Setelah pengumuman bahwa penerbangan mereka sudah akan boarding, Bastian memberikan tanda kepada Adelia untuk bersiap-siap menaiki pesawat. Padahal tadinya Adelia baru saja memejamkan matanya sebentar setelah menikmati aneka sarapan yang disiapkan oleh lounge mewah itu. Ia sedikit kesal melihat Bastian yang justru setelah menghabiskan sedikit sarapan dan segelas kopi, ia dengan santainya tidur di salah satu kursi santai di lounge.
Adelia mengikuti Bastian dari belakang. Ia melihat ke kiri dan kekanan, dan menyaksikan beberapa pasangan mudah dan tua yang juga bersiap-siap menaiki pesawat. Adelia fokus pada sepasang yang berusian sekitar akhir 50-an, dan sepertinya warga negara Australia. Mungkin mereka baru saja selesai berlibur di Indonesia. Sang pria dengan begitu posesif dan lembut menggandeng sang wanita dengan satu tangan, dimana tangan yang lainnya berusaha memegang seluruh bawaan sang wanita. Mulai dari tas tangan sampai tintingan tidak penting.
Jasmina menatap tangan mungilnya yang berwarna putih. Tangan sang wanita itu yang sudah berkerut-kerut tampak begitu seksi di genggaman sang pria. Perlahan Adelia mengangkat tangannya yang mulai halus dan melembut karena sudah terlalu lama absen bekerja di Maya Masala. Tapi tangan lembut ini tidak berpunya, tidak ada yang ingin menggenggamnya seara posesif. Bahkan sang suami yang baru saja dimilikinya lebih memilih menggenggam tablet berukuran 10 inchi di kanan dan HP di kiri.
Adelia menatap lurus ke punggung Bastian yang lebar, seakan tubuh mungilnya tenggelam di baliknya. Bahkan ransel hitam yang di kenakannya di punggung bisa terkesan begitu mungil disitu. Tatapan Adelia kembali turun ke tangan Bastian yang putih, besar dan sedikit berurat. Mantan atlit voli itu memiliki tangan yang kokoh, Adelia sudah pernah merasakannya. Ia yakin, dekapan di tangan saja, bisa menghangatkan hati perempuan manapun. Seketika tangannya jadi begitu dingin, dan membutuhkan sebuah dekapan.
"Bagaimana bila kusambar saja tangan itu? Akankah Tian menolak?", batin Adelia.
"Hey, jangan melamun! Cepetan!", pekik Bastian karena melihat Adelia hanya terdiam terpaku sambil memandangi tangannya sendiri. Adelia kontan kaget, dan berlari kecil mengejar langkah Bastian. Tapi cowok itu tidak melambatkan jalannya. Seakan-akan penerbangan mereka berbeda tujuan saja!
"Kamu duduk disini, di deket jendela", jelas Bastian sambil menunjuk sebuah kursi dekat jendela di kelas bisnis. Kursi itu begitu nyaman, Adelia sudah bisa membayangkan untuk melanjutkan tidurnya kembali. Adelia memasuki deretan kursi di bagian kiri pesawat dan mendudukan pinggulnya persis di samping jendela. Bastian memastikan Adelia duduk nyaman di kursi, sedangkan ia masih berdiri.
"Udah?", tanya Bastian. Adelia tidak paham apa maksudnya, namun ia hanya memngangguk pelan sambil tersenyum. Bastian kemudian berjalan ke arah 2 kursi di belakang, dan duduk di salah satu kursi di deretan kanan pesawat. Adelia kontan bingung, dan setengah berdiri menyaksikan Bastian yang sedang menyamankan dirinya di kursi yang cukup jauh dari Adelia.
"Kok kamu disitu?", tanya Adelia. Kali ini ia sudah benar-benar berdiri dan menatap Bastian dengan serius. Cowok itu baru saja memasangkan sabuk pengamannya dan mengangkat bahunya.
"Aku mau istirahat", katanya santai. Adelia melongo. Jadi apa dia? Gangguan?
Adelia mendudukan pinggulnya kembali ke kursi dan melayangkan pandangannya ke luar jendela pesawat. Memorinya kembali ke masa di mana mereka terpaksa duduk berdua menuju Perth. Sungguh itu bukan pengalaman yang menyenangkan memang.
