Benua Timur, East-Continent.
Terdapat suatu rumah yang berdiri di tengah-tengah pedesaan. Tembok batu mengitari sisinya, dan ada sebuah kolam air di belakang rumah megah yang memiliki tampilan seperti kuil. Ini merupakan bangunan bergaya tradisional khas negeri Timur.
Ada sebuah ruangan tertutup di dalam rumah itu, dan kamar ruangan ini sengaja dibuat sesederhana mungkin. Ada seorang kakek tua bersurai putih, dan nenek tua bersurai hitam, sedang duduk bersimpu di atas suatu alas tempat duduk [Zabuton].
Dinding ruangan itu terlapisi kayu tipis semacam kertas, dan kamar ini sengaja ditutup rapat. Meski hari masih siang, ruangan ini seolah tampak gelap. Hanya ada dua batang lilin yang menyala dan menerangi seisi ruangan.
Berada di hadapan mereka, seorang pemuda berambut hitam, tengah duduk bersimpu dengan membungkukkan punggungnya, dan wajahnya menghadap ke lantai. Pria ini mengenakan jubah biru khas clan mereka. Sebagai seorang penyihir muda berbakat, dia memiliki kemampuan dan kekuatan. Karena alasan ini, hari ini dia dipanggil untuk menghadap sang tetua ras penyihir, bangsa Exorcist.
"Tenwuu ... su-sudah saatnya k-kau yang mengambil alih kepemimpinan clan kita," ucap si kakek dengan suara yang renta.
Kakek bersurai putih ini bernama, Enwuu. Dia merupakan seorang tetua, alias derajat tertinggi dalam ruang lingkup ras penyihir. Kini, dia akan memberikan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin clan, kepada salah satu keturunannya langsung.
"Tetapi, apakah anda yakin? Paman saya, Wenwuu, lebih layak dibandingkan dengan saya yang masih minim pengalaman ini," jawab Tenwuu dengan nada rendah.
"... Kau memang ada benarnya. Namun, aku lebih memilihmu, cucuku. Ada banyak sekali alasanku memilihmu. Kau terpilih karena aku bisa memastikan sendiri kelayakanmu sebagai seorang ahli sihir. Hanya dirimu seorang yang bisa kupercayai untuk memegang tanggung jawab ini." Suara Enwuu terdengar begitu gemetar. Faktor usia sudah memengaruhi cara bicaranya.
"Kalau begitu, saya akan menerima kemurahan dan keputusan anda dengan senang hati, Kakek." Tenwuu masih menundukkan wajahnya, dan cara duduknya seperti seseorang yang sedang bersujud.
"Tenwuu, mungkin sudah saatnya kau mengetahui ini. Sebentar lagi, perpecahan clan kita akan terjadi. Sebelum itu terwujud, aku ingin kau melakukan sesuatu."
"Katakan saja padaku, Kakek."
"Batu sihir, 'The Heart Celestia' yang kau jaga, sudah tidak lagi dibutuhkan. Sebagai gantinya, aku ingin kau membawa batu itu menuju kekaisaran, dan menyerahkannya kepada seseorang dari kekaisaran."
"Alasannya?"
"Sebentar lagi, seseorang akan mengkhianati kita, cucuku. Dia akan membunuhmu untuk mencuri batu itu darimu. Kau tidak akan bisa mengalahkannya. Namun, jika kau membawanya ke perkemahan sementara milik kita di perbatasan, situasi akan berubah," jawab Enwuu dengan gemetar.
Tenwuu mengerutkan sudut matanya. Sorot keseriusan terlihat pada raut wajahnya saat ia mengangkat kepalanya. Dia menatap kakeknya dengan dingin. Warna biru matanya tampak menyala, dan memancarkan aura penuh tekanan. Tenwuu kemudian berkata,
"Apakah kakek telah menggunakan kemampuan terakhir untuk melihat masa depan?"
"... Ini bukanlah masa depan. Semua yang kulihat adalah bagian dari 'prisma kemungkinan tanpa batas' yang berada di luar jangkauan semesta kita. Ada pembatas antara lintas waktu dan realita, dan sesuatu mengatur semesta ini agar tetap berada pada jalurnya. Meskipun aku melihat masa depan sesuatu, belum tentu itu akan terjadi."
"Walaupun aku tidak mengerti maksudnya itu, aku akan melakukannya sesuai perintahmu. Namun, aku ingin bertanya beberala hal. Kepada siapa aku akan menyerahkan batu ini? Selain itu, aku bisa langsung menyerahkan batu ini kepada orangnya. Siapa orang yang anda pilih, Kakek? Dan mengapa aku harus membawanya ke perkemahan?"
"Ini akan menjadi ujian tersendiri untuk menentukan kelayakan terakhirmu, Tenwuu. Kaulah ... kau akan menentukan siapa yang pantas menerimanya, Tenwuu! Dia akan datang kepadamu. Orang ini telah merencanakan semuanya. Pastikan kau tidak bertindak gegabah ... pengkhianat ini tidak hanya ada dari pihak kita, Tenwuu."
Selepas menjelaskan itu, Enwuu mengeluarkan suatu gulungan kertas dari balik lengan jubahnya. Gulungan ini tersegel rapat oleh suatu pita perak. Enwuu kemudian menyodorkan gulungan kertas ini ke hadapan Tenwuu.
"Pastikan kau mengirim surat ini, dan datanglah ke perkemahan," sambung Enwuu.
"Aku mengerti!"
... ...
Seorang pria bersurai legam, terlihat sedang berjalan menyusuri koridor suatu istana kekaisaran. Beberapa susunan pilar batu penyangga bangunan mengisi sisi jalannya. Ada suatu penampakan kota besar jika melihat ke arah lorong jendela pada sisi lorong koridor, namun pria ini tetap melangkah lurus menuju suatu kamar ruangan di ujung jalannya.
Pria ini memegang harga diri yang tinggi, dan sorot wajahnya terlihat sangat percaya diri. Dia adalah sang ajudan kaisar, sekaligus salah satu dari petinggi organisasi, Romhean Cartez.
Pintunya yang berat, perlahan-lahan terbuka, memperlihatkan suatu ruangan megah nan indah di dalamnya.
Ada sebuah kursi singgasana di ujung ruangan, dan seorang pria bersurai hitam tengah duduk di atasnya. Dia adalah sang kaisar, Ichariuz Athilla.
Cartez kemudian menekuk salah satu kakinya, hingga lututnya menyentuh lantai, seraya tubuhnya membungkuk ke hadapan sang kaisar. Cartez kemudian berkata,
"Maaf atas kelancangan saya karena harus bertemu seperti ini."
"Angkat wajahmu, Cartez. Jelaskan padaku, apa alasanmu kemari?"
"Mungkin akan sangat terlambat mengatakan ini, namun saya sangat menyesal atas keputusan saya. Tuanku, dengan berat hati ... aku mengundurkan diri dari posisiku."
Ichariuz membelalak kaget. Pastinya dia sangat terkejut mendengar pengakuan ini dari seorang Cartez. Karena dia adalah orang terdekat bagi Ichariuz, dan telah berada di sisinya selama ini. Cartez sudah dia anggap seperti anaknya sendiri, dan membesarkannya dengan penuh tanggung jawab.
"Jelaskan padaku, Cartez."
"Tidak ada alasan khusus. Namun, saya bersungguh-sungguh atas keputusan ini. Sebagai buktinya, saya kembalikan pedang sihir pengutuk milikku."
Setelah Cartez meletakkan pedang dalam sarungnya ke lantai, dia beranjak bangun, dan berjalan meninggalkan ruangan kamarnya sang kaisar.
"Tu-tunggu ...."
Ichariuz benar-benar tidak bisa menghentikannya. Icahriuz merasa seperti terkhianati, dan hanya bisa pasrah merelakan kepergian orang terdekatnya.
... ...
[Beberapa Jam Setelah Cartez Mengundurkan Diri, dan Meninggalkan Wilayah Ibu Kota Kekaisaran.]
