"Ibu.." Hana berguman lirih, menatap refleksi dirinya pada cermin besar salah satu kamar kediaman Tuan Kim.
Dia terlihat cantik dan mengagumkan dengan gaun berwarna putih pilihan Tuan Kim yang kini melekat ditubuh rampingnya.
Malam ini tepat acara pertunangan akan dilaksanakan, Hana merasa konyol, bertunangan dengan seseorang yang belum dia kenal sebelumnya? Ini seperti sebuah lelucon.
"Banyak hal berubah setelah kepergian ibu, aku tidak yakin mampu melewati semuanya. Ini bukan perkara mudah, ini masalah hati."
Bohong jika Hana tidak merasa terbebani, namun sebagai pihak yang telah mengambil keputusan tentu dia harus bertanggung jawab sepenuhnya.
Kim Mingyu.
Putra tunggal dari Kim Junki.
Pemuda itu berparas tampan dan juga memiliki postur tubuh yang kelihatannya cukup tinggi.
Hana mengetahuinya karena Tuan Kim sempat memperlihatkan foto putranya tersebut.
Mingyu sedikit keras kepala juga cenderung kasar namun sebenarnya dia pemuda yang cukup baik, setidaknya itu yang Junki katakan, tak menjawab rasa penasaran Hana atas dasar apa pertunangan ini dilaksanakan, mengingat Junki berharap penuh akan kelancaran acara malam ini.
"Aku tidak mengenal dia, aku juga belum pernah bertemu dengannya. Aku tidak pernah membayangkan akan menjalani kehidupan rumit seperti ini. Seandainya saja ibu masih berada disini, menemaniku.." lirihnya, seolah wanita yang telah mengantarkannya ke dunia ini berada disana.
Sekilas Hana memang terlihat sangat cantik, nampak memiliki sesuatu yang mampu menarik perhatian kaum adam dalam sekali pandang, namun jika melihat lebih dekat, kita tau sebenarnya dia adalah sosok gadis yang menyedihkan.
"Ibu, aku merindukanmu.."
°°°
Tuan Kim mengerjap, memandang Hana yang masih enggan berdiri dari posisinya berlutut, lelaki paruh baya itu menggeleng pelan. "Berdirilah." pintanya datar.
"Tidak, sebelum anda menuruti permintaan saya, Tuan." Hana tetap bersikeras.
"Kau tahu apa yang sedang kau lakukan saat ini, Hana-ya?" Bibi Lee memaksa Hana untuk berdiri, namun tidak dihiraukan.
Tuan Kim mencengkram pundak Hana, memaksanya berdiri.
"Apa kau yakin dengan ucapanmu?" tekan Tuan Kim, tatapan lelaki itu seolah penuh ancaman.
Hana tersentak, menyadari satu hal, ketika dia telah berkata YA maka detik itu juga dirinya telah resmi mengorbankan diri.
Rasa ragu sempat naik kepermukaan namun dengan cepat tertelan setelah teringat kondisi Ahra saat ini.
Demi Hana, Ahra sering kali berkorban, gadis itu sangat baik menganggap Hana layaknya saudara perempuan yang begitu berharga.
Hana tidak boleh egois, tetap membiarkan Ahra berada dalam situasi ini sama halnya dengan membunuh gadis itu secara perlahan.
"Ya, aku yakin." ucap Hana dengan suara tegas.
°°°
"Siapa namamu?"
"Park Hana, Tuan."
Mereka dalam perjalanan yang tidak Hana ketahui kemana tujuannya. Masih tak menyangka Tuan Kim menyetujui permintaannya, namun lebih dari itu Hana merasa bersyukur telah berhasil menarik Ahra keluar dari masalah ini.
"Dimana kau tinggal?" tanya Tuan Kim tanpa mengurangi konsentrasinya dalam mengemudi.
"Karena suatu hal, untuk sementara aku tinggal diapartemen Ahra."
"Kau menumpang?"
Hana ingin sekali menertawakan dirinya, menumpang?ㅡterdengar sedikit menyedihkan, tapi itu memang sebuah kenyataan. "Ya."
