Ndari gelagapan saat ayah bertanya tiba-tiba, bahkan tanpa mengucapkan salam dan langsung masuk. Padahal niat awal ingin mengenalkan Miko sebagai pacar tetapi hal itu malah gagal. Tiba-tiba hawa panas dingin mulai menguasai tubuhnya. Degup jatung semakin tak terkontrol, debarnya begitu kencang bercampur rasa gelisah, dan tangan bergetar.
"Saya Miko, Om." Senormal mungkin dirinya berusaha tetap tenang sembari mengulurkan tangan menyambut penuh hormat.
Atmaji masih dengan wajah tanpa ekspresi, menatap pemuda yang ada di hadapanya cukup lama. Seperti sedang mencari sesuatu dari balik tatapan misteri itu.
"Ohhh, teman Ndari?" responsnya lambat.
Merasa tak disambut Miko kembali menarik tangan yang sempat diulurkan. Garis bibirnya sedikit melengkung, menampakkan senyum untuk menutupi rasa kecewa. Sedangkan Ndari masih tetap diam tak bisa berkutik apa-apa.
Atmaji yang lelah setelah seharian di kantor langsung melangkah pergi, mengabaikan teman sekolah anaknya yang mengajak berjabat tangan. Ndari benar-benar kecewa dengan respons ayahnya.
"Maaf ya … maaf banget. Ayahku emang begitu," ucapanya mengigit bibir cemas merasa sembari melangkah mendekat.
Miko menganggukan kepala, menarik tangan kekasihnya untuk digenggam. Sorot mata cokelat bening itu seolah berkata baik-baik saja. Keduanya saling berhadapan. Mengelus lembut rambut penuh kasih sayang. Ternyata saat itu, Atmaji kembali keluar dan menatapnya sinis.
"Ehem …," tegurnya.
"Eh, ayah …." Ndari yang terkejut langsung menjaga jarak seketika keduanya merenggangkan.
Mata Atmaji masih saja tertuju pada Miko, entahlah. Sepertinya pria itu tak suka jika putrinya didekati.
"Kamu … enggak pulang? Ini sudah sore," celetuknya kalem sembari mengambil remot TV yang ada di atas meja.
"Iya, Om. Ini juga mau pulang. Saya pamit," ujarnya mencoba mendekat.
Akan tetapi belum sampai langkah kaki menuju ke sana. Atmaji sudah lebih dulu menepis tangan pemuda itu yang akan mengajaknya bersalaman.
"Oke, hati-hati."
Lagi-lagi batin Ndari merasa tak enak gara-gara sikap ayah yang ditunjukan pada kekasihnya. Sedangkan Miko sendiri mencoba menahan marah. Biasa anak muda, ketika merasa tak dihargai wajar jika emosi.
"Maafkan ayahku," lirih Ndari berbisik di telinganya.
Hanya anggukan yang ditunjukkan. Keduanya melangkahkan kaki menuju pintu. Ndari mengantarnya hingga pelataran depan. Sebelum mereka berpisah, keduanya berpandangan cukup lama.
"Jaga diri ya sayang, ingat jangan sampai kamu mencoba bunuh diri lagi."
"Iya, makasih sudah mau menyelamatkan hidupku."
"Iya, sayang. Sudah masuk sana."
Keduanya saling melambaikan tangan berpamitan. Ndari masih saja berdiri mengamati sepeda montor yang dikendarai mengecil tak lagi kelihatan. Sedangkan dari balik kaca jendela ayah mengamatinya.
Jauh dalam pikirnya juga panasaran, siapa cowok itu? Baru pertama kali ini anak perempuannya berani membawa pria ke rumah. Sepertinya bukanlah orang biasa yang dibawa. Apa jangan-jangan pacarnya?
"Ndari," panggil ayah.
Wajahnya menoleh ke sumber suara. Menatap ke balik kaca, kaget melihat ayah ada di sana. Bergegas melangkah mendekat dengan cepat. Sembari menundukan wajah layaknya murid yang takut mendapatkan hukuman dari guru.
"Kau sudah dewasa hati-hati dalam bergaul jangan membawa sembarangan orang datang ke rumah."
"Tadi itu te-"
"Iya ayah tahu itu temanmu," potongnya langsung.
Ndari kembali menundukan pandangan saat ucapannya dipotong. Ia tak ingin menjawab apa-apa lagi, takutnya nanti malah salah dan dirinya malah diomelin habis-habisan seperti kemarin.
"Ngapain masih disitu, sana masak. Ayah lapar!"
