Tải xuống ứng dụng

Chương 42: Keluhan

Setelah selesai mengatakan itu, dia menoleh ke arah bibinya.

Sasa dengan penuh semangat berkata "Fira, bibimu ini datang kemari untuk memperkenalkan seseorang pada ibumu. Biar kutunjukkan. Pria ini seorang bos. Dia punya sebuah pabrik kecil yang bergerak di bidang bengkel. Aku akan menunjukkan fotonya. Dia orang yang tampan."

Setelah selesai mengatakan itu, dia dengan antusias membuka ponselnya dan menunjukkan sebuah foto.

Fira mencibir saat melihatnya "Apa bibi bermaksud menipuku? Apa bibi ingin aku membawa bibi ke poli mata?"

Pria itu pendek gendut dan jelek, yang benar-benar membuatnya jauh dari tampan.

Yuni menarik tangan Fira dan mengisyaratkan padanya agar menahan lidahnya yang tajam itu.

Sasa menunjukkan ekspresi muram, "Fir, ibumu ini bukan gadis muda lagi, jadi bagaimana mungkin dia bisa begitu pilih-pilih? Lagipula, dia juga harus menghidupi tiga anak. Pria ini cukup kaya, dengan pabriknya dia bisa menghasilkan uang milyaran rupiah. Karakternya juga tidak buruk."

Fira menatap bibinya dengan dingin "Kalau memang dia adalah kandidat yang sangat bagus, kenapa bibi tidak memperkenalkanya pada Melani dan dengan begitu bos kecil itu bisa meminjamkan uang pada Raka untuk membeli rumah. Bukankah itu artinya mendapatkan dua hal dengan satu tindakan?"

"Fira, apa yang kamu bicarakan?" Wajah Sasa memerah karena marah.

Fira hanya mengangkat bahunya "Apa aku salah? Bukankah Bibi yang bilang sendiri kalau dia sangat kaya. Lalu kenapa? Kalau memang dia sekaya itu, perkenalkan saja pada Melani, kenapa harus memperkenalkannya pada ibuku?"

"Fira, ibumu sudah bercerai dan punya anak. Bagaimana mungkin kamu bisa membandingkannya dengan Melani?"

"Oh, kalau pria itu tidak cukup baik untuk Melani, itu artinya pria itu tidak sebaik itu. Ibuku tidak menyukai orang seperti itu, jadi bibi tidak perlu menjodohkannya dengan ibuku."

"Bagaimana caramu membesarkan anak ini?" gerutu Sasa.

"Bukankah bibiku sudah tahu dengan jelas tentang temperamenku? Kalau bibi memang tidak suka mendengarku mengatakan ini, jangan datang ke rumahku! Sudah bertahun-tahun bibi tidak datang kemari. Kenapa belakangan ini bibi selalu berurusan dengan keluargaku? Apa bibi mengkhawatirkan keuangan keluargaku? Kukatakan saja dengan jelas, bibi tidak perlu khawatir. Aku tidak akan meminjamkan uang itu!"

Sasa merasa sangat marah matanya memerah, "Yuni, lihat saja putrimu itu. Lihat dia! Dia benar-benar tidak punya hati nurani,"

Fira menatapnya dengan sorot mata dingin, "Apa aku harus memberitahu bibi siapa yang tidak punya hati nurani? Lebih dari sepuluh tahun, bibi selalu menghindari keluarga kami seperti wabah penyakit. Bibi-lah yang tidak punya hati nurani,"

Sasa mulai merasa takut padanya. Gadis itu berlidah tajam dan tak bisa dilawannya.

"Yuni, pikirkan baik-baik apa yang kukatakan. Kamu sudah tahu semuanya, kan. Kamu juga sangat jujur. Jadi, apa kamu tahu tentang yang kutanyakan tadi?"

Melihat wajah Fira yang berubah jelek, dia segera menghentikan ucapannya itu dan melarikan diri dengan tergesa-gesa.

Yuni memandang Fira, "Dia masih orang yang lebih tua dan patut dihormati. Kamu tidak boleh melakukan hal seperti ini lagi di masa depan, mengerti?"

"Orang tua yang patut dihormati itu seperti Pak Anto. Aku tidak akan mengakui bibi sebagai orang tua yang pantas dihormati. Bu, aku ini orang yang baik dan tidak mau menjadi orang yang kasar. Tapi kalau aku memperlakukan orang baik dan orang jahat dengan cara yang sama, bukankah itu tidak adil bagi orang yang baik?"