Namun justru saat ini hati Adelia agak terasa perih. Kenapa ya?
-------------------------------
Waktu telah menunjukkan pukul 3 siang di Perth. Adelia sungguh tidak sabar untuk segera keluar dari airport, walau ia tahu itu sedikit mustahil. Ia harus melewati inspeksi imigrasi, dan yang tersusah adalah bea cukai. Ia lupa untuk mengalokasikan barang-barang yang harus di periksa. Entahlah, ia belum benar-benar membuka apa saja yang sudah disusun oleh mama Wien dan mama Cecilia. Tapi mereka berjanji, tidak ada makanan berbahaya, mengandung susu atau yang dilarang oleh bea cukai. Tapi tetap saja, ia harus membongkar 3 kopernya. Empat koper bila menghitung koper Bastian.
Sejak duduk di pesawat sampai mengantri di imigrasi, Bastian belum membuka mulutnya untuk mengajak Adelia berbicara. Mukanya kelihatan masih mengantuk. Padahal bila di hitung dari tidurnya tadi malam, plus tidur di lounge, seharusnya Bastian tidak mengantuk sekarang. Sebaliknya dengan Adelia. Ia terlalu emosi untuk tidur di pesawat tadi. Ia menghabiskan waktunya dengan menonton non stop apa saja yang di sajikan di dalam pesawat. Tepat ketika ia akan tertidur, pesawat justru mendarat!
"I need to see what's in those baggage (aku harus melihat apa yang ada di koper-koper itu)", seru sang petugas sambil menunjuk 2 koper yang disiapkan oleh mama Cecilia dan mama Wien. Adelia langsung lemas. Ia sungguh-sungguh malas membongkarnya. Bastian dengan sigap mengangkat kedua koper itu di meja pemeriksaan dan meminta Adelia untuk membuka kedua koper itu.
"Aw you two are just too sweet. Is he your boyfriend? (Aw kalian berdua begitu manis. Apa dia pacarmu?", tanya salah seorang petugas bea cukai perempuan sambil menggoda Adelia. Ia tersipu malu sambil menatap Bastian.
"My Husband (suamiku)", kata Adelia pelan. Ia memerlukan keberanian yang luar biasa untuk mengucapkannya. Biar saja! Toh tidak ada yang kenal dengan mereka kok!
"We just got married (kami baru saja menikah)", kata Bastian menambahkan. Ia tersenyum manis kepada kedua petugas. Ia mengharapkan dengan begitu, pemeriksaan bisa berlanjut dengan cepat dan mereka bisa segera keluar.
"Oh ya, I can see that you two are newlyweds (oh ya, aku bisa melihat kalau kalian berdua adalah pengantin baru)", katanya lagi sambil menunjuk salah satu koper yang di periksa itu. Adelia dan Bastian kompak melihat kedua koper yang di bongkar, dimana tangan salah satu petugas laki-laki sedang mengacak-acaknya dengan sarung tangan latexnya.
Koper besar itu ternyata berisi seprei, taplak, dan tampak sebuah blender! Ketika mereka melongo ke arah koper yang di tunjuk oleh petugas perempuan itu, Adelia nyaris terpekik. Tampak beberapa lingerie berwarna hitam dan merah, beberapa bra renda-renda halus dan celana dalam yang terbuat dari bahan sutera atau sejenisnya, mencuat dengan begitu menyolok. Adelia menutup mulutnya dengan kencang dan mulai tersedak.
"Aren't those yours? (Apa itu bukan milikmu?)", tanya sang petugas. Sepertinya ia takut koper Adelia tertukar. Adelia menggeleng kencang. Tapi ketika ia menatap petugas itu dan Bastian secara bergantian, ia kemudian mengangguk dengan keras.
"Those... those...arrgg... a gift...(itu... itu... arrhh sebuah hadiah)", jawab Bastian berusaha untuk menenangkan suasana.
"From you? (Dari kamu?)", tanya sang petugas heran. Bastian menggeleng-geleng sambil menggoyangkan tangannya.