Bulan pada malam itu tampak setengah bersinar, gumpalan awan kelabu menyembunyikan pesonanya dari mata penghuni dunia ini.
Romhean Cartez memacu seekor kuda, yang membawanya menuju suatu tempat di dalam rindangnya hutan pepohonan. Wilayah ini berada dekat dengan perbatasan Timur, dan juga suatu kawasan terluar dari benteng yang menjaga perbatasan wilayah kekaisaran.
Tempat tujuan Cartez adalah suatu perkemahan sementara, yang sebagian ras penyihir pakai untuk melakukan suatu pertemuan antara bangsa Exorcist, dan pihak kekaisaran dalam mengadakan negosiasi.
Ras penyihir selama ini tidak pernah memberikan akses ke wilayah utama dari tempat tinggalnya. Sebagai aturan dari tetua lama, bangsa Exorcist tidak mengizinkan ras lain memasuki wilayahnya. Sedari awal terjalinnya kerja sama antara bangsa Exorcist, dan pihak kekaisaran Athilla, mereka selalu menjadikan tempat ini sebagai sarana pertemuan.
Setibanya Cartez di tempat tujuan, dia bagaikan melihat suatu ilusi yang terhampar di depannya. Dia melihat adanya rumah pondok yang dibangun di atas puncak-puncak pohon. Semua bangunan itu, terhubung melalui sejumlah jembatan kayu. Ada suatu tempat, dengan suatu jembatan sebagai penghubungnya, sehingga mereka bisa melihat suasana tempat ini tanpa perlu turun ke tanah.
Dari bawah pepohonan, ada beragam tenda kain putih, yang dibangun dengan pondasi kokoh. Jumlahnya tidak banyak, namun setiap tenda di sini punya kegunaan tersendiri. Beberapa orang terlihat mengisi sebagian tenda, dan memakainya hanya untuk menyimpan perkakas. Sebagian lainnya tinggal di atas rumah pohon, dan bagi mereka yang di atas kebanyakan sedang tiduran.
Ini pemandangan tidak biasa, namun juga menakjubkan.
Meski tempatnya sebesar ini, Cartez tidak terlalu melihat ada banyak penjagaan. Dia mengira, ras penyihir mungkin tidak perlu menurunkan banyak orangnya untuk datang kemari.
Cartez kemudian beranjak turun dari kudanya, dan langsung berjalan saja memasuki area perkemahan. Cartez kemudian menyingsingkan kerah lengannya, dan menyiapkan sesuatu di balik lengan pakaiannya.
Cartez melihat adanya sepasang pria berambut hitam yang sedang bermain adu ujung tombak. Melihat dari pakaian mereka yang mengenakan jubah tertutup berwarna biru, Cartez yakin kalau mereka berdua adalah bagian dari bangsa Exorcist.
Cartez kemudian merentangkan kedua tangannya menghadap bawah, dan ketika itu suatu ujung belati muncul keluar dari balik lengan pakaiannya.
Kedua penyihir yang bertugas menjaga halaman masuk perkemahan, masih belum menyadari adanya keberadaan Cartez.
Ketika kedua penjaga itu melihat Cartez sudah mulai mendekat, mereka berdua segera menghentikan permainannya. Mereka bisa melihat setelan khusus yang dikenakan Cartez, merupakan seragam formal khas kekaisaran. Mereka segera menegakkan badan, seraya memberi hormat, lalu menyapanya,
"Se—"
Belum sempat mereka menyelesaikan kalimatnya, suaranya tidak lagi bisa keluar, dan cairan merah mengucur dari tenggorokannya. Mereka segera menutup suatu luka di lehernya, sementara tubuh mereka lebih dulu tersungkur jatuh ke tanah. Tubuh mereka sekali mengejang, dan kemudian mereka tewas dengan matanya yang membelalak. Darah dengan cepat merembes, dan membasahi tanah di bawahnya.
