"Hah!" Ndari kaget telepon langsung diputuskan.
Masih menatap tak percaya ponsel yang masih di pegang beberapa menit lalu menerima panggilan. Langsung saja dilempar gawai miliknya, "Sikapnya semakin hari semakin menyebalkan!"
Ndari bangkit dari kasur empuk yang diduduki. Langkahnya mondar-mandir sembari memikirkan Miko. Cowok yang dulu menjadi alasan untuk mengagalkan bunuh diri, sekarang berubah drastis.
"Apa jagan-jangan dia selingkuh?" Ndari menegadah memutar bola mata memikirkan, "ah, sepertinya tidak mungkin."
Tangannya berusaha menepuk-nepuk kedua pipi menyadarkan. Berprasangka buruk tidaklah bagus. Ndari mengepalkan tangan tepat di atas lutut, menyakinkan diri untuk tidak berpikir aneh-aneh.
"Huffttt … aduh, kenapa hati ini semakin gelisah!"
Kepala Ndari mulai berdenyut, pening dan memilih membantingkan diri di atas kasur. Ada nyeri tepat di ulu hati, terasa sesak. Susah sekali untuk diajak bernapas, "Aduh, ada apa dengan hati ini?"
Berulang kali tangan Ndari mencoba mengelus, berharap rasa sesak bercampur nyeri itu reda. Mulutnya sampai terbuka untuk mengambil napas. Sakit hati kali ini mirip dengan penyakit asma.
"Ohhh … sesak ini ternyata, ujian dari cinta." Ndari meringkan badan ke kanan tak lama berpindah ke kiri. Mencari posisi yang nyaman agar hatinya kembali tenang. Alhasil dirinya memilih bangkit. Meraih ponsel dan mencoba menghubungi Miko kembali.
Hatinya semakin gusar saat dua kali memanggil tetapi tak mendapatkan jawaban. Perasaan tak enak mulai menghiasai ruang hati. Sekali dicoba hingga panggilan yang kelima malah dimatikan.
"Hah! Dimatikan?" Mata Ndari terbelalak. Semur-umur baru kali ini Miko mematikan panggilan darinya. Sepertinya benar, cowok itu memang selingkuh. Tangannya mengepal hebat, menarik sprai kasur dengan kuat.
"Haduh … kenapa sih, rumit begini!" teriak wanita bermata hitam itu lantang. Menjambak-jambak rambut sendiri karena kesal. Namun, lagi-lagi hati kecilnya berbisik, menyimpulkan Miko selingkuh itu hanya berdasarkan prasangkanya saja. Kebenaran belum terungkap. Bisa saja dirinya memang tengah sibuk hingga mematikan telepon.
Ndari mengapus air mata, membenarkan posisi duduk. Kembali menimang-nimang untuk apa dirinya stres sedangkan bukti nyata belum ada. Tangannya mengelus dada mendamaikan hati. Diambilnya napas dalam-dalam, di tahan sebentar kemudian diembuskan melalui mulut. Gerakan itu diulangnya sampai tiga kali.
"Baiklah, sepertinya memang harus ada bukti untuk memastikan. Jadi, tugasnya untuk mencari bukti itu!" Ndari telihat begitu antusias.
Sekarang bibirnya bisa tersenyum dan sedikit tenang. Padahal baru beberapa menit yang lalu telah seperti orang stres yang kebingungan. Dalam sekejap saja perasaan dapat berubah begitu cepat.
"Ndari!!!"
Sontak kaget tak asing dengan suara itu. Bergegas dirinya bangkit dan keluar kamar, masih dengan posisi rambut yang acak-acakan. Di ruang tamu sudah berdiri Atmaji menatapnya tajam.
"Sini kamu!"
"Aa-ayah …." Saat mendekat langkah kaki sengaja diperlambat. Malah pria berkacamata itu membentak dan membuat jantungnya hampir saja copot.
"Jangan diperlambat! Dipanggil orang tua lelet banget jalannya."
"Ayah kenapa marah-marah?" tanya Ndari lirih.
Sorot mata tajam itu langsung beralih ke meja dan Ndari terbelalak. Baju serta kue yang dirampas dari tangan ayah tadi masih ada di sana. Berserakan belum dibersihkan. Tenggorokan seperti tercekat dan meneguk saliva.
"Jelaskan pada Ayah, mengapa kamu merebutnya tadi."
"E- maksud Ayah, apa ya?" Ndari pura-pura tak tahu.
"Jangan pura-pura seolah tidak tahu! Karena kamu sudah tidak sopan mengambil barang yang Ayah bawa untuk Mitha." Matanya mendelik kesal. Napasnya saling memburu. Terdengar suara gretakan gigi yang siap untuk menerkam.
Ndari setengah menunduk sembari melirik ke sorot mata tajam itu. Tangannya mengepal mencoba untuk tidak gentar dan menjelaskan kepada ayah tentang isi hati.
"Ndari!!!" bentak Atmaji lagi.
Sekuat tenaga matanya terpejam dan langsung mendongakkan kepala. Tentu saja harus mengumpulkan keberanian untuk mengatakan isi hatinya. Ndari mengenggam tangannya kuat-kuat. Atmaji sontak kaget. Anaknya dibentak bukan malah takut malah terlihat seperti akan melawan.
Di sini mental pria berkacamata itu mulai goyah. Bingung mengamati perubahan putrinya. Seperti ingin melawan namun masih ada keraguan di dalam dirinya. Atmaji mendegus kesal. "Keputusan Ayah sudah bulat akan menikah dengan Tante Mitha, titik."
"Ayah." Mata Ndari membulat hebat, sorot tajamnya seolah mengatakan tidak terima.
"Keputusan Ayah sudah bulat, Ndari. Tolong jangan dibahas lagi." Segera membalik badan sembari mengulung lengan kemeja. Berjalan menuju kamar.
"Ayah," panggilnya berjalan membuntut, "kenapa sih, Ayah egois. Kenapa hanya memikirkan diri sendiri. Ayah!"
Masih tetap berjalan tak memerdulikan. Atmaji kini sampai di depan pintu kamar. Tangan putrinya itu mulai menarik baju yang dikenakan.
"Ayah dengerin Ndari, please … jangan egois."
Pria itu membalik dan menatap wajah putrinya dengan tatapan sadis. Seperti melihat musuh saja. Sedangkan Ndari masih menatap serius sembari berkaca-kaca. Raut sedih terpancar dari sana.
"Lepas, Ayah mau masuk."
"Ayah tunggu. Tolong dengarkan saran Ndari. Tante Mitha itu bukan wanita baik, Ayah."
"Aku lebih mengenalnya daripada kamu."
"Apa Ayah tidak bisa membedakan orang baik dengan orang jahat. Lihatlah dengan jelas, Ayah. Tolong …" lirihnya nyaris tak terdengar.
Tak lama air mata yang memenuhi peluk mata akhirnya jatuh. Ndari masih dengan wajah menahan tangis, berharap ayah dapat berubah pikiran. Kedua mata mereka berpandangan cukup lama. Namun, ekspresi Atmaji tak berubah sedikitpun.
"Sudahlah, sana masak. Tak usah campur urusan orang tua, kamu anak kecil."
Hah? Ndari terangga saat dibilang anak kecil. Sedangkan dirinya sudah tamat sekolah menegah pertama. Bagaimana mungkin bisa disebut anak kecil!
"Ayah aku bukan anak kecil. Sebagai anak pokoknya Ndari tidak setuju Ayah menikah lagi. Apalagi dengan Tante Mitha, titik."
"Meskipun kau telah beranjak dewasa tetapi di mata Ayah masih saja sama. Tak usah ikut campur."
"Oke. Sebesar apapun seorang anak tetaplah terlihat kecil di depan orang tua. Namun, untuk masalah pernikahan Ndari menantang keras agar Ayah tidak salah jalan."
"Apa katamu, salah jalan? Apa kamu pikir Ayah buta. Hah!" bentaknya marah.
Air mata kembali menitik beriringan dengan bentakan itu. Ndari menarik napas kuat-kuat dan mengembuskan kembali dengan kasar. Kedua tangannya mengepal menatap tajam ayah penuh kemarahan.
"Ayah jahat. Ayah sudah dibutakan Tante Mitha. Berapa kali harus Ndari jelaskan wanita itu tidak pantas untuk Ayah!" teriak putrinya dengan nada tak kalah tinggi.
"Siapa yang mengajarimu berteriak pada orang tua. Ayah tak pernah mengajarimu demikian."
Masih dengan napas yang memburu. Gadis bermata hitam itu mencoba menenangkan diri. Memejamkan mata dan merasa bersalah bercampur dengan kesal.
"Siapa yang mengajarimu membentak orang tua. Masih ingin membentak lagi? Jawab!" bentakya tak kalah galak.
"Berapa kali harus Ndari katakan, Tante Mitha bukan orang baik!"
"Masih berani bicara lantang kamu, ya." Atmaji geram dengan gigi-gigi yang ditekan mengeluarkan bunyi kemerutuk.
Ndari mencoba menatap wajah orang yang di hadapannya dengan sedikit mendongkak. Hal ini dilakukan untuk memberi peringatan pada Ayah. Namun, apa yang terjadi? Plakk … satu tamparan mendarat mulus di pipinya. Terasa panas dan perih bercampur pada saat yang sama.