"No no no, from parents (Bukan bukan, dari orang tua)", katanya lugu sambil tersenyum. Tapi tentu saja, jawabannya malah membuat kedua petugas pemeriksa itu semakin melongo.
--------------------------
Adelia dan Bastian akhirnya keluar hidup-hidup hampir sejam lamanya. Bastian berjalan mantap keluar dari pintu dan celingak-celinguk melihat ke kiri dan ke kanan. Sejak tadi Bastian tidak mengatakan apa-apa tentang rencananya mengenai Maretha, mengenai dimana mereka tinggal, atau bahkan bagaimana mereka akan pulang ke asrama hari ini.
"Dear God! Why would someone need 3 baggage for travelling. Can you believe it? (Ya Tuhan! Kenapa seseorang butuh 3 koper untuk traveling. Bisakah kau percaya itu?)", tanya seorang pria bule kepada Bastian sambil menunjuk Adelia yang dikelilingi oleh 3 koper. Ia sepertinya tidak menyangka bahwa justru Bastian adalah bagian dari perjalanan Adelia.
"Huffttt, I know right? The pack everything these days hahahaha (Hufft, Aku tau. Mereka mengemas apa saja hari gini)", Bastian justru ikut mengomentari Adelia seakan-akan ia orang asing. Adelia langsung menatap tajam sang pria bule yang membuatnya langsung kabur. Ia memukul-mukul kepalan tangannya ke telapak tangan satu lagi, sambil menatap Bastian dengan tajam. Teganya sang suami tidak membela istrinya. Lagian, dua koper itu kan kebutuhan mereka untuk rumah baru! Bastian justru anteng sambil celingak-celinguk.
"Woiiiii sini!", pekik Lisa! Adelia mencari arah suara yang sudah ia rindukan itu. Ia menatap Lisa dan Malik yang ternyata sudah menunggu mereka di pintu keluar. Kontan saja Adelia meninggalkan trolley bagasinya dan berlari menuju Lisa dengan begitu semangat. Air matanya tiba-tiba membendung dan akan pecah. Dan benar saja. Begitu pelukan mereka terjadi, Adelia langsung menumpahkan air matanya. Entah air mata apa itu.
"Woiiii pengantin baru kok nangis sihhhh! Napa? Malam pertama masih sakit? AHhahahahha", Lisa mencoba menenangkan Adelia. Ia mencoba merenggangkan pelukan itu, tapi Adelia tidak bergeming. Ia terus saja memeluk sahabatnya itu dengan dan menumpahkan tangisnya.
"Thanks udah jemput bro, kata Bastian ke arah Malik", ia menyorongkan tinju pelannya ke arah Malik dan cowok itu ikut membalasnya, seakan-akan begitulah cara mereka menyapa dan bersalaman.
"No problem bro", jawab Malik. Cowok itu memperhatian dua sahabatnya yang masih saja terus berpelukan.
"Udahhh udahhh pelukannya nyambung ntar aja. Gue ama Lisa bela-belain bolos kuliah nih buat jemput kalian berdua. Setidaknya yooookk makan dulu buat ngerayain kalian yoookkk", kata Malik menggoda Adelia. Ia merenggangkan pelukannya dari Lisa dan menatap Malik. Matanya merah dan bibirnya bengkak. Ia hanya mampu menatap Malik tanpa berkata-kata, tapi ia yakin Malik paham dengan apa yang ada di hatinya. Cowok itu tersenyum menenangkan Adelia.
"Welcome back tuan putri Adelia. Selamat atas pernikahannya. You're going to be alright (kamu akan baik-baik saja)", kata Malik sambil merentangkan kedua tangannya yang lebar. Kontan sekarang Adelia malah menerjang Malik dan memeluknya sambil kembali menangis. Malik panik dan melotot ke arah Bastian. Tangannya mengibas-ngibas dan kepalanya menggeleng-geleng. Ia seakan ingin berkata kepada Bastian, "istri lo yang meluk gueeee, sumpah gue gak ada rasa!".