Selepas Cartez mengayunkan kedua tangannya, dan menyayat tenggorokan kedua pria malang tadi, dia kembali menyarungkan sepasang belati pada masing-masing tangannya ke dalam lengan pakaian.
Ada semacam sarung tipis, serta tali karet yang menghubungkan belatinya dengan bagian pakaiannya. Cartez telah mendesain sendiri pakaian itu. Mekanisme pengambilan belati miliknya itu cukup mudah, jika dirinya menurunkan pergelangan tangannya, maka senjata itu otomatis akan turun keluar.
Tidak ada seorangpun dari penghuni perkemahan menyadari kematian rekannya. Bahkan, masih belum ada yang menyadari keberadaan Cartez di sana. Entah mereka sedang tertidur pulas, atau perhatian mereka tidak tertuju ke arah Cartez, tetapi tidak ada yang menyadarinya sama sekali.
Cartez masih berjalan lurus, meninggalkan kedua mayat tadi di sana. Dia menghembuskan suara napasnya yang tajam melalui mulut. Sorot wajahnya begitu dingin. Tidak ada emosi apapun yang terukir dalam raut wajahnya, seolah kematian kedua orang tadi bukanlah masalah berarti bagi seseorang sepertinya. Cartez terlihat seperti seorang berdarah dingin.
Suasana dalam perkemahan itu masihlah terlihat tenang dan damai. Beberapa obor sesekali meletikkan bara apinya ke udara, dan orang-orang di sana hanya mementingkan urusan pribadinya.
"Kau ...." Seorang pria bersurai hitam tiba-tiba terjun dari atas suatu pohon. Dan mendarat tepat di hadapan Cartez.
"Ada urusan apa bagi seorang High Executor sepertimu datang kemari?" sambungnya. Suaranya terdengar berat, dan sorot wajahnya seperti sedang mencurigai sesuatu.
Cartez berhenti saat mendengarnya. Dia lalu menyunggingkan senyum tipis, dan tangan kanannya sudah bersiap bergerak. Cartez kemudian menjawab selembut mungkin,
"Aku punya urusan dengan tuan Tenwuu-Ra. Apakah ada sesuatu yang salah?"
"Aku baru menyadarinya ... noda darah pada bajumu itu apa? Sepertinya itu masih terlihat basah, apa baru saja terjadi sesuatu?" Pria ini kemudian memicingkan matanya. Sorot keseriusan terpampang jelas pada wajahnya.
"Ah, maafkan kecerobohanku. Dalam perjalanan kemari tadi, aku bertemu dengan Unhuman liar, dan sisa darahnya masih menempel ternyata."
Pria berambut hitam ini menyadari sesuatu. Suasana sekitarnya mendadak menjadi sepi.
"... Kalau benar begitu, mengapa aku tidak melihat pedang sihir yang kau bawa? Bukankah itu benda wajib bagi para Executor, terlebih lagi bagi High Executor sepertimu?" Pria ini mengubah nada bicaranya menjadi semakin menekan.
"... Aku tidak membawanya bersamaku."
"Apa maksudmu?"
"Ada di dalam tas punggung kudaku. Aku meninggalkannya di sana bersama seorang pengawalku." Suara Cartez terdengar semakin dingin.
"Pengawal? Bolehkah kuperiksa?"
Cartez menyunggingkan senyum halus, seraya ia mengangkat sedikit dagunya. Dia lalu berkata,
"Ah, tentu, namun sebelum itu—"
"Hoi! Hoi! Hoi! Apa yang kau lakukan? Aku adalah pengawalnya! Apa-apaan sikapmu itu?" Suara keras dari seorang wanita muncul dari belakangnya Cartez.
Seorang wanita bersurai pirang, sedang berdiri seraya menyunggingkan seringai lebar, dan tatapan mata yang sangar. Namun, dia memiliki paras yang cantik meski ekspresinya terlihat menyeramkan.
Cartez sempat kaget, dan matanya membelalak. Tentunya dia tidak mengenal suara itu, namun suara itu bilang dia adalah pengawalnya.
'Si-siapa ...!?' Benak Cartez.
