Malam itu, Naura merasakan dadanya begitu sesak, setelah menangis puas di bawah guyuran air dingin. Perasaan hati yang kacau, rindu akan dunia luar, rindu dengan Hanin. Semua perasaan menyerang dirinya sendiri, seperti ingin melenyapkannya dalam sekejap.
Naura mengeluarkan semua airmata, rintihan, keluhan, di bawah guyuran air dingin setelah mengetahu Delice tidak berada di dalam mansion. Naura ingin membuat hatinya lega, tapi yang terjadi malah sebaliknya.
"Sesak, sakit, hati, tubuh, semuanya terasa sakit. Aku ingin bebas dan ingin hidup secara normal," rintihnya dalam tangis yang menyatu menjadi sebuah irama.
"Ayah, demi sebuah uang, kau hancurkan aku! Kau pisahkan aku dengan Hanin. Apa kau masih pantas untuk ku panggil Ayah? Dulu, kau selalu menggendongku di atas pundakmu. Kau selalu berlari jika aku minta untuk lari, kenapa sekarang kau menginjak leherku, Ayah? Kenapa?" teriak Naura, melegakan kemuakan yang terpendam di hatinya.
TOK... TOK... TOK,,,
"Nyonya, apa Anda sudah selesai?" tanya Olin dari balik pintu.
"Olin, kau tidak perlu menungguku. Kau bisa istirahat lebih awal. Aku masih ingin berlama-lama di sini," jawab Naura.
"Tapi Nyonya..."
"Olin, tolong kali ini saja. Biarkan aku sendiri, oke!" pinta Naura dengan nada yang begitu memelas.
"Baiklah, Nyonya! Kalau ada perlu apa-apa, Anda bisa memanggil saya," akhirnya Olin membiarkan apa yang ingin di lakukan oleh Naura.
"Nyonya, Anda tidak tahu kekejaman Tuan. Sejak ada Nyonya, penjara bawah tanah tidak lagi terdengar rintihan, bahkan satu per satu tahanan di lepaskan. Bertahanlah Nyonya! Sebentar lagi, Tuan pasti bisa belajar untuk menyampaikan perasaannya dengan benar," batin Olin sembari menutup pintu kamar Naura.
"AAAAAARRRRRRRHHHHHHHH... Kalau aku mati, ketakutan, kesakitan, pasti hilang bukan? Apa lebih baik aku mati saja?" teriak Naura.
Di balik pikirannya yang putus asa, Naura kembali teringat pada Hanin yang masih berumur 10 tahun. Naura menggenggam erat tangannya dan merasa hidupnya seperti tidak memiliki sebuah pilihan.
"Kalau sekarang aku mati, mungkin sakit ini akan lenyap bersamaan dengan tubuhku yang akan melebur dengan tanah. Tapi, bagaimana dengan Hanin? Bagaimana kalau Delice menargetkan Hanin untuk membalaskan rasa kesalnya padaku yang memilih mati dari pada bersamanya?" pikiran demi pikiran yang muncul seperti sebuah racun untuknya.
"Ayah, aku harusnya membencimu. Tapi, apa yang aku lakukan? Aku malah mengingat masa kecilku, dimana kau merelakan makanan yang hanya tinggal satu suap untukku. Kau rela kelaparan hanya demi aku. Sekarang, kenapa kau berubah Ayah? Kau menjualku seperti barang rongsok yang harus di daur ulang oleh pemilik yang baru. Kau benar-benar sangat mengecewakanku!" gumam Naura.
Naura mengambil handuk yang sudah siap di dalam kamar mandi. Setelah semuanya lega, meskipun menyesakkan dada, Naura keluar dari kamar mandi.
"Hmmmmm? Siapa yang meletakkan makanan di sini? Masih hangat. Apa Olin yang meletakkannya di sini?" batin Naura setelah melihat sepiring makanan yang tertata dengan indah terletak di atas meja.
Naura tidak menghiraukan makanan itu. Naura mengganti pakaiannya, dan mengeringkan rambutnya. Makanan itu seperti memanggil Naura untuk mencicipinya. Tangan Naura sudah mulai mengiris daging dan munusuknya dengan garpu.
"Nyonya, jangan!" teriak Olin yang baru saja membuka pintu kamar Naura.
"Hmmmm?" Naura mengernyitkan kedua alisnya, lalu meletakkan kembali makanan yang belum sempat di jilatnya.
Olin memeriksa makanan itu dengan pendeteksi racun. Mata Olin melotot dan melihat ke arah Naura. Naura yang bingung dan tidak mengerti dengan apa yang Olin ketahui, hanya membalas tatapan mata Olin.
"Nyonya, makanan ini beracun!" ucap Olin dengan gugup.
"Maksudmu, ada orang yang ingin membunuhku?" tanya Naura.