"Lalu dimana orang tuamu tinggal?"
Deg.
"A-ayah dan ibuㅡ"
Hana berusaha berpikir dengan tenang, namun kedua bola matanya yang bergulir panik itu mengacaukannya. Dia memejamkan mata sejenak, kemudian menghela nafas panjang.
"...mereka sudah meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu. Awalnya aku tinggal dipinggiran kota, karena mendapatkan beasiswa disalah satu universitas di kota ini aku memutuskan untuk pindah kemari."
"Aku turut berduka atas kepergian kedua orang tuamu." Tuan Kim bersimpati.
Hana tersenyum tipis menanggapi. "Aku sudah mulai terbiasa menerima keadaanku sekarang ini."
"Ah ya, kau punya kekasih?" seperti teringat sesuatu Tuan Kim reflek bertanya.
Jun.. batin Hana.
Gadis itu kemudian menggeleng kaku, tidak rela membohongi kenyataan mengenai hubungannya dengan Jun.
Raut wajah Tuan Kim seketika berubah cerah. "Bagus." gumannya puas.
"Seandainya kau sudah memiliki seorang kekasih maka maafkan aku jika hari ini harus menjadi hari terakhir hubungan kalian berdua."
Jun, maaf..
"Mulai saat ini jangan lagi memanggilku Tuan Kim."
Hana menoleh cepat, memperhatikan wajah cerah Tuan Kim, seolah sebagian beban hidupnya telah terangkat.
"Lalu aku harus memanggil anda dengan sebutan seperti apa?"
"Panggil aku ayah. Karena mulai detik ini kau sudah aku anggap sebagai putriku sendiri."
"A-apa?"
"Mengapa kau terlihat terkejut seperti itu?" Tuan Kim tertawa ringan.
"Tidak ada yang salah, Hana-ya. Karena sebentar lagi kau akan resmi bertunangan dengan putraku, Kim Mingyu."
"N-ne, tuㅡah, maksudku ayah." gagap Hana karena masih terasa asing dengan panggilan baru tersebut.
"Terima kasih."
"Untuk?"
"Kesediaanmu.."
Hana mengernyit tak paham.
"ㅡmembantu mempertahankan sesuatu milikku yang paling berharga di dunia ini."
°°°
"Kau sudah memiliki seorang anak dari Ji Seojoon, aku pikir kau akan mengalah." dari nada bicaranya, Tuan Kim nampak menahan emosi.
"Tidak. Aku menginginkan putraku, lagipula Seohyun masih terlalu kecil. Dalam waktu dekat ini aku membutuhkan seseorang untuk memimpin perusahaan kami di China." balas wanita bernama Hwang Mina ituㅡmantan istri Tuan Kim.
Mina telah menikah dengan lelaki bernama Ji Seojoon beberapa tahun yang lalu, mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Ji Seohyun yang kini masih berusia lima tahun.
"Seharusnya kau ingat, kau sendiri yang meninggalkan putramu." sindir Tuan Kim.
"ㅡbahkan Seojoon tidak menginginkan kehadirannya, sekarang dengan mudahnya kalian ingin membawanya pergi? Cih! Tidak akan aku biarkan."
Mendapat tatapan sinis Tuan Kim, Seojoon segera mengelak. "Kau menuduhku tanpa bukti, Junki-ya." ucapnya membela diri.
"Kau mengancam Mingyu saat itu, kau pikir aku tidakㅡ"
BRAKK!
"CUKUP!" sentak Mina.
"Jaga bicaramu! Jangan sekali-kali kau berani berbicara jelek tentang suamiku. Seojoon jelas jauh lebih baik darimu, Junki-ya."
"Sayang, tenanglah.." pinta Seojoon.
Hana disana hanya bisa terdiam menyaksikan pertengkaran sepasang mantan suami istri itu, sementara Seohyun menangis keras, terkejut mendengar teriakan Mina.
Seorang pelayan wanita tampak berjalan kearah mereka. "Tuan Kim dan nyonya Hwang, Tuan Muda Kim Mingyu sudah tiba."