"Ibu tidak menyalahkanmu, tapi kurangi lidah tajammu itu. Kamu juga akan terjun ke tengah masyarakat di masa depan. Kalau kamu berbicara seperti itu kepada kolega atau atasanmu..."

"Aku bisa mengaturnya, Bu. Aku tahu apa yang harus kukatakann. Jangan khawatir tentang itu,"

Yuni menarik Fira ke dalam ruangan, lalu dia mulai bicara, "Fira, maukah kamu, kamu... meminjamkan sedikit uang untuk pamanmu?"

Fira berteriak, "Bu!"

Suaranya gemetar.

Yuni tahu bahwa dia telah membuat putrinya itu tidak senang lalu dia melanjutkan dengan suara pelan, "Kamu... bibimu tadi bilang kalau calon mempelai wanitanya tidak punya rumah setelah menikah, dia tidak mau menikahi Raka... jadi..."

"Jadi, apa? Apa artinya paman dan sepupuku itu?"

Bab 84 Luka

"Bu, ingatanmu memang buruk. Aku akan mengingatkanmu lagi. Sebelas tahun yang lalu, keluarga kita tidak punya tempat tujuan. Saat itu musim hujan. Setelah tinggal di rumah mereka selama tiga hari, Yudha memecahkan mangkuk saat makan. Bibi memarahi Yudha. Berapa lama bibi akhirnya diam? Sepanjang malam bibi mengutuknya, dan paman, apa dia membujuk bibi untuk melupakan hal itu? Apa dia mengatakan sesuatu untuk kita? Apa ibu tidak ingat apa yang paling ditakuti Yudha? Esok paginya hujan masih turun dan udaranya sangat dingin. Aku membawa mereka keluar rumah. Kami sangat kedinginan diluar tapi setidaknya kami tidak mendengar makian atau suara marah bibi lagi. Selama sebelas tahun, keluarga mereka menghindari keluarga kita seperti wabah penyakit. Aku tidak akan meminjamkan uang itu pada mereka. Alasannya adalah karena Yudha dan Yudhi membutuhkan uang itu untuk pengobatan mereka. Selain itu, aku akan selalu mengingat penghinaan yang mereka lakukan. Bu, ibu mungkin menganggapku suka menyimpan dendam dan aku harus mengakui kalau itu mungkin benar. Tapi, aku merasa marah setiap kali mengingat perlakuan mereka yang buruk kepada kita. Aku tidak bisa memandang mereka sebagai orang baik."

Yuni berkata pelan "Maafkan aku, Fira. Ibu tahu seharusnya ibu tidak boleh berhati lembut."

Fira duduk di meja dengan tatapan kosong, dadanya dan matanya terasa sakit. Dia berkata dengan lesu, "Bu, aku agak lelah sekarang. Aku ingin beristirahat. Tolong jangan ganggu aku untuk sementara waktu, oke?"

Setelah dua hari tidak melihat pria itu, Fira mulai merindukan Ardi.

Karena kalau Ardi ada di sana, dia tidak perlu harus berkelahi secara langsung.

Selama dia berada di sisi Ardi, dia merasa nyaman. Meski langit akan runtuh, dia tidak perlu khawatir tentang itu.

Ketergantungan akan menghasilkan kelembaman. Hatinya terasa dingin dan rasa dingin itu menjalar ke telapak tangannya. Dia memeluk lututnya sendiri dan berusaha menenangkan hatinya.

Dia berulang kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak boleh mengandalkan orang lain.

Semuanya bergantung pada dirinya.

Di malam hari, dia melakukan panggilan video. Saat itu, di tempat Ardi sudah pagi. Dia sedang minum kopi di depan jendela Prancis, mengenakan seragam dengan lencana penerbangan di dadanya, dan Bagas sepertinya sedang melaporkan sesuatu.

"Kamu kenapa? Luka?" Tangannya secara naluriah terulur, seolah ingin menyentuh keningnya.

Fira tidak merasakan sentuhannya. Dia hanya menemukan layar yang dingin.

Orang itu tidak ada di depannya. Dia berada di tempat lain yang jaraknya puluhan ribu kilometer dari sini.

Fira menyentuh lukanya dengan ringan, "Tidak apa-apa, ini bukan masalah besar,"

Dia menyesap kopinya, dan suaranya terdengar rendah "Apa aku harus mengirimkan pengawal kesana?"

Fira menggelengkan kepalanya, "Ah? Tidak ... tidak, ini bukan karena berkelahi. Aku hanya tidak sengaja menabrak pintu. Ada bagian pintu yang tidak rata dan membuat keningku jadi luka,"

Pengawal itu pasti akan mengikutinya 24 jam sehari. Dia tidak ingin pengawal itu datang.

Bagas terlihat membawa banyak materi disana.

"Apa kamu sibuk dengan pekerjaan? Kalau begitu, aku tidak akan mengganggumu."

"Dua puluh menit sebelum meeting. Meeting itu diadakan di aula seberang, dan aku hanya butuh waktu lima menit untuk tiba disana. Meeting itu Persatuan Penerbangan Internasional."

Itu artinya, dia punya waktu sepuluh menit untuk mengobrol dengannya.

Tapi Fira salah sangka saat mendengar itu, "Kalau kamu begitu sibuk, aku akan menutup teleponnya sekarang."

Setelah mengatakan itu dan menutup teleponnya, Ardi berhenti bergerak dan melirik Bagas.

Bagas, yang sedang menyortir informasi, menghentikan gerakan tangannya, "Kapten, apa keberadaanku mengganggu Anda?"

"Kamu tahu? Apa kamu sengaja melakukannya?"

Bagas tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa waktu.

"Ah, saya baru menyadarinya, bagaimana mungkin saya sengaja melakukannya?"

Tapi Ardi sudah bangkit dan melangkah keluar.

Bagas buru-buru mengikuti di belakangnya dengan sejumlah informasi "Kapten, saya tidak bermaksud begitu. Saya pikir Anda dan Fira adalah pasangan yang cocok. Saya dengan tulus mendoakan kalian berdua."


Chương 43: Yudha memenangkan Penghargaan Olimpiade Matematika 

Di meja makan, Yudhi masih menatap ponselnya, dan tiba-tiba saja berteriak, membuat Fira merasa sangat terkejut, "Kamu membuatku takut, kenapa kamu berteriak?"

"Ada pesan teks yang dikirimkan guru kami,"

"Memangnya ada apa?"

"Yudha baru saja memenangkan penghargaan."

Fira dan Yuni buru-buru membungkuk untuk melihat ponselnya "Apa maksudmu Olimpiade itu?"

"Ya, dia memenangkan kompetisi itu."

"Seberapa besar skala persaingannya, tingkat kecamatan atau tingkat kota?"

"Nasional."

Fira terkejut dan menoleh untuk memandang Yudha, yang balas memandangnya dengan malu-malu, dan tersenyum ke arah Fira.

Fira memeluk kepalanya "Apa ternyata Yudha kita begitu pandai?"

Di kehidupan Fira sebelumnya, Yudha tidak pernah menjadi juara Olimpiade. Apa ini terjadi karena dia mengubah lintasan hidupnya setelah dia dilahirkan kembali? Dan karena Yudha tidak lagi merasa khawatir, maka dia jadi lebih bisa berkonsentrasi pada studinya?

Ini bagus.

Semuanya perlahan membaik.

Yudhi menepuk punggung adiknya, Fira melepaskannya, dan mengusap wajahnya lagi "Kamu hebat."

Yuni begitu bersemangat sehingga dia menyeka tangannya dan mengambil ponsel itu untuk membaca pengumumannya dengan lebih cermat.

"Guru kalian juga mengatakan akan ada upacara penghargaan besok malam."

Yudha mengangguk.

"Oh, apakah Yudha punya baju formal? Sepertinya tidak."

Fira berkata pada ibunya, "Besok aku akan membawanya ke mall untuk membelikan satu set pakaian formal,"

Biaya hak cipta lagi 300 juta, kemenangannya di Klub malam waktu itu juga 300 juta, Belum lagi 2 milyar rupiah dari Rudi. Mereka sama sekali tidak kekurangan uang untuk saat ini.

"Bagus."

***

Keluarga Setiawan selalu menonton TV setelah makan malam, dan ketika mereka menonton saluran televisi lokal, mereka melihat berita tentang juara Olimpiade Matematika. Subjudul berita itu menyatakan bahwa seorang siswa dari SMAN 9 Surabaya berhasil memenangkan Kejuaraan Olimpiade Matematika.

Reporter sedang mewawancarai kepala sekolah yang bersangkutan.

"Ya, Yudha dari sekolah kami-lah yang berhasil menjadi juara Olimpiade Matematika Nasional."

Wajah keempat orang yang duduk di sofa itu langsung berubah jelek.

Wajah Lulu tampak muram dan jelek. Belakangan ini, dia merasa ditekan oleh keluarga miskin itu sampai-sampai dia tak bisa bernafas.

Semuanya sudah sangat menjengkelkan karena rencananya dengan Yudhi tidak berhasil. Setelah apa yang dilakukannya pada Fira dan berimbas pada bisnis pamannya, dia sedang berusaha untuk tidak mencari gara-gara. Sikap Paman Wen terhadapnya belakangan ini jauh lebih buruk.

Dan sekarang si bisu kecil itu memenangkan Olimpiade?

Tahun-tahun berlalu dengan cepat!

Wajah Rudi adalah yang paling jelek, dan dia buru-buru mengulurkan tangannya untuk mengganti salurannya, dengan perasaan campur aduk di dalam hatinya.

Tantri buru-buru berkata "Lulu juga pernah memenangkan kompetisi piano sebelumnya, dan itu tidak lebih buruk dari kompetisi Olimpiade Matematika ini, kan?"

Rudi hanya mengatakan 'um', tapi ekspresinya tidak membaik.

Tantri paham bahwa tak peduli seberapa baik Rudi memperlakukan Lulu, Lulu adalah putri orang lain.

Belum lagi Rudi tampaknya sedikit tidak puas dengan Lulu belakangan ini.

Dia berkata lagi "Aska yang akan naik ke kelas enam semester depan juga akan mendaftarkan diri untuk mengikuti Olimpiade semacam ini. Rudi, nilai Aska sangat bagus dan dia pasti akan jadi juara. Sat itu terjadi, kamu pasti merasa bangga dengannya,"

Aska berkata dengan lantang "Itu benar, Ayah. Apa hebatnya Olimpiade Matematika ini? Siswa kelas lima tidak diijinkan mendaftar. Kalau aku juga mendaftar, juara satu itu pasti akan jadi milikku.

Rudi hanya bisa tersenyum dengan sedikitenggan, dia tahu betul prestasi yang dimiliki putranya.

Saat ini, di sekolah internasional tempatnya belajar, dia hanya mendapatkan nilai sedikit diatas rata-rata. Rudi tahu bahwa Aska mungkin tidak memenuhi syarat untuk bisa terpilih dalam kompetisi papan atas seperti Olimpiade, yang mempertemukan anak-anak terbaik di seluruh negeri.

Keduanya adalah purtanya. Yang satu autis berbakat sementara yang lain hanyalah anak normal biasa.

Dia lebih memilih anak yang normal dan biasa saja, yang mungkin takkan membuatnya bangga tapi setidaknya dia tidak akan mempermalukannya dan membuatnya jadi bahan tertawaan di acara makan malam bisnis.

Bab 86 Tampan dan Juara Akademik

Larut malam itu, Lulu bertanya di ponselnya, "Apakah ini reporter dari harian Kompas?"

"Ini siapa?"

"Tak peduli siapa aku, aku akan memberikan informasi ini untuk Anda. Besok akan diadakan upacara penghargaan untuk juara Olimpiade Matematika di Balai Kota. Juara Olimpiade itu sangatlah istimewa,"

"Apa maksudmu dengan istimewa?"

"Dia adalah siswa autis, yang tidak bisa bicara, tapi bisa memenangkan Olimpiade Matematika tingkat Nasional. Ini bisa menjadi bahan berita utama Anda di koran Kompas. Anda bisa memutuskan sendiri apakah akan mewawancarainya atau tidak."

Pria itu segera mengucapkan terima kasih atas informasi yang diberikannya itu.

Lulu menelepon beberapa media berturut-turut.

Keesokan harinya, di Balai Kota Surabaya diadakan upacara penghargaan bagi juara Olimpiade Matematika tingkat Nasional.

Karena Yudha tidak suka bicara, tapi sangat berbakat, kepala sekolahnya selalu menjaga Yudha.

Yuni berterima kasih kepada sang kepala sekolah.

Ketika mereka berempat duduk di baris pertama, Yuni meraih tangan Yudha dan berbisik, "Saat kamu naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan, kamu hanya perlu mengucapkan terima kasih... hanya mengucapkan terima kasih, oke?"

Fira menghela nafas panjang "Bu, jangan memaksanya."

Sebaliknya, Fira berkata pada Yudha "Yudha, kamu tidak perlu mengatakan apa-apa, kamu hanya perlu membungkuk sedikit pada semua orang saat kamu naik untuk menerima penghargaan."

Yudha menarik tangannya, meremas jari-jarinya dan tidak mengatakan apa-apa.

Melihat ekspresi wajahnya yang tampak ketakutan, Fira tidak bisa menahan dirinya dan mengelus kepalanya "Tidak ada yang akan memaksamu untuk mengatakan apa-apa, jadi kamu tidak perlu khawatir,"

Akhirnya, tibalah giliran Yudha untuk naik ke atas panggung dan menerima penghargaan tersebut. Fira menahan tangannya "Tidak perlu bicara apa-apa, membungkuklah."