Bastian hanya memperhatikan keduanya dengan tatapan senyum. Ia tidak masalah. Ia hanya berdiri mematung sambil memasukkan kedua tangannya di kantong celana jeansnya. Entah kenapa, ia sangat menghargai persahabatan Adelia, Malik dan Lisa. Ia yakin, Lisa dan Malik adalah fondasi yang kuat bagi Adelia saat ini. Ia sangat membutuhkan bantuan kedua orang itu.
--------------------------
"Sini biar aku anterin ke atas koper-kopernya", perintah Bastian. Adelia menggeleng.
"Gak usah, ada Malik ama Lisa ini kok. Biar mereka yang anterin aku ke atas. Kamu langsung istirahat aja", tutur Adelia tulus. Bener kok, dia cuma kasihan dengan Bastian. Ia pun juga lelah, dan ingin cepat-cepat selonjoran di kasurnya sendiri.
"Iya Bastian, biar aku aja. Santai aja kau", kata Lisa sambil membawa satu koper ukuran sedang. Malik juga sudah mengambil aba-aba untuk mengambil salah satu koper.
"Udah, santai aja. Lagian isi dari koper-koper itu kan untuk kebutuhan kita juga kok", tutur Bastian. Ia mengambil koper miliknya. Mereka berempat berjalan ke arah flat 26. Setelah Bastian memasukkan koper dan ransel miliknya ke dalam flat-nya, ia mengambil koper ukuran besar dari tangan Malik, yang membuat Malik mengambil koper yang sedang di pegang Adelia. Mereka berempat berusaha menaiki tangga dengan 3 koper.
Lisa mengebel flat Adelia berkali-kali. Muncullah Diva yang sepertinya memang sedang berada di dapur, sehingga ia bisa langsung menyambut mereka. Ketika flat 27 terbuka, Diva langsung menyambut Adelia dengan pelukan terhangat.
"Adelia, you're back! Welcome dear. I just made you some tea. Lisa already text me when you're on the way home (Adelia, kamu sudah kembali! Selamat datang sayang. Aku baru saja membuat kamu teh. Lisa sudah mengirimkan pesan ketika kamu sedang menuju rumah)", sambutnya hangat. Adelia mengangguk. Melihat dari eskpresi Diva yang tanpa pertanyaan aneh-aneh dan langsung dengan gesture menenangkan, pastilah gadis itu sudah tahu cerita lengkapnya. Entah dari siapa.
"Thank you dear. I brought you the whole team (Terima kasih sayang. Aku membawa tim penuh nih)", kata Adelia sambil menunjuk Lisa, Malik dan Bastian. Diva tersenyum kegelian. Ia mempersilahkan semuanya masuk. Adelia langsung menuju pintu kamarnya dan berusaha mencari kunci yang tenggelam di antara barang-barang lainnya di tas besar itu.
"Aduh mana sih tu kunci??", kata Adelia gelisah. Masalahnya Bastian berdiri tegak di belakangnya, tidak sabar untuk memasukkan 1 koper besar dan 2 koper sedang untuk masuk ke kamar Adelia. Malik dan Lisa sepertinya sudah menyamankan diri mereka bersama Diva di dapur.
Pada saat genting seperti itu, pintu kamar Maretha terbuka! Kamar Adelia dan Maretha berjarak sekitar 9 meter dari pintu ke pintu. Adelia dan Bastian sama-sama melotot ke arah Maretha, seakan-akan mereka adalah pasangan selingkuh yang baru saja tertangkap basah. Beberapa detik mereka bertiga terdiam dalam diam, bahkan Adelia berhenti untuk mencari-cari kuncinya. Tangannya seakan-akan terjepit di dalam tas dan tidak bisa ia tarik.
"BASTIAN!", teriak Maretha penuh dengan ratap pilu. Suara kerasnya bergema di lorong sepanjang 10 meter itu. Cowok yang di panggil, memasang ekspresi datar, namun tetap memandang Maretha dengan penuh rasa bersalah. Maretha berjalan mantap ke arah Adelia dan Bastian, yang membuat suasana semakin mencekam. Adelia refleks memegang pipinya, berjaga kalau-kalau Maretha akan meninjunya. Namun Maretha justru menerjang Bastian, dan memeluk cowok itu dengan posesif.