"Pedang itu!? Ma-maafkan saya!"
Pria berambut hitam ini sekali menundukkan kepalanya, kemudian undur diri setelah melihat pedang yang dibawa seorang wanita bersurai pirang itu. Pedang yang sedang digenggam dalam tangan kirinya merupakan pedang sihir, dan penyihir tadi bisa memastikannya melalui pancaran energi dalam sarung pedangnya.
"Hihi!" Wanita bersurai pirang ini tertawa, dan seringainya tampak lucu.
"Maaf mengganggu waktumu, tuan," sambung si wanita.
Kecurigaan pria tadi berhasil diredam berkat kedatangan wanita itu. Romhean Cartez kembali menahan diri, padahal dia hampir saja berbuat gegabah saat bersiap menurunkan kedua tangannya berniat menyerang.
Cartez mulai menenangkan dirinya. Dia lalu berbalik, dan menatap ke arah wanita bersurai pirang itu.
'Siapa wanita ini ...? Apa ada seseorang yang mengikutiku, dan mengetahui rencana ini?' Suara hati Cartez. Dia masih terlihat waspada terhadap wanita itu. Kedua tangannya bisa mengeluarkan belatinya kapan saja.
"Tenanglah, tuan! Kedatangku ke sini untuk membantumu! Kami sudah mengetahui tujuanmu selama ini serta rencanamu!" Suara penuh semangat dari wanita itu.
Wanita bersurai pirang itu tidak membuka mulutnya, dan malah menyunggingkan seringai tipis yang imut. Namun, suaranya barusan dapat terdengar jelas oleh Cartez. Ini adalah kemampuan milik wanita itu, suatu kekuatan yang mampu menghubungkan pikiran seseorang dengannya.
"Kau penyihir?" tanya Cartez dalam benaknya.
Wanita itu hanya tersenyum, dan tidak menjawab pertanyaannya. Namun, sesaat kemudian wanita itu berkata dalam benaknya,
"Aku adalah rekanmu, tuan!"
"Apapun tujuanmu, kalau kau mengusikku, aku akan menganggapmu sebagai musuhku. Enyahlah sekarang dariku ... anak kecil." Suara Cartez bahkan tetap terdengar dingin dalam benaknya.
"Ummmm ...!" Pipi wanita itu tampak menggembung dan memerah.
Cartez berbalik tanpa menghiraukannya lagi. Dia berjalan menuju tempat tujuan dan alasannya datang kemari.
Ada suatu tenda besar di tengah-tengah perkemahan. Beberapa prajurit berzirah, berjaga di area luar tenda. Obor-obor tampak menyala terang di area tengah perkemahan.
Dalam tenda besar itu, ada seorang pria berambut hitam yang sedang duduk menghadap dua orang pria kenalannya dari kekaisaran yang menjaga perbatasan.
Pria berambut hitam ini memiliki paras yang lembut, mencirikan kerendahan hatinya. Dia memiliki mata biru yang menyala, tanda khas seorang ras penyihir. Pria ini adalah Tenwuu-Ra.
"Jadi, siapa orang yang bertanggung jawab dalam penyusupan itu?" tanya Tenwuu-Ra kepada mereka.
"Kami masih belum menemukan titik terang masalah ini, namun sepertinya ada seseorang dengan jabatan penting dalam kekaisaran yang sengaja memasukkan semua senjata itu." jawab seorang pria berambut coklat kemerahan.
"Jadi begitu. Tentang pengiriman pedang sihir berikutnya, kurasa akan terjadi—"
Pertemuan mereka dikejutkan dengan kedatangan seorang Cartez di depan pintu masuk.
"Kau ...?" Suara halus Tenwuu saat menatap Cartez.
"... Tenwuu. Aku kemari untuk menemuimu," ucap Cartez dengan nada suara yang datar.
"Ada apa?"
"Aku kemari untuk menggantikan seorang utusan kekaisaran, Warryson Held. Dan menyampaikan perintah dari sang kaisar, perihal penyerahan batu sihir."