Junki dan Mina seketika menghentikan perdebatan sengit diantara mereka, sedikit merapikan penampilan, mencoba bersikap biasa saja seolah pertengkaran barusan tidak pernah terjadi.
Dari arah pintu seorang pemuda berpawakan tinggi masuk kedalam, seorang pelayan wanita menyambutnya, mengantar menuju meja yang telah Junki reservasi.
Dengan balutan kemeja putih, senada dengan yang Hana kenakan, karisma pemuda yang tengah tersenyum manis itu terpancar semakin jelas.
Mingyu sudah mencium gelagat aneh ayahnya setelah dua minggu yang lalu dia ditugaskan pergi ke Jepang, mengurus cabang perusahaan disana.
Rencananya Mingyu akan berada disana selama satu bulan, namun baru dua minggu berlalu Junki memintanya kembali pulang, ada sesuatu yang harus mereka bicarakan katanya.
Ini aneh..
Mingyu baru tiba di restoran sesuai dengan alamat yang Junki berikan, dia tidak menyangka Mina dan Seojoon juga turut hadir dalam acara makan malam tersebut, sebenarnya cukup menyebalkan namun Mingyu berusaha bersikap sopan seperti yang selalu Junki ajarkan selama ini.
"Selamat malam ayah, ibu dan juga paman Seojoon." sapa Mingyu ramah.
Mina segera berdiri, menyambut Mingyu dengan pelukan hangat. "Sayang, bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja? Kau makan dengan teratur saat di Jepang kemarin 'kan?"
"Aku baik, Bu." jawab Mingyu, perhatian pemuda itu dengan cepat teralih. "Seohyun-ah, kenapa dia menangis?"
"Dia hanya haus. Sayang, berikan Seohyun air, dia kehausan." pinta Mina pada sang suami.
Mina jelas berbohong, sebelum Mingyu datang tadi dia yakin mereka sempat terlibat adu mulut, aura tegangnya masih dapat Mingyu rasakan dengan jelas.
"Kim Mingyu, duduklah." pinta Junki.
"Sebenarnya ada acara apa ini? Kelihatannya penting." tanya Mingyu yang mengambil posisi duduk disamping Hana, karena memang hanya ada satu kursi kosong yang tersisa.
Mingyu sempat menatap Hana sekilas, terkesan dengan wajah cantik gadis itu, membuatnya teringat pada seseorang yang tengah dia rindukan karena hampir dua minggu tidak bertemu.
Melihat sekilas, mereka tampaknya sama, sama-sama memiliki tubuh mungil.
"Aku belum pernah melihat dan bertemu dengan gadis ini sebelumnya." Mingyu meneliti penampilan Hana, kemudian beralih pada Junki. "Siapa dia?"
"Halo, namaku Park Hana." gadis itu mengulurkan tangannya dengan ragu.
Mingyu segera membalas. "Aku Kim Mingyu."ㅡdia tersenyum, Hana tidak yakin apakah Mingyu masih bisa tersenyum setelah ini.
Mingyu kagum merasakan lembut kulit permukaan tangan Hana juga jari-jarinya yang lentik. Riasan gadis itu tampak begitu natural, hanya polesan ringan namun tetap mampu memancarkan kecantikan Hana sepenuhnya.
"Apa kau menyukai gadis ini? Park Hana?" pertanyaan Junki membuat dahi Mingyu berkerut heran.
Menyukai?
Tentu saja Mingyu akan merasa senang memiliki kesempatan berteman dengan Hana, atau mungkin gadis ini yang akan menjadi sekertaris barunya di kantor?
Bagian itu 'kan sedang kosong.
"Hana akan segara menjadi tunanganmu." jelas Junki.
"Apa? Tunangan?!" Mingyu bertanya dengan suara keras juga raut terkejut, seolah dia telah salah dengar.
"Ya, untuk satu jam kedepan, aku sudah menyewa sebuah gedung, mengundang beberapa relasi bisnisku yang akan menjadi tamu penting untuk menghadiri acara pertunangan kalian." Junki menjelaskan tanpa peduli reaksi Mingyu yang mulai panik.
"KAU BECANDA?!" sentak Mingyu tidak sopan.