"Iya, Ayah."
"Jangan lama-lama!" perintahnya lantang.
Kalo boleh jujur, Ndari juga capek. Andai saja jadi bunuh diri, pastilah tak mungkin kembali ke rumah ini dan yang pasti tak akan memasak makanan untuk ayah. Sebenarnya bukan karena tak ingin direpoti hanya saja, tidak suka saking seringnya dibentak.
"Huffttt … sabar," keluh Ndari kesal.
Setelah selesai menganti baju Ndari menuju dapur. Sedangkan Atmaji memilih menghabiskan waktu sorenya di depan televisi melepas penat setelah seharian di depan komputer. Tak lama dirinya bangkit membersihkan diri.
"Ayah, makanannya sudah siap."
Ndari celingukan mencari sosok ayah yang tidak ada di ruang tamu. Melangkah ke depan memeriksa kamar mandi hingga taman belakang. Alangkah terkejutnya saat kembali ke ruangan makan. Di balik tudung nasi itu sudah tak tersaji apa-apa. Makan yang baru beberapa saat dibuatnya ludes.
"Lho, kok habis!" serunya panik kebingungan.
Tak habis pikir, ayahnya tega sekali tanpa meyisihkan makanan untuknya. Ndari memegang perut yang mulai terasa perih. Mungkin inilah alasan mama, mengapa dulu sering kali masak dalam porsi yang banyak. Supaya semua kebagian.
"Ya Tuhan, lapar sekali," keluhnya.
Bibir Ndari meringis menahan sakit yang tak bisa sembuh hanya dengan ditekan menunggakan tangan. Atmaji yang baru selesai menikmati makanan melihat geliat putrinya seperti kesakitan.
"Kamu kenapa? Belum makan?"
Kepalanya mengangguk sembari menahan rasa sakit. Namun, tampaknya Atmaji malah tersenyum dengan wajah mengejek. Membuat Ndari benar-benar tak mengerti maksud dari ayah. Mengapa seperti itu?
"Kamu yang salah, mengapa dari awal tidak katakan jika belum makan."
Setelah mengucap demikian, tanpa rasa bersalah pria tua itu membalik badan dan masuk ke dalam kamar. Dengan terpaksa, Ndari mengambil satu bungkus mie untuk dimasak. Ya, hanya mie instanlah sasaran yang tepat dibandingkan harus masak lagi.
"Kenapa ya, semakin hari hidup semakin sakit. Kenapa sih, Mama meninggalkan Ndari secepat ini!"
Tak terasa, cairan bening mulai menitik, satu per satu air mata memanggil air mata yang lain agar turut serta mengalir. Semuanya berubah semenjak mama tidak ada. Mengapa ayah tak memperlakukannya dengan baik?
Hidup di rumah ini malah terasa layaknya pembantu. Entah sampai kapan ayah akan sadar, sikapnya sudah sangat melukai hati anaknya. Rasanya ingin bebas, hidup lebih baik dan normal seperti anak-anak lain.
Ndari mencoba mengusap air mata, mencoba berdiri tegak dan meyakinkan diri sendiri. Tangannya mengepal memberi diri kekuatan. Di depan semangkuk mie ia berusaha tegar, mencoba melebarkan senyuman walapun sulit dilakukan.
"Enggak papa. Kita harus kuat, lagian ini hanya masalah kecil kok!" serunya menyemangati diri sendiri.
Setelah menyelesaikan makan, Ndari kembali menuju kamar. Mengambil ponsel dan membalas pesan dari Miko. Sepertinya memang hanya dialah satu-satunya orang yang sangat memahami keadaannya saat ini.
Tuhan telah mengirimkan Miko untuk menemani hidup di dunia setelah kehilangan mama. Sebenarnya Ndari sendiri juga bingung mengapa ayah berubah sejak mama meninggal. Mengapa sifatnya menjadi pemarah.
"Andaikan Mama itu tahu. Ndari pengen banget ketemu sama Mama. Ayah berubah, Ma. Menjadi jahat … entah kenapa." Tangan mencoba meraih foto mama dan dirinya sewaktu masih balita. Sembari sesekali mengusap air mata yang menitik di area pipi. Ia juga menceritakan semua rasa sakit yang dipendam selama ini. Perihal perilaku ayah yang sering marah, telat pulang, dan lain-lain. Rasanya Ndari ini segera pergi dari dunia. Mencari kehidupan yang lebih tenang dan mendamaikan hati.
"Ma … Ndari boleh enggak ikut Mama?" lirihnya disela-sela isak tangis.