'Tunggu, bukankah ini terlalu cepat? Ada yang tidak beres di sini.' Suara benak Tenwuu.
Tenwuu masih bersikap tenang. Dia bahkan tidak menunjukkan ekspresi apapun meski telah menyadari kejanggalan ini.
"Siapa namamu? Wajahmu terlihat tidak asing bagiku," tanya Tenwuu. Dia masih menatap mata kosong dari tatapan Cartez.
"Romhean Cartez, perwakilan ajudan sang kaisar, sekaligus salah satu High Executor kekaisaran Athilla."
'Jadi begitu, ternyata dia ya? Aku mengingatnya, saat itu dia juga ada di dalam rapat itu.' Suara benak Tenwuu.
"Baiklah. Kalau benar begitu, berikan aku bukti bahwa perintah itu benar adanya. Aku tidak bisa memberikannya hanya atas perkataan seorang utusan semata saja. Setidaknya kau membawa jaminan bahwa perintah itu asli untuk bisa dibenarkan, bukan?" Tenwuu menjelaskan itu sesantai mungkin.
"Ah, tentu. Ini dia ...."
Cartez menurunkan lengannya menghadap ke bawah, dan ia mengeluarkan sebilah belati dari kedua tangannya. Segera, dia mengayunkan tangan kanannya ke arah leher Tenwuu. Serangan itu hampir menyentuh tenggorokannya, namun Tenwuu berhasil menahan dengan kedua pergelangan tangannya yang saling melipat ke samping lehernya. Cartez tidak membiarkan celah ini, tangan kirinya segera menikam perut Tenwuu hingga menembus kulitnya.
"A—apa-apaan yang kau--lakukan—"
Tenwuu memuntahkan cipratan darah dari mulutnya. Dan darah mulai merembes keluar membasahi jubahnya. Tenwuu segera menendang Cartez, sebelum dirinya beranjak mundur dari hadapan lawan.
Pada waktu bersamaan, ketiga rekan Tenwuu yang bersamanya dalam tenda, segera mengambil inisiatif untuk menyerang Cartez dari sampingnya. Mereka sudah menghunuskan pedangnya, dan bersiap menebas Cartez bersama teriakan penuh amarah.
Seketika itu juga dari bawah bayangan Cartez, melompat wanita bersurai pirang tadi sembari mengeluarkan katana-nya. Dia berhasil menepis ketiga serangan sekaligus, dan mementalkan mereka dengan kekuatan ayunan tangannya.
Wanita bersurai pirang ini lalu berbalik, seraya menyunggingkan seringai imutnya. Dia kemudian berkata,
"Masih meragukan bantuanku, tuan?"
"Kau ...? Mengapa!?"
"Kau tanya kenapa? Tentunya aku ingin menyelamatkanmu!"
"Bukankah sudah kubilang, aku tidak berniat bekerjasama dengan siapapun! Jadi percuma saja kau membantuku." Cartez masih bersikap dingin dengannya. Bahkan dia hanya melirik saja, tanpa mau menoleh ke arahnya.
"Kalau begitu, bagaimana jika dengannya?" Wanita itu menyeringai kesal atas jawaban Cartez.
"Hmm?"
Seketika semua obor api di luar tenda menjadi padam, menyisakan satu lampu minyak di atas meja dalam tenda itu. Udara dingin mendadak berhembus, dan kegelapan menyelimuti seluruh area perkemahan.
Semua orang merasakan aura kehadiran yang begitu kuat tengah mendekat ke arah mereka. Saking kuatnya aura keberadaan satu ini, membuat tekanan udara seakan menurun. Ini murni perasaan intimidasi yang begitu intens dan menakutkan.
Sesosok bayangan hitam berjalan dengan santainya, dan semua penyihir yang melihatnya seketika mengejang dan jatuh ke tanah. Semua prajurit di luar tenda berjatuhan, dan terkapar ke tanah dengan kondisi yang mengerikan. Sekujur tubuh dari jasad mereka seketika mengering, dan berubah keriput bagaikan mengalami pembusukan.
