Untuk sejenak Gina terdiam di tempatnya ketika mendengar perkataan itu terlontar dari mulut Suzy. Tidak peduli dengan Suzy yang mulai terisak, Gina masih dengan posisinya yang shock berat atas alasan apa yang sahabatnya berikan hingga keadaannya menjadi seperti ini.
"Suzy," panggil Gina. Raut wajahnya berubah menjadi datar, kemarahan merangsang adanya keseriusan di dalam dirinya. Kali ini, Suzy sangat keterlaluan. Bisa-bisanya gadis remaja itu mengurung diri, tidak makan hingga membuat banyak orang khawatir hanya karena satu orang.
Sang empu yang dipanggil, seketika menghentikan tangis tatkala Gina memanggil namanya dengan nada yang amat datar sarat akan kemarahan di dalamnya. Belasan tahun mengenal Gina, ia amat tahu tabiat sahabatnya itu ketika marah.
"Lu keterlaluan." Gina sengaja tidak langsung berbicara panjang untuk mengeluarkan seluruh kemarahan. Nafasnya naik turun tidak karuan, belum lagi kondisi tubuhnya yang kurang fit membuat kepala Gina balik diserang rasa pening.
"Cuman gara-gara satu orang, lu nyakitin diri sendiri sampe nggak makan."
"Cuman gara-gara seorang laki-laki berengsek, lu bikin banyak orang yang sayang sama lu khawatir sampe gua sendiri rela kesini demi diri lu."
"Cuman gara-gara orang yang baru beberapa bulan lu kenal, dengan teganya lu memperlakukan Ibu yang ngurus lu sampe segede ini, ngelahirin lu, nahan rasa sakit demi anaknya, berdiri selama berjam-jam di depan kamar berusaha biar anaknya mau makan!"
"Jatuh cinta boleh, tapi bego jangan."
Gina mengepalkan kedua tangannya dengan erat, matanya memerah disertai air mata yang berlinang. Entah karena sedih dan marah melihat Suzy yang segitu bodohnya hanya karena satu laki-laki berengsek, atau karena menahan sakit di kepalanya yang semakin terasa sakit.
BUGH!
Suzy terlonjak kaget dari tempatnya berbaring. Ia menatap takut ke arah Gina yang baru saja memukul bantal yang ada di sampingnya kuat. Menimbulkan suara pukulan yang sangat kuat. Badan Suzy bergetar takut, ia tidak menyangka bahwa Gina akan semarah ini kepada dirinya.
"G-gina ... " Mata Suzy berkaca-kaca ketika melihat Gina dengan mata yang memerah menatap dirinya dengan air mata yang mengalir deras.
"Udah berapa kali gua bilang kalau laki-laki itu nggak baik buat lu? BERAPA KALI!" Teriakan Gina terdengar sampai ke luar kamar, membuat Ibu yang sedang membersihkan tangannya terlonjak dan menatap khawatir ke atas tempat kamar putrinya berada.
"Sampe berbusa mulut gua bilang itu berkali-kali. Sekarang gua tanya, dari semua yang gua peringatin ke lu, adakah satu yang lu dengerin?" Gina terkekeh sinis, ia menyeringai. Merasa muak atas apa yang terjadi kali ini.
"Nggak ada, kan? Apa gara-gara alesan cinta lu bukan cuman kehilangan akal sehat? Pasti kuping juga udah nggak ada, kan?"
"GINA!!!" Kali ini gantian Suzy yang berteriak. Sungguh ia sangat tidak sudi direndahkan sedemikian rupa oleh sahabatnya yang ia tahu saat ini sedang dilanda api kemarahan yang berkobar-kobar.
"Lu nggak tau apa-apa tentang perasaan gua. Yang lu liat dari Buana cuman sisi negatifnya aja, nggak ada sekalipun lu ngeliat gimana sisi baik pacar gua," ucap Suzy lelah.
"Mantan," ralat Gina cepat. Salah satu sudut bibirnya terangkat, Gina sudah yakin bahwa Suzy salah satu dari sekian banyak orang yang bodoh hanya karena cinta.
Menyedihkan.
"Sekarang gua yang balik nanya ke lu, tau nggak alesan kuat gua bisa jatuh cinta sama Buana?"
Suzy sangat tahu bahwa Gina tidak tahu menahu tentang ini, jelas sekali dia belum pernah menceritakan apapun kepada sahabatnya itu soal alasan mengapa ia bisa jatuh cinta dengan Buana.
Dan dirinya juga yakin sekali bahwa Gina terlalu malas juga tidak peduli untuk mencari tahu alasan sebenarnya.
Bukannya terdiam dan merenungi kata-kata sahabatnya seperti tujuan Suzy di awal, Gina malah terkekeh sinis. Ia memutar bola mata muak, kemudian berkata, "Bukannya waktu pertama kali lu curhat ke gua soal Buana, lu bilang kalau cinta nggak perlu alesan?"