Meskipun Yudha baru berusia lima belas tahun, tapi penampilannya tampak dewasa. Apalagi, hari ini dia juga mengenakan setelan formal. Pemuda itu melangkah menuju podium di bawah tatapan semua orang. Dia tampak gagah dan tampan.

Mata Fira terasa panas, dan dia tersenyum pada pemuda itu dari tempat duduknya.

Tamu kehormatannya adalah Pak Ade Hidayat, seorang matematikawan terkenal di Indonesia. Pak Ade yang berambut abu-abu tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya "Ini adalah juara Olimpiade kami, Yudha. Dia berhasil menjadi juara pertama dalam kompetisi Olimpiade Matematika kali ini. Dia berhasil mencapai juara dengan nilai sempurna."

Pak Ade dengan sungguh-sungguh menyerahkan sertifikat dan piala kepada Yudha, dan kemudian memberi isyarat kepadanya agar memberikan pidato singkat.

Seorang pemuda yang tampak bersih berdiri di atas panggung, menghadapi cahaya yang menyilaukan. Dia tampak gugup dan tidak berdaya. Semua emosi itu menyerangnya seperti air pasang. Dia tidak biasa diperhatikan oleh begitu banyak orang. Sebenarnya, tatapan mata semua orang itu tampak ramah tapi dia melihatnya dengan cara yang berbeda. Dia merasa risih.

Dia bahkan mulai merasa agak tercekik.

Sepertinya, Yudha masih belum bisa melewati rintangan itu.

Yudha menerima piala itu dengan jari-jarinya yang ramping dan putih. Dia seolah bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang.

Fira memperhatikan kecemasan di wajah Yudha itu untuk yang pertama kalinya, dan memimpin semua hadirin dengan bertepuk tangan. Juara kedua dan ketiga di atas panggung sudah sering berpartisipasi dalam kompetisi semacam ini bersama Yudha. Melihatnya tidak mau berbicara, mereka berjalan ke arahnya. Juara kedua diraih oleh seorang gadis. Dia berdiri di hadapan mikrofon dan berkata, "Terima kasih, semua."

Lalu dia meraih tangan Yudha, dan ketiganya membungkuk kepada semua orang.

Terdengar tepuk tangan yang meriah di aula itu.

Fira menghela nafas lega. Semua teman Yudha memperhatikan dan mengurusnya dengan baik.

Yudha berjalan menuruni panggung selangkah demi selangkah diiringi tepuk tangan dan lemparan bunga.

Duduk di kamar kerjanya, Rudi merasa penasaran dan mengecek situs web sekolah anak itu. Ada siaran langsung yang sedang ditayangkan disana. Jumlah orang yang menonton tidak terlalu banyak, dan tidak ada sorotan media. Tapi ada banyak sekali komentar yang ditinggalkan disana. Semua pengunjung situs itu memuji Yudha. Pemuda itu terlihat gagah, tampan dan berprestasi. Para gadis-gadis muda melemparinya dengan banyak bunga di siaran langsung itu.


Load failed, please RETRY

Quà tặng

Quà tặng -- Nhận quà

    Tình trạng nguồn điện hàng tuần

    Đặt mua hàng loạt

    Mục lục

    Cài đặt hiển thị

    Nền

    Phông

    Kích thước

    Việc quản lý bình luận chương

    Viết đánh giá Trạng thái đọc: C42
    Không đăng được. Vui lòng thử lại
    • Chất lượng bài viết
    • Tính ổn định của các bản cập nhật
    • Phát triển câu chuyện
    • Thiết kế nhân vật
    • Bối cảnh thế giới

    Tổng điểm 0.0

    Đánh giá được đăng thành công! Đọc thêm đánh giá
    Bình chọn với Đá sức mạnh
    Rank 200+ Bảng xếp hạng PS
    Stone 0 Power Stone
    Báo cáo nội dung không phù hợp
    lỗi Mẹo

    Báo cáo hành động bất lương

    Chú thích đoạn văn

    Đăng nhập

    tip bình luận đoạn văn

    Tính năng bình luận đoạn văn hiện đã có trên Web! Di chuyển chuột qua bất kỳ đoạn nào và nhấp vào biểu tượng để thêm nhận xét của bạn.

    Ngoài ra, bạn luôn có thể tắt / bật nó trong Cài đặt.

    ĐÃ NHẬN ĐƯỢC