Ucap Yola dengan menatap wajah tampan suami tampannya.
"Malu karena apa?" Tanya Abdul membuat Yola bingung untuk menjawab apa. Ga mungkin juga kan dia mesti bilang malu karena memegang benda berharga suaminya.
"Maaf karena aku iseng semalam." Ucap Yola pelan.
Abdul tertawa lalu menarik Yola masuk ke dalam pelukannya.
"Tidak apa-apa sayang, sekarang kamu tahu bukan, kenapa selama ini aku memilih tidur terpisah denganmu, dan menyuruh Anisa untuk menemanimu."
Yola mengangguk tegas, Ia kini mengerti bahwa sang suami menjaga dirinya, ingin memberikan yang terbaik untuknya, sampai umur mereka cukup untuk menikah resmi dan tercatat di negara.
"Tapi aku mau tidur dengan mu nanti malam, janji deh, aku ga akan iseng lagi." Ucap Yola.
"Kenapa?"
"Pokoknya sampai nanti aku berangkat ke negara A, aku ingin tidur dipelukan kamu." Rengek Yola.
:nanti kalau aku khilaf bagaimana?"
"Ya jangan."
"Kok jangan, kan kamu yang nyuruh aku tidur sama kamu."
"Ya pokoknya jangan, kan kasian anak kita nanti dikiranya nanti aku hamil duluan."
Abdul tersenyum, lalu mengangguk. "Ok.. Ok.. Sayang. Nanti malam aku tidur sama kamu lagi."
"Makasih."
"sama-sama sayangkuh."
"Nanti kamu jemput aku jam berapa untuk ikut tes?"
"Seperti dijadwal, aku hanya akan miting dikantor pagi ini, dan akan menyelesaikannya dengan cepat, lalu kembali ke rumah untuk jemput kamu dan Fatih, ikut tes."
"Fatih?"
"Iya, semalam dia mengatakan tentang hal ini sama aku. Jadi jika kalian lolos, kalian bisa kuliah ditempat yang sama, walau jurusannya berbeda."
"Alhamdulilah, akhirnya aku ada temannya disana."
"Dan aku juga tenang jika ada seseorang yang menemanimu, dan menjagamu selama disana, apa lagi dia saudara mu."
"iya, begitu pun aku. Satu hal yang membuatku ragu untuk pergi karena aku takut kau tidak mempercayaiku."
Abdul mengeratkan pelukannya pada Yola lalu mencium kepala berulang kali.
"Demi Allah aku tak pernah berprasangka buruk terhadapmu, istriku."
Yola terisak, "Kenapa kau begitu percaya padaku?"
"Karena memang aku mempercayaimu, karena aku mencintaimu, dan aku mengenalmu, bahkan kita kenal sebelum kita bertemu, alasan apa yang harus membuatku untuk tidak mempercayaimu, tidak ada sayang. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak percaya padamu."
"Tapi aku manusia biasa yang tak lepas dari kesalahan, Abdul."
"Dan aku tahu, kau manusia yang pandai meminimalisir kesalahan."
Yola semakin mengertakan pelukannya, ingin rasanya Ia masuk ke dalam hati suaminya untuk melihat kejernihan hati sang suami.
"Terimakasih. Terimakasih telah mempercayaiku."
"Sama-sama sayangku."
****
"Fatih, kamu serius akan mengikuti akselerasi?" Tanya Fahri di kamar mereka, sedangkan Jhonatan berdiri di pintu kamar keduanya mengamati Fahri yang sedang mengeluarkan amarahnya pada Fatih karena ikut akselerasi tanpa sepengetahuannya.
"Ya, aku serius. Aku ingin menjadi dokter, dan aku ingin menjaga Yola disana, kalian berdua tahu kan kalau Yola harus berobat ke negara A, dan aku tak mau dia sendiri, semalam aku sudah bicara dengan Abdul."
"Oke, kita ikut akselerasi, tapi kenapa kamu harus melanjutkan kuliah disana, disini juga ada fakultaskedokteran, dan untuk Yola, ka nada suaminya yang menjaga dia."
"Abdul tidak bisa ikut tinggal disana, kamu tahu sendiri seusia kita saja dia sudah bekerja dikantor Abahnya, lalu dia harus sekolah, dan mengurus pesantren ini bersama Abah dan Uminya, bagaimana dia bisa tinggal lama di negara A?"
Fahri terdiam, lalu duduk disamping Fatih yang sedang mengemas buku pelajarannya ke dalam kardus.
Fahri tak pernah mengetahui jika selama ini Anisa menyukainya, dan Fatih menyukai Anisa. Fahri selalu sibuk dengan laptop dan buku-buku IT nya, tak pernah sekalipun membicarakan tentang perempuan, maka ketika Anisa menyukainya pun Ia menjadi laki-laki yang tidak peka.
Jhonatan mendekati dua saudaranya yang sedang duduk di ranjang.
"Fahri, taka pa dia pergi bersama Yola, masih ada aku disini, lagipula kita harus membantu Abdul disini, bukan?" kata Jhonatan yang berdiri menyandar di tembok.
"Aku tak tahu alasan pastinya apa kau pergi ke negara A, benar hanya untuk menjaga Yola dan mengejar cita-citamu, atau ada sebab lain, aku tak tahu. Tapi yang jelas aku mendukungmu."
"Aku juga belum mau bertemu adikku." Jawab Fatih dengan suara rendah.
Kedua saudaranya tertawa terbahak lalu menepuk pundaknya. Sedang kan Jhonatan langsung terduduk di lantai karena capek tertawa, sungguh saudaranya ini masih tidak mau menerima kenyataan jika Ia mempunyai seorang adik perempuan.
"Aku kira kamu sudah menerima adikmu, ternyata…"
"Aku juga mengira kalau kamu sudah ikhlas membagi kasih sayang orang tuamu dengan adiknmu, ternyata…"
Jhonatan dan Fahri masih tertawa sedangkan Fatih cemberut melihat kedua saudaranya yang menertawakannya.
"Jam berapa kita ujian akselerasi?" Tanya Jhonatan.
"Jam 10, nanti kita pergi bersama dengan Abdul dan Yola."
"berapa siswa yang ikut?" Tanya Fahri.
"Sepertinya ada lima atau enam siswa yang ikut ujian."
"Dari sini semua atau ada dari tempat lain?"
"Ada satu orang dari pesantren penghafal al-qur'an."
"Waw, perempuan atau laki-laki?" Tanya Fahri yang membuat saudaranya melongo.
"Tumben kamu perduli dia laki-laki atau perempuan."