"Bastian kamu TEGA huhuhuhuh. Kamu BRENGSEK huhuhuhuh. Dasar kalian berdua gak punya hati! Huhuhuh uhuhuh", begitu terus Maretha menangis pilu dengan suara keras menggema kali ini tidak saja di sepanjang lorong, namun sudah menjalar ke common room. Malik, Diva dan Lisa lantas lari dari dapur menuju lorong. Mereka menyaksikan dari ujung pemandangan bak sinetron itu. Mereka bertiga tidak bisa memutuskan untuk kasihan atau senang melihat Maretha sang nenek lampir.
Bastian masih memasang ekspresi diam dan tenang. Kali ini pandangannya lurus saja kearah depan. Sesekali badannya terguncang ke belakang, karena Maretha memeluknya dengan kencang sambil memukuli dada bidang cowok itu. Adelia yang sedari tadi belum juga menemukan kuncinya, kali ini mengeluarkan seluruh isi tasnya agar lebih mudah mencarinya. Barang-barang yang tadinya berada di dalam tas Adelia, kini berhamburan di lantai. Termasuk kunci kamarnya. Adelia memungut kunci itu dan cepat-cepat membuka kamarnya. Lisa dengan tanggap langsung mendekati Adelia dan memungut barang-barang berhamburan itu dan memasukkannya ke dalam tas Adelia. Dua cewek itu lantas dengan secepat kilat memasuki kamar Adelia.
"Kok kau biarkan si nenek lampir itu peluk-peluk suamimu seenak jidatnya? Pernikahan macam apa yang kelen hadapi ini hah?", tanya Lisa dengan penuh kekesalan. Adelia mencoba tersenyum manis, tapi terus terang hatinya sedikit teriris.
"Udahlah, santai aja sih. Bastian bilang dia ada rencana untuk menenangkan Maretha", balas Adelia.
"Dan itu salah satunya hah?", hardik Lisa sambil memberikan jempolnya ke arah belakang, ke arah Bastian dan Maretha yang mungkin masih saja berpelukan di balik pintu kamar Adelia. Seketika Adelia kuatir. Ia harus segera menghentikan kegiatan di luar.
"Yuk minum teh dulu kita Lis, gak enak sama Diva udah dibikinin", kata Adelia. Sedetik kemudian, Malik membuka pintu kamar Adelia dan menyorongkan 3 buah koper masuk. Adelia dan Lisa menyambut koper-koper itu, mendorongnya dengan asal ke dekat ranjang dan keluar dari kamar Adelia.
Yap! Maretha masih saja menangis dan menguncang-guncang Bastian. Cowok itu masih dengan tatapan dinginnya, namun kali ini kedua tangannya sudah menggenggam pundak Maretha. Adelia dan Lisa langsung memasang tampang jijik. Detik itu juga, secara hampir bersamaan, Gavin dan Marvin keluar dari kamar mereka. Mungkin mereka agak penasaran dengan suara pilu tangisan Maretha.
Bastian langsung merasa tidak enak. Ia melepaskan pelukan Maretha, dan menuntun gadis itu untuk masuk ke dalam kamarnya di ujung. Lebih tepatnya, mereka berdua masuk ke dalam kamar Maretha! Adelia dan Lisa langsung berubah memasang tampang kaget luar biasa. Malik kontan menepok jidatnya. Astaga.
Gavin dan Marvin yang menyaksikan, merasa sedikit aneh, namun mereka berjalan ke arah Adelia dengan senyum.
"Hey, you're back already! Welcome! (Hey, kamu sudah kembali! Selamat datang!)", kata Marvin sambil merentangkan kedua tangannya. Cowok kulit hitam itu sedang mengenakan atasan baju basket tanpa lengan dan celana jeans biru panjang. Ketika ia merentangkan kedua tangan gelapnya, siap saja dapat melihat bulu ketek cowok itu. Suasana yang tadinya mencekam, kini berubah menjadi kikuk dan jenaka. Adelia tiba-tiba tidak bisa memutuskan untuk menerima pelukan cowok itu atau tidak. Lisa dan Malik secara serentak mengatupkan erat-erat bibir mereka, takut bila tawa mereka meledak keluar.