"Maksud lu mau balik ludah atau gimana ngomong gitu ke gua?" lanjut Gina dengan nada datar yang melekat.
Suzy yang mendapatkan ucapan seperti itu mencengkram kuat selimut tebal miliknya , berniat untuk menghentikan seluruh perkataan Gina agar diam, malah dia sendiri yang sekarang termangu.
Dirinya seperti mengacungkan pedang ke leher seseorang, tapi pedangnya seketika berbalik dengan sendirinya menusuk tepat di bagian jantung.
Suzy mengaku bahwa dia tidak dapat membalas perkataan gadis di depannya lagi, jelas saja ia sangat tidak pandai berdebat. Akan tetapi, ia juga tidak ingin Gina sampai merendahkan juga menghinanya seperti tadi, Suzy tidak terima.
"Lu nggak pernah pacaran atau ngerasain rasanya jatuh cinta, Gina. Lu nggak tau apapun dan jangan pernah menghakimi gua seolah lu pernah disakitin sama cowok yang lu suka!" Intonasi bicara Suzy mulai menaik.
Matanya berkaca-kaca, ia butuh pelukan, bukan sebuah amarah seperti ini. Ia ingin Gina datang ke sini untuk menenangkannya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja bahkan jika Suzy tidak bersama Buana lagi.
Gina menggeleng, kekehan sinis keluar lagi dari bibirnya yang sudah sangat pucat.
"Nggak perlu sampe berpengalaman dan ngerasain gimana rasanya buat ngeliat orang yang bener-bener bego, Suzy," balas Gina dingin.
Ia berusaha memfokuskan pandangannya saat kedua netra hitam itu mulai terasa kabur, rasa pening yang menghantui membuat Gina mati-matian menahan dirinya agar tidak ambruk sebelum Suzy sadar atas kebodohan yang telah remaja itu pupuk sejak lama.
Kedua bola mata Suzy menatap Gina lelah, ia sudah tidak kuat lagi ketika kata-katanya terus saja dipatahkan oleh sahabatnya tersebut.
Ia memang tidak pandai berdebat dan mengeluarkan kata-kata yang dapat membela dirinya. Tapi percayalah bahwa hatinya tidak bisa menerima apa yang Buana lakukan. Hatinya yang tahu semua, menggerakan tubuhnya juga segala perbuatannya.
"Gina, Stop! Memang sekarang ini lu ngeliat gua beneran sebagai orang paling bodoh di dunia, orang yang diperbudak oleh cinta atau apapun itu. Lu kira selama ini gua mau ngerasain jatuh cinta sampe segininya? NGGAK MAU, GIN. NGGAK MAU!"
Nafas Suzy terus saja terengah tak karuan, perasaannya saat ini sudah tidak bisa dijabarkan lagi, kacau. Ia seperti kehilangan arah dan tidak bisa mengendalikan isi hatinya.
"T-tapi Buana itu bisa ngisi sisi kosong gua yang bahkan lu, atau semua orang terdekat gua nggak bisa lakuin." Air mata Suzy jatuh dengan derasnya, membuat mata yang sedari tadi diliputi amarah perlahan membengkak.
"Mungkin bener apa kata lu kalau Buana itu nggak baik buat gua. Tapi sekali lagi gua tanya, emang lu tau apa, Gina?"
"Lu tau nggak gimana gua ketemu Buana pertama kali? Lu tau nggak sikap dia, perlakuan dia, apa yang dia kasih ke gua?" Kali ini balik Suzy yang terkekeh dengan sinisnya. "Nggak tau, kan?"
"Ada sebuah cahaya di balik semua sikap gelap Buana buat gua. Dan itu udah lebih dari cukup buat gua bertahan dan terus berjuang. Gua terus berusaha buat bikin Buana seratus persen cinta sama gua tanpa syarat."
"Dengan sebuah cahaya itu, hati gua terus menuntun, berharap bisa semua sikap jelek dia ke gua sirna." Jika beberapa waktu lalu intosanasi suaranya menaik, kali ini hanya lirihan lah yang terlontar dari mulut Suzy.
Dengan kondisi yang semakin melemah, Gina masih tetap mendengar ucapan Suzy walau perlahan telinga miliknya mulai terasa berdenging. Gina menghela nafas dalam, mencoba mengumpulkan energinya untuk membalas perkataan Suzy.
"Lu terlalu sibuk ngikutin hati lu, tanpa ngegunain otak barang sedikit. Itu kenapa lu bisa jadi kayak gini, Suzy," tutur Gina sebelum pengelihatannya direnggut oleh kegelapan. Tanda bahwa ia sudah menyerah dari usahanya berjuang menahan rasa sakit.
Aku harap kalian beneran meresapi dialog antara Gina sama Suzy ini ya:) ambil yang baiknya buang yang buruknya, semoga kalian suka^^ sampai jumpa di chapter selanjutnya ❤️ Btw, jangan lupa tinggalin jejak ... hehe^^