"Benar Nyonya! Nyonya harus ingat, jangan makan makanan apapun, kecuali itu adalah pemberian dariku!" pinta Olin.
"Iya Olin!" Naura tidak ingin merepotkan atau membahayakan Olin yang selalu baik dan perduli padanya.
***
Delice hanya tidak pulang dalam semalam, bukan tidak pulang dalam 3 hari. Dokter Jean sedang mengambil cuty, tapi Delice pulang dalam keadaan berlumur darah. Delice terluka, tepat di pundak dan lengannya.
Saat suasana memburuk, tidak ada yang berani bertanya ataupun mendekat. Delice juga mengabaikan lukanya yang terus mengeluarkan darah.
"Dasar, bandit sialan!" maki Delice.
Naura yang saat itu hendak duduk menikmati taman di depan mansion, melihat kondisi Delice yang sangat memprihatinkan.
"Nyonya, jangan!" cegah Olin saat Naura berniat menghampiri Delice.
"Olin, dia bisa mati kalau di biarkan seperti itu! Darahnya terus mengucur keluar," ucap Naura. Naura tidak mengetahu apa yang di rasakannya, selain khawatir dan ingin Delice tetap hidup.
"Nyonya tunggu di sini! Saya ambilkan air hangat dan juga kotak obat," Olin lalu bergegas.
Naura tidak mendengarkan apa yang di ucapkan Olin. Naura sama sekali tidak memperdulikan hidup dan matinya. Naura terus berjalan mendekat ke arah Delice. Saat ini, Naura sudah berdiri di depan Delice.
"Bagaimana mungkin, Anda bisa terluka seperti ini Tuan?" hati Delice terenyuh mendengarkan pertanyaan Naura, di tambah lagi Naura sampai menangis mengkhawatirkannya.
"Kau khawatir padaku?" tanya Delice.
"Tidak!" elaknya.
Olin membawa air hangat dan sekotak obat. Naura meminta Olin untuk meletakkannya di atas meja.
"Tuan, bisakah Anda berjalan ke kamar? Aku akan mengobati Anda di sana," pinta Naura.
Ketakutan Naura hilang saat melihat Delice tidak menolak dan tidak mencegah apa yang mau di katakan olehnya, seperti hari-hari kemarin.
"Aku masih sanggup, bahkan dengan menggendongmu. Luka seperti ini, bukan apa-apa bagiku!" benar saja, Delice mengangkat tubuh Naura dengan satu tangannya yang tidak terluka seperti mengangkat seuntai kapas.
Olin mengikuti langkah Tuannya menuju kamar dengan membawa sekotak obat dan air hangat. Sesampainya di dalam kamar, Naura di turunkan di atas sofa. Olin meletakkan barang yang di bawanya lalu keluar dari kamar Tuanya.
Bisakah Anda duduk, Tuan? Aku akan mengobati lukamu!" pinta Naura.
"Aku tidak mengijinkannya!" jawab Delice.
"Tuan, tapi luka Anda..."
"Aku bilang tidak, sudah pasti tidak!"
CUPPP...
Naura tidak memiliki pilihan lain kecuali mencium pipi Delice supaya hatinya melunak. Rencana Naura berhasil. Delice duduk dengan patuh.
"Apa kau sedang menggodaku?" tanya Delice. Delice memegangi tangan Naura yang sedang melepaskan kancing kemejanya.
"Tuan, aku ingin melepaskan kemeja Tuan, supaya bisa di ganti dengan pakaian yang bersih," jawab Naura dengan tatapan yang penuh dengan rayuan.
"Apa begitu sulit melepaskannya?" tanya Delice. Tangan Naura yang panas dingin dan gemetaran, membuatnya kesulitan untuk melepaskan kancing kemeja yang di pakai Delice.
"Iya!" jawab Naura. Delice melepaskan kemeja yang di pakainya dan menampakkan otot-otot keras, dan tubuhnya yang terbentuk dengan sangat indah.
Naura membersihkan lukanya terlebih dahulu, lalu memberikan obat dan beberapa saat mulai menjahit luka tebasan yang menganga.
"Uhhhhhh," rintih Delice dengan lirih.
"Apa sakit?" tanya Naura yang terkejut karena seorang Delice bisa merintih.
"Tidak! Apa sudah selesai?
"Sudah. Anda tinggal memakai baju bersih istirhat," ucap Naura sembari membershkan tubuh Delice dari sisa darah.
"AAAAAHHHHHHHHH..." Delice tiba-tiba mengangkat tubuh Naura untuk duduk di pangkuannya.
"Bisakah kau mengkhawatirkanku setiap hari?" pinta Delice.
"Tentu!" jawab Naura.
"Naura, ter... Ter... Ter... Ah sudahlah, aku mau tidur. Kau jangan menggangguku!"
"Dia bisa berwajah merah juga?" batin Naura.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA"