Irene mengaduk minuman yang ia pesan sambil menatap hampa kearah jendela cafe. Keputusannya sudah tepat kan? Ia tidak berlebihan kan? Jujur ia sebenarnya tidak mau meninggalkan Suryo, tapi batas kesabarannya sudah habis. Anak-anaknya juga sudah besar, mereka pasti memahami posisinya saat ini. Tidak ada yang akan terluka karena perpisahan ini. Tidak ada alasan untuk terus bertahan, biarlah Suryo intropeksi diri.
"Mama udah pikirin ini mateng-mateng? Keputusan Mama bukan karena emosi sesaat kan?". Tanya Helena yang dengan setia menemani Mamanya sejak tigapuluh menit yang lalu. Wanita itu jadi orang pertama yang mengetahui rencana perpisahan Mama dan Papanya.
"Keputusan Mama udah final, Len. Mama kasihan sama Anak-anak. Papa kamu tuh egois banget, gak pernah dengerin pendapat kita. Buat apa Mama terus dampingin Papa kamu kalau gak dianggap? Dan puncaknya soal Unaya yang dijadiin jaminan hutang. Udah gila orang itu". Ujar Irene emosional. Helena menggenggam tangan Mamanya lembut. Wanita itu tidak melarang kok kalau Mamanya mau cerai, toh kebahagiaan Irene yang utama baginya.
"Helen dukung semua keputusan Mama. Yang paling penting Mama jangan banyak pikiran, Helen gak mau Mama sakit. Terus rencana Mama kedepannya gimana? Mama udah cerita sama Una soal ini?". Irene tersenyum kecil kearah Helena. Putrinya memang yang paling bisa membuatnya tenang. Beginilah sifat asli Helena, wanita itu lembut dan pengertian. Tidak seperti Helena yang dulu, seperti monster.
"Mama mau balik ke Jakarta, mau urus perceraian. Soal Una nanti Mama coba hubungi dia. Gak apa-apa kan ya Len Mama cerita semuanya ke dia? Kalau dia benci sama Papanya gimana?". Jujur Irene ragu hendak menceritakan kebusukan Suryo pada Unaya. Ia tidak mau membuat hubungan ayah dan anak itu renggang. Tapi kalau tidak diceritakan, Suryo akan semakin nekat dan tanpa ragu memanfaatkan Unaya terus menerus.
"Ma, Una perlu tahu bahkan Jeni. Gak mungkin juga Una benci sama Papa. Ini masalah serius Ma, kasihan Una". Sahut Helena. Jujur Helena pun tidak menyangka kalau Suryo bisa setega itu demi uang. Ia mengelus perutnya yang membuncit, apa dunia bisnis sekejam itu? Semoga anaknya tidak menjadi korban kekejaman dunia bisnis.
"Mama juga mikir gitu, Len. Ya nanti Mama coba pikirkan kata-kata yang pas buat ceritain masalah ini ke Unaya". Kata Irene kemudian. Ya, ia harus jujur pada Unaya. Entah bagaimana reaksinya nanti, yang jelas Unaya perlu tahu karena gadis itu terlibat.
***
Para gadis kelompok satu berdiam diri di kamar karena kegiatan hari ini sudah selesai. Sekarang jam menunjukan pukul delapan malam. Udara di puncak begitu dingin, tapi rasanya lebih damai tidak seperti di kota yang sumpek. Sedari tadi Zara ngoceh panjang lebar dan curcol soal Jeka. Unaya baru tahu kalau Zara dulu pernah ditolak mentah-mentah oleh Jeka. Gadis itu kadang terbahak karena ekspresi yang ditunjukan Zara. Sementara itu Jihan si anak rajin sedang membaca buku dengan telinga disumpal earphone. Bebi si gadis tomboy sedang asyik dengan samsak tinjunya.
"Lo kan udah punya Angga, mau dikemanain tuh anak?". Tanya Unaya sambil geleng-geleng kepala.
"Gue tuh udah putus sama Angga selama tiga hari kedepan Kak. Buat lo juga boleh, gratis deh". Sahut Zara enteng.
"Hah?". Unaya kaget dong, ada gitu putus tiga hari. Dasar bocah!
"Ya begitulah. Ah.. udah lupain soal Angga. Menurut Kakak kalau gue PDKT ke Kak Jeka lagi, apa dia bakal luluh? Secara gue udah banyak berubah kan Kak?". Tanya Zara sambil berpose imut didepan Unaya.
Unaya menatap Zara lamat-lamat, gadis itu cantik dan manis. Anaknya ceria dan bawel, vitamin banget deh. Jeka suka nggak sih sama yang begitu?
"Lo cantik kok Zara. Tapi selera Jeka itu yang... eummmm...". Unaya berfikir sejenak, mengira-ngira tipe cewek idaman Jeka.
"Pinter, cantik, tinggi, langsing, lembut...". Lanjutnya yang justru menyebutkan ciri-ciri Juwi. Kalau dilihat dari kepribadian Jeka, pemuda itu lebih serasi jika disandingkan dengan Juwi kan? Entah kenapa justru ialah yang dipilih oleh Jeka.
"Yaaahhhhh... nyerah deh gue Kak. Gue gak pinter, gak tinggi juga, lemak dimana-mana, cuma kalau muka masih lumayan lah hehe". Kata Zara cengengesan.
"Jangan gitu, lo cantik dan sempurna dimata orang yang tepat kok. Angga contohnya". Ujar Unaya menghibur. Benar kan? Kita semua menarik dimata orang yang tepat. Contohnya Jeka yang menatap Unaya dengan begitu mendamba padahal ada Juwi yang lebih sempurna. Namanya juga sudah cinta, bagaimana pun keadaan orang yang dicintai akan selalu terlihat sempurna.
Saat sedang asyik ngobrol dengan Zara, ponsel Unaya berbunyi. Nama Mama Irene tertera disana, Unaya buru-buru mengangkatnya.
"Ra, gue angkat telepon dulu ya". Pamit Unaya kemudian bergegas ke kamar mandi. Kamar mandinya ada di dalam kamar, tempat itu yang paling privasi untuk mengangkat telepon.
"Halo, Mama apa kabar?". Sapa Unaya.
"Halo sayang, alhamdulilah kabar Mama baik. Kamu gimana? Lagi ngapain?". Tanya Irene balik. Basa-basi dulu enggak apa-apa lah, nanti baru ke inti.
"