"Thank you Marvin", kata Adelia yang akhirnya memutuskan untuk menerima pelukan itu dengan hati-hati. Mereka semua akhirnya digiring Adelia menuju dapur, dimana Diva sudah siap dengan teh dan beberapa muffin coklat. Mereka semua mengambil posisi duduk berkeliling di meja makan itu.
"You just had a speedy travelling back home. I thought it would be at least a week (Kamu sepertinya pulang hanya sebentar banget. Aku kira setidaknya kamu akan ada disana seminggu)", komentar Gavin bingung. Ia mengambil salah satu cangkir yang disiapkan Diva.
"Well ya, it was an emergency call, I need to get back right away. In no time, we're going to have our final exam, right? (Ya begitulah, itu tadinya cuma pulang karena darurat, aku harus secepatnya kembali. Kan tidak lama lagi, kita akan menghadapi ujian akhir kan?)", jelas Adelia. Marvin dan Gavin mengangguk-angguk tanda mengerti. Mereka semua akhirnya menyeruput teh buatan Diva sambil mencomot kue muffin itu.
"So, what kind of emergency call did you made last time that made you flew back home? (Jadi, keadaan darurat apa yang menyebabkan kamu harus pulang kampung kemaren?)", tanya Marvin santai. Adelia langsung mengangkat tangan kirinya, sehingga cincin berlian yang dibalut dengan emas putih mengkilau itu terlihat oleh semua orang.
"Got married (menikah)", katanya santai sambil tersenyum ke arah Marvin dan Gavin. Kedua cowok itu tersedak. Lisa, Diva dan Malik langsung tertawa pelan.
"Whaaatttt?!", tanya Gavin dan Marvin secara bersamaan. Kedua cowok itu saling berpandangan, dan balik memandang Adelia dengan tatapan takjub. Luar biasa, pergi beberapa hari, kembali sudah dalam keadaan status baru. Sekarang Adelia ada di hadapan mereka seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"To whom? (dengan siapa?)", tanya Gavin takjub.
"That guy! (cowok itu!)", jawab Malik, Diva dan Lisa secara bersamaan. Marvin dan Gavin mengangkaat kedua telapak tangan, masih dalam keadaan bingung.
"What guy?!", tanya mereka lebih kebingungan lagi.
"That guy!", kata Diva sambil menunjuk ke arah kamar Maretha dengan bibir yang mengkeriting.
"You mean, Maretha's boyfriend? (maksudmu, pacar Maretha?)", tanya Marvin panik. Mereka berempat mengangguk pasrah.
"Aparently before becoming Maretha's boyfriend, he's already an Adelia's Fiancee (Ternyata, sebelum menjadi pacar Maretha, ia sebenarnya adalah tunangan Adelia)", jelas Diva yang membuat Adelia mengangguk-angguk dengan lemah sambil memasukkan muffin coklat ke mulutnya.
"Www Www what?!", tanya Gavin dan Marvin panik secara bersamaan.
"What kind of marriage is this? (Pernikahan macam apa ini?)", tanya Gavin sambil kembali merentangkan kedua telapak tangannya. Ia masih tidak habis pikir. Lisa dan Malik kembali mengatupkan bibir mereka dan berusaha untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Ya, ini semua memang terasa terlalu lucu. Sebaliknya, Diva sudah tertawa terbahak-bahak.
"Soooo, are you two moving out from the flat? (apakah kalian akan pindah keluar dari asrama?)", tanya Gavin. Adelia menggeleng.
"They're not even dating, you know (Mereka bahkan tidak berkencan, tau gak?)", tutur Malik sambil terkekeh. Gavin dan Marvin membelalak seakan-akan baru menyadarinya.
"And now Bastian is back to the evil witch (dan sekarang Bastian kembali lagi kepada nenek sihir jahat itu)", timpal Lisa sambil ikut tertawa. Adelia memasang tampang malas kepada Malik dan Lisa, sehingga keduanya menahan senyum mereka lagi.
