"Dibersihkan dulu itu," kata Mbah Tanto seraya menyodorkan sebuah sapu tangan polos berwarna putih.
Awalnya, Jaka masih menatap kosong ke arah lantai. Kini ia hanya bisa terduduk lesu di samping pintu masuk ruangan bawah tanah itu. Lengannya bertumpu pada salah satu kaki yang segaja ditekuk sementara kaki yang lain berada di atas pangkuan Mbah Tanto. Karena tak melihat reaksi berarti dari lawan bicaranya, Mbah Tanto melakukan sentakan peregangan otot di pergelangan kaki Jaka, membuat pria itu langsung meringis menahan sakit.
"Argkh! Makasih, Mbah ...." Jaka menerima sapu tangan dari Mbah Tanto dan segera menyeka sedikit darah yang tersisa di bawah lubang hidungnya. "Udahlah, Mbah. Kaki saya nggak papa, saya jadi nggak enak. Orang tua kok suruh mijitin kaki yang lebih muda."
"Santai saja, Ka. Lagian Mbah di sini memang buat jagain kamu." Melihat tenaga Jaka yang sepertinya telah terkuras habis membuat Mbah Tanto keheranan, kira-kira pengalaman buruk macam apa yang baru saja dialami salah satu teman mudanya itu. "Barusan ngapain aja, Ka?"
Jaka tak langsung menjawab, ia masih sibuk mengalihkan perhatiannya sendiri dari sesuatu yang baru saja dialaminya. Suasana hatinya kini meredup layaknya sinar mentari yang menghilang di balik awan. Sudah beberapa saat hujan telah turun, celah yang tadinya menjadi jalan masuk cahaya kini berganti menjadi lubang rembesan air. Setidaknya suhu ruangan menjadi lebih sejuk, malah cenderung dingin. Yang Jaka inginkan hanyalah bisa kembali mengatur napasnya seperti semula.
"Nggak ngapa-ngapain, Mbah. Cuma habis 'diruwat' sama teman baru saya," jawabnya dengan napas tersengkal-sengkal.
"Pantes tenaga kamu tatas, haha," balas Mbah Tanto yang berusaha mencairkan suasana. Tapi, sayangnya Jaka hanya bisa tersenyum getir. Selera humornya telah lenyap bersama dengan sisa tenaga di tubuhnya.
"Saya udah dapet apa yang saya mau. Makasih, Mbah."
"Mas Jaka nih mau langsung balik ke Wonosobo?"
"Iya, Mbah."
"Tapi, Mbah masih boleh anter sampai gerbang depan, 'kan?"
Kali ini, senyuman Jaka terlihat lebih sumringah. Dengan dibantu Mbah Tanto, perlahan ia mulai dapat berdiri dengan kedua kakinya sendiri. Rasa sakitnya masih ada, tapi itu tak menjadi masalah baginya. Setelah ia tersadar dari tidur singkatnya itu, entah kenapa kaki Jaka terasa seperti terkilir. Mungkin karena ia jatuh tak sadarkan diri dengan posisi yang sangat tidak mengenakkan, mungkin juga karena pengaruh pikiran bawah sadar.
"Gimana kabar Andi, Ka?" tanya Mbah Tanto memulai pembicaraan. Keduanya kembali melangkah melewati lorong bawah tanah menuju permukaan.
"Jujur, saya kesini karena dia, Mbah. Dari seminggu yang lalu, saya lihat tingkahnya aneh, nggak kaya biasanya."
"Aneh bagaimana?"
Mereka terus berjalan, agak lambat tapi terus berjalan. Jaka terus saja memegangi bahu kirinya dan ia berjalan dengan langkah yang pincang. Entah kenapa, salah satu pinggangnya juga terasa nyeri. Untung saja mereka tak terlihat buru-buru untuk sampai ke pintu keluar. Setiap pembicaraan yang terlontar dari mulut keduanya, mereka menikmatinya. Sebenarnya, Mbah Tanto berusaha mengalihkan perhatian Jaka karena ia tahu benar bagaimana kondisi seseorang setelah 'diruwat' bahkan oleh makhluk astral.
"Dia anaknya rajin, agak pendiem. Tapi, belakangan diemnya dia beda, Mbah. Kaya bener-bener ... takut."
"Hmm, terus?"
"Pernah saya coba buat cari tahu, ada apa sama anak saya? Rabu kemarin saya nekat ke kamar dia tengah malam, dia udah tidur. Saya tungguin dia di sana kurang lebih 3 jam. Saya nggak merasakan apapun, jadi mungkin kalau saya gali lebih dalam bakal ketemu. Saya duduk di ranjang persis di samping dia, saya elus-elus kepala dia. Saya coba menyamakan frekuensi, nah ... dari sana baru ketemu akar permasalahannya."