"Kalian mengerjaiku?! Ini sama sekali tidak lucu. Ini juga bukan hari ulang tahunku!"
Mingyu tahu ini serius, Junki tak akan melakukan hal bodoh hanya untuk mengerjainya.
"Aku serius." jawab Junki singkat.
Tidak. Tidak. Tidak!
Ini tidak bisa dibiarkan!
Mingyu tidak akan bertunangan dengan Hana atau siapapun malam ini. Karena dia sudah memiliki seorang kekasih yang teramat sangat dia cintai.
Tolong catat!
"Aku tidak mau."
"Aku tidak meminta kesediaanmu." timpal Junki menyebalkan.
Mingyu mendengus geli. Ini gila!
"Aku baru melihatnya beberapa menit yang lalu dan untuk satu jam kedepan kau meminta kami untuk bertunangan, lelucon konyol macam apa ini?!"
"Jadi.." Junki memberi jeda, menatap Mingyu dengan pandangan sebal. "ㅡdimana letak masalahmu?"
Mingyu mendelik marah, bicara dengan Junki membuat emosinya seketika meluap.
Mengapa lelaki tua ini gemar sekali memutuskan segala sesuatu seenaknya?
Mingyu bertanya dalam hati, apa masih ada hal lain yang akan membuat emosinya meledak setelah ini?
"Agar bisa saling mengenal lebih jauh, setelah pertunangan ini, bawa Hana tinggal bersamamu."
"APA?!"ㅡdan ternyata memang ada.
Tangan Mingyu terkepal erat dibawah meja, rahang terkatup rapat dengan gigi bergelatuk menahan mulutnya mengeluarkan segala makian.
"Beginikah caramu memperlakukan anak kita selama ini?" Mina menatap Mingyu prihatin.
"Tidak perlu ikut campur." balas Junki dingin.
Mina tersenyum remeh. "Aku ibunya. Apa kau mencoba melupakan fakta itu?"
Merasa Junki tak akan lagi menyela, Mina beralih pada Mingyu disana.
"Kalau kau memang tidak menyukai gadis itu, tidak apa-apa, kau tidak perlu memaksakan diri untuk bertunangan dengannya."
"Berhenti berulah, Mina-ya!" sentak Junki, sirat akan ancaman.
"Mingyu sudah dewasa, biarkan dia menentukan pilihannya sendiri. Kau memperlakukannya dengan buruk disini, aku tidak bisa melihat putraku menderita. Lebih baik Mingyu ikut tinggal bersamaku di China." Mina berucap sesuai dengan skenario yang dia buat.
"Tau apa kau tentang penderitaan putramu?" sindir Junki. "Dasar munafik.."
"Apa maksudmu?!"
"Sejak awal kau tidak pernah menginginkan kehadirannya."
Junki memiliki sedikit kekhawatiran akan reaksi Mingyu, putranya itu pasti akan teringat lagi pada kejadian pahit keluarga mereka dimasa lalu, namun Junki tidak memiliki pilihan lain karena Mina memiliki peluang besar disini untuk membawa Mingyu pergi.
Tinggal di China bersama Mina, kedengarannya menarik.
Ibu?
Mingyu tumbuh tanpa sosok itu.
Saat itu dia hanya sosok anak kecil yang belum mengerti arti perpisahan, dia hanya menginginkan kehadiran ibunya dan selalu berakhir dengan ancaman untuk menjauh, Seojoon sang pelaku.
Rasanya sampai saat ini Mingyu masih memiliki dendam pribadi pada lelaki itu. Tapi ah sudahlah.. kenangan pahit dimasa lalu tidak seharusnya untuk di ingat secara terus menerus.
"Sudah aku putuskan." suara Mingyu membuat mereka semua fokus memperhatikan.
"ㅡaku tidak akan bertunangan dengan Hana, aku juga tidak akan tinggal di China bersama ibu."
Mingyu merasa seseorang tengah menatap begitu lekat, dia menoleh, menangkap basah Hana disana.
"Kenapa kau hanya diam saja? Apa kau setuju begitu saja bertunangan denganku malam ini?"