Tanpa Cartez menyadarinya, dia ikut merasa merinding. Sorot wajahnya berubah tegang, dan dia berada dalam posisi siaga. Dia mengeraskan genggaman tangannya yang masih memegang belati.
Ketiga orang pria rekan Tenwuu bahkan telah kehilangan kesadarannya, mereka terkapar tidak berdaya di atas lantai.
Sementara Tenwuu, sedang terduduk jatuh seraya ia menahan lubang lukanya. Dia sendiri bahkan merasa terkejut. Dia tidak bisa berkata-kata lagi akan situasi ini.
Suasana tempat ini berubah menjadi begitu menakutkan.
Cartez kini bisa melihat bayangan seseorang yang tengah berjalan menghampiri tempat mereka dari arah luar tenda.
Wanita bersurai pirang di sebelah Cartez kemudian beranjak mundur, dan memberi ruang untuk seseorang.
Detik itu, seseorang menyibakkan tirai tendanya dari luar. Seseorang yang sekujur tubuhnya terbungkus oleh jubah berwarna hitam berdiri menghadap Cartez. Aura kental akan energi menyelimuti orang ini. Dia kemudian mengangkat suatu tudung di atas kepalanya, dan memperlihatkan wajah di baliknya.
Cartez cukup terkejut saat melihatnya. Dia adalah seorang wanita berparas cantik, dengan kulit putih pucat. Surai rambutnya yang lembut berwarna hitam. Dan matanya yang hitam, menatap kosong ke arah Cartez.
Wanita bersurai pirang ini tidak menunjukkan ekspresi apapun, dan dia kemudian berkata,
"Aku sudah lama memerhatikanmu, Romhean Cartez. Izinkan kelompokku untuk ikut bergabung bersamamu."
Suara wanita ini terdengar lemah lembut. Bahkan nada perkataannya terdengar begitu serius dan tulus.
"A-apa-apaan itu? Siapa kalian ... sebenarnya?"
"Kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan diri ... kami adalah kelompok pembebas. Kau boleh memanggilku dengan nama, Noir."
"Kalau aku, Fyierra! Mohon kerja samanya, tuan!" ucap si wanita bersurai pirang. Dia menyunggingkan seringai yang lucu.
"Kelompok pembebas ...?" gumam Cartez berkeringat dingin.
Tenwuu masih tertunduk lemas, selagi dirinya diam-diam mengukirkan sihir perpindahan antar ruang. Tenwuu berniat meninggalkan tempat ini, selagi perhatian mereka semua tidak tertuju ke arahnya. Saat Tenwuu akan mengaktifkan sihirnya, efek dari lingkaran sihirnya rusak, dan energinya terhalang keluar.
"Ini ... penghalang sihir? Sejak kapan ...!?" gumam Tenwuu merasa semakin tertekan.
"Kau tidak boleh melakukannya, tuan. Atau aku akan membunuhmu," ucap Fyierra sambil memberi senyuman ramah, ekspresinya sangat berbanding terbalik dengan perkataannya barusan.
"Apakah aku harus melakukannya di sini!? Melawan mereka? Tidak ... aku tidak boleh gegabah. Sebentar lagi ... aku harus menunggu sebentar lagi." Tenwuu hampir berniat melakukan sesuatu, namun dirinya tertahan kembali.
"A-apa tujuan kalian berdua mengikutiku kemari? Apa maksudmu dengan ingin bergabung denganku barusan? Sejauh apa kalian mengetahuinya?" Romhean Cartez masih siaga dan waspada terhadap mereka.
"Seperti yang kubilang, izinkan aku dan kelompokku untuk ikut bergabung denganmu dan membantu rencanamu itu. Tujuan kami adalah tujuanmu, dan kami hanya menginginkan adanya kedamaian sepertimu."
Noir menjawabnya dengan ekspresi datar.
Saat itu, Cartez merasa menyadari sesuatu, orang di hadapannya kini juga memahami hal yang sama sepertinya.
"Noir ... kalian—"