Mbah Tanto menyimak cerita Jaka dengan seksama. Sepanjang pemaparan teman mudanya itu, ia hanya manggut-manggut tanda mengerti. Sebenarnya, ia tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berakhir. Tapi, ia tetap membiarkan Jaka bercerita dengan leluasa.
"Saya lihat ada tiga ritual berbeda tapi mirip dan itu semua berhubungan satu sama lain, Mbah. Yang pertama itu yang kejadian Rabu malam itu. Saya pernah tahu ritual itu, tapi waktu saya cari-cari literaturnya lagi ... nggak ada. Padahal, saya merasa tahu banget, Mbah. Sempet kejadian juga Andi kontak sama makhluk itu, semalem lebih tepatnya. Dia jatuh dari motor karena terganggu sama makhluk itu."
"Jatuh dari motor? Berarti serangannya udah secara fisik? Terus, gimana kabar anakmu sekarang, Ka?"
"Untung aja nggak ada yang serius. Tapi ... Mbah baca koran atau nonton berita hari ini nggak?"
Mbah Tanto berusaha mengingat kembali apa saja yang dilakukannya hari ini, apakah membaca koran atau menonton berita TV termasuk salah satunya? Sepertinya tidak. Hanya saja, semua orang di balaikota membicarakan satu hal yang sama sedari pagi.
"Mbah cuma denger ada kejadian besar di RS Islam Wonosobo."
"Nah! Kalau Mbah tahu, itu sebenarnya serangan, Mbah. Yang disasar kami berdua. Kejadian itu pas waktu saya jemput Andi setelah dia jatuh dari motor ...."
Jaka menceritakan seluruh pengalaman yang ia alami belakangan ini dengan sangat antusias, berharap menemukan sedikit pencerahan dari sang juru kunci Loji Gandrung. Sesekali, ceritanya terhenti dan berakhir dengan pertanyaan yang ia tujukan pada dirinya sendiri. Terkadang ia juga pemikirannya menemui jalan buntu, semua itu ia utarakan kepada Mbah Tanto. Hingga sampailah ia pada kisah yang dialaminya siang itu, di sebuah ruangan bunker bawah tanah dengan perpaduan energi yang unik dari masa lalu. Tak tertinggal satu detail pun dari pemaparannya, ia terus bercerita panjang lebar hingga melupakan kondisi fisiknya yang sebenarnya sudah semakin melemah itu. Beberapa tetes darah kembali keluar dari hidungnya, tapi ia langsung menyekanya dengan sapu tangan yang diberikan Mbah Tanto tadi.
"Jaka, kamu nggak akan kuat nyetir mobil dari sini ke Wonosobo sendiri. Apalagi katanya habis ini kamu masih ada urusan sama Pak Sekda sini. Apa kata dia nanti kalau lihat kamu yang jalannya aja udah sempoyongan kaya gini?" kata Mbah Tanto dengan nada menasehati.
"Saya akan bilang kalau saya nggak enak badan. Saya akan selesaikan urusan itu secepat mungkin, biar bisa segera pulang. Soalnya sekarang Andi nggak ada yang jagain di rumah," balas Jaka bersih keras.
"Jaka ...."
Astaga, Jaka sangat mengenali nada suara ini. Ya, jika orang tua sedang menghadapi anak muda yang keras kepala dan tak mau mengalah, biasanya mereka akan melakukannya alih-alih tersulut emosi. Kebijaksanaan memang datang seiring dengan bertambahnya usia.
Menyadari dirinya telah keliru, Jaka akhirnya mengalah. "Saya minta maaf, Mbah. Saya tahu saya itu sudah bersikap kurang sopan, saya ngeyel nggak mau nurut sama nasehat Mbah," lirihnya dengan tatapan bersalah.
"Baguslah kalau sadar. Kamu orang baik kok, Ka. Cuma kadang terbawa ego aja. Mari, Mbah bikinin kamu teh. Setidaknya kamu harus kelihatan lebih bugar dari ini kalau mau ketemu sama Pak Sekda."
Mbah Tanto menaiki anak tangga menuju permukaan, sedangkan langkah Jaka terhenti setelah sang juru kunci menyelesaikan kalimatnya itu. Ia tak habis pikir, bagaimana seorang manusia bisa memiliki pembawaan setenang air seperti beliau? Jaka harus belajar banyak darinya, atau setidaknya begitulah yang ia pikirkan.
"Baguslah kalau sadar. Kamu orang baik kok, Ka. Cuma kadang terbawa ego aja ...."