Hana segera buang muka. "Aku tidak memiliki hak untuk menolak." jawabnya lirih.
Emosi Mingyu kembali tersulut.
"Aku sudah memiliki kekasih yang sangat aku cintai jika kau ingin tahu! Dan aku tidak mungkin berpikir untuk menghianaㅡ" Mingyu seketika bungkam, sadar telah melakukan sebuah kesalahan.
"Apa yang kau maksud dengan kekasihmu itu adalah gadis bernama Yuna?" suara Junki terdengar dingin menusuk, membuat Mingyu seketika merasa merinding.
Mau tak mau dia terpaksa mengangguk, tidak memiliki alasan yang tepat untuk menyangkal.
BRUAKK~
"Berulang kali aku katakan padamu untuk putus dengannya! Dia tidak lebih dari seorang gadis jalang! Kau sudah termakan oleh rayuannya!"
Mina terkejut mendengar bentakan Junki serta gebrakan keras meja yang ditimbulkan oleh lelaki itu, tak menyangka Junki akan semurka ini, sementara Hana terbelalak dengan mulut terbuka. Untung saja sebelum ini Seojoon sempat membawa Seohyun pergi, karena mungkin gadis kecil itu akan kembali menangis ketakutan.
"Aku sangat mencintainya." ucap Mingyu lirih, memilih mengalah demi Yuna, jika dia melawan maka sosok Yuna akan semakin terlihat buruk dimata Junki.
"Tahu apa kau soal cinta? Bahkan kedua matamu sudah buta oleh cinta gadis jalang itu dan parahnya kau tak kunjung menyadarinya." meskipun tidak lagi membentak suara Junki masih terdengar sinis.
Gadis jalang?
Mingyu merasa risih mendengarnya, itu terkesan sangat rendahan.
"Ayah tidak berhak menyebut Yuna sebagai gadis jalang." tekan Mingyu.
"Kenapa? Sebutan itu cocok sekali untuknya, untuk gadis dengan banyak kekasih seperti dia."
Tidak bisa lagi dibiarkan, ucapan Junki sudah sangat keterlaluan!
"CUKUPㅡ" Mingyu berdiri tanpa sadar.
"Ayah menfitnanya! Membencinya tanpa sebab yang jelas, apa salah Yuna? Katakan padaku!"
Junki ikut berdiri danㅡ PLAK!
"Junki-ya!" pekik Mina.
"Ayah, hentikan!" Hana menahan tangan Junki yang hampir melayangkan tamparan kedua.
Mingyu merasa hatinya teremas nyeri menerima kenyataan Junki yang baru saja melakukan kekerasan fisik padanya.
"Aku bahkan tidak berani menuduh seseorang jika tidak ada sebab yang pasti." suara Junki terdengar melembut.
"Kuberi kau pilihan, bertunangan dengan Hana atau tetap mempertahankan hubunganmu dengan Yuna dan lupakan kenyataan bahwa aku pernah menjadi ayahmu." ucapnya tegas.
"Junki-ya, apa yang kau katakan? Kau melukai perasaannya!" bentak Mina yang sudah berdiri disamping Mingyu, berusaha memeluk tubuh tinggi sang anak.
Melupakan kenyataan bahwa Junki pernah menjadi ayahnya?
Mingyu bahkan sudah lama tidak merasakan kasih sayang seorang ibu, dan sekarang haruskan dia kehilangan kasih sayang seorang ayah juga? Mengapa Junki tega sekali mengatakan hal itu?
"Bicaralah, sayang.." pinta Mina.
Mulut Mingyu hampir terbuka, namun tidak lama kemudian kembali terkatup, tidak tahu harus mengambil keputusan yang mana.
Situasi membingungkan ini membuatnya mengacak rambut dengan raut wajah frustasi tanpa sadar.
"Jangan kau pikir aku hanya menggertakmu, aku sedang tidak ingin bermain-main, Kim Mingyu." ucap Junki serius.
Mingyu tertunduk, menghela nafas panjang sebelum mengucapkan kalimat yang mungkin akan membuatnya menyesal seumur hidup.
Kedua matanya menatap lurus kedepan, pandangan pemuda itu tampak kosong.
"...aku akan bertunangan dengan Hana."
°°°
"Selamat datang.. Suatu kehormatan anda bisa memenuhi undangan dari kami." Junki tersenyum cerah mengiringi langkah tamu istimewanya.
Acara telah berlangsung hampir satu jam lamanya, Hana berharap ini akan segera berakhir.
Sedari tadi dia hanya berdiri kaku, memasang senyum palsu pada setiap para tamu yang Junki kenalkan membuat bibir dan pipinya terasa sakit.
Pandangan Hana beredar, tidak bisa menemukan sosok Junki maupun Mingyu dimanapun, dia berguman acuh menghampiri meja minuman untuk mendapat segelas air.
"Hana-ya, kemarilah sebentar.."
Hana mendengus, dia baru saja ingin bersantai sejenak, tidak bisakan Junki memberinya sedikit waktu?
Mengumpat pelan, gadis itu tetap mempertahankan posisinya membelakangi Junki disana tanpa niat segera berbaur.
Hana hanya belum siap memasang senyum palsu lagi, pikirannya tengah kacau akan keadaan Ahra yang belum dia ketahui, juga bagaimana menjelaskan keadaan ini pada Jun nantinya.
Merasa tidak bisa mengacuhkan Junki lebih lama lagi, Hana segera berbalik, namun sedetik kemudianㅡPRANK!
Tanpa sadar gelas yang dia pegang terjatuh dan pecah.
Jun.. bibir Hana berucap tanpa suara, sementara pandangannya terpaku hanya pada satu titik disana.
"Kau baik-baik saja?" Junki mendekati Hana dengan raut khawatir. "Apa tanganmu terluka?"
Untuk sesaat Hana tak dapat mendengar suara Junki. Kedua matanya hanya fokus pada sosok Jun.
Kebetulan macam apa ini?
Jun berada disini, menghadiri pesta pertunangan kekasihnya dengan orang lain.
Tidak dapat membayangkan bagaimana kacaunya perasaan Jun saat ini, Hana tidak dapat membaca apapun dari tatapan kekasihnya itu.
"ㅡbiar kulihat tanganmu!" suara Junki kembali terdengar setelah beberapa saat terasa menghilang ditelan rasa keterkejutan.
Hana menggeleng cepat. "Aku baik-baik saja. Tadi tanganku hanya sedikit licin." jawabnya asal.
Junki mendesah lega. "Lain kali berhati-hatilah. Aku tidak mau melihatmu terluka." peringatnya, yang segera dibalas anggukan Hana.
"Apa gadis ini tunangan Kim Mingyu?" tanya Jun datar.
Hana tersentak sementara Junki tersenyum cerah. "Ya. Perkenalkan, dia Park Hana."
Jun mengulurkan tangan. "Wen Junhui.. senang bertemu denganmu, Hana-ssi."
Bahkan kini mereka nampak seperti orang asing, Hana membalas jabatan tangan Jun dengan gerakan kaku.
"Aku tidak percaya Mingyu akan mendahuluiku." Jun tertawa ringan, mimik wajahnya sengaja dibuat pura-pura kesal.
Bagaimana bisa dia tetap setenang ini sementara Hana sudah ingin menjerit keras.
"Mingyu beruntung bisa mendapatkan pasangan seperti Hana, dia gadis yang manis." komentar Jun yang disambut tawa Junki.
"Ah, kurasa aku harus pergi lebih awal karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan. Untuk proyek terbaru yang sudah kita rencanakan, aku akan kembali datang ke perusahaan minggu depan untuk pembahasan lebih lanjut." ucap Jun sebelum undur diri.
Bahkan setelah status Hana resmi menjadi tunangan Mingyu, Hana masih tidak rela hubungannya dengan Jun berakhir.
Dia merasa sudah menjadi kekasih yang paling buruk di dunia. Aku mohon, untuk sementara biarkan saja segalanya berjalan seperti ini sampai waktu yang akan menjawab semuanya. Aku mencintaimu, Jun-ah..
-to be continued-
— Chương tiếp theo sắp ra mắt — Viết đánh giá