"I've seen a long distance relationship before, and it's difficult. But this is the first time I'm seeing a short distance relationship, but they're not even dating ahahahahaha (Aku pernah melihat hubungan jarak jauh, dan itu sangat sulit. Tapi baru kali ini aku melihat hubungan jarak dekat, tapi mereka bahkan tidak berkencan ahahahaha)", komentar Diva sambil tertawa dan memukul-mukul meja makan. Komentarnya mengundang decak tawa semuanya kecuali Adelia. Tapi justru ia juga tak kuasa menahan senyumnya.
"Ooo ooo how bout this? They should call this marriage…two stories flat relationship. Because they live seperated in a two stories building hahahaha (Ooo ooo bagaimana bila ini. Mereka harusnya menamakan pernikahan ini… hubungan dua lantai. Karena mereka tinggal terpisah di gedung 2 lantai hahahahaha)", kali ini Marvin ikut memberikan ide, yang langsung disambar oleh gelak tawa seluruh umat disana, termasuk juga Adelia.
"I bet they don't need internet and cellphone. Just connect two plastic cup with a string, from Adelia's room down to Bastian room, since they both live in room number 2 hahahahah (Aku bertaruh mereka tidak membutuhkan internet dan HP. Cukup hubungkan dua gelas plastic dan seulas benang, dari kamar Adelia menuju kamar Bastian dibawah, karena mereka berdua sama-sama tinggal di kamar nomor 2 hahahahah)", komentar Diva lagi. Lisa dan Malik tidak henti-hentinya tertawa. Bisa-bisanya mereka menertawakan pernikahan sahabat mereka sendiri. Tapi Adelia justu ikut tertawa!
"I'm sorry Adelia, we don't mean to laugh about you. It's just that it's quite a bit too soon. But we really wishes you a happyily ever after marriage, and you both found happiness in each other (Maafkan aku Adelia, kami tidak bermaksud untuk menertawakanmu. Hanya saja, ini terkesan begitu tiba-tiba. Tapi kami benar-benar berharap kamu memiliki pernikahan yang bahagia selamanya, dan kalian berdua menemukan kebahagiaan satu sama lainnya)", tutur Gavin sopan sambil tersenyum manis. Adelia membalas senyuman itu.
"Hahahah that's alright. I need this laugh anyway (hahahah tidak mengapa. Aku juga membutuhkan tawa ini sebenarnya)", jawabnya sambil terkekeh dan menutup bibirnya dengan punggung tangannya.
"You're wedding is beautiful, you were like an angel! You were extremely beautiful, so does Bastian. You both really are meant for each other (Pernikahan kalian begitu indah, dan kamu terlihat seperti malaikat! Kamu sangat cantik, begitu juga Bastian. Kalian memang sepertinya di takdirkan untuk bersama)", komentar Diva sambil menunjukkan akun instagram Adelia yang menampilkan foto-foto pernikahan mereka di tablet 10 inchi Diva. Marvin dan Gavin langsung menyambar dan melihat foto-foto itu. Lisa dan Malik hanya tersenyum, karena mereka sudah melihat foto-foto itu sebelumnya.
"Oh my God Adelia, you make me wanna marry someone now, damn! (Oh Tuhanku Adelia, kamu membuatku ingin menikahi seseorang sekarang, sialan!)", canda Marvin lagi sambil mengepalkan satu tangannya dan memukul ke tangan lainnya. Kontan saja semua jadi tertawa terbahak-bahak lagi.
Adelia ikut tertawa kegelian melihat tingkah-tingkah sahabat-sahabatnya itu. Mereka akhirnya memesan pizza dan melewatkan sore hingga malam merayakan pernikahan Bastian dan Adelia, tanpa sang pengantin pria. Beberapa botol wine dibuka dan mereka minum dengan suka cita kecuali Malik. Entah sudah berapa lama Bastian ada di kamar Maretha, dan entah apa yang mereka bicarakan dan lakukan. Adelia pasrah. Ia percaya ketika suaminya itu berkata ia akan membereskan Maretha.
Tenang ya pembaca, Bastian ada rencana kok sama si nenek lampir. Janji deh keuwuan mereka di BAB berikutnya akan mendepak Maretha hihihi
oh iya, pembaca berusaha untuk memvisualisasikan beberapa karakter disini di akun instagram penulis ya. Stay tune, nanti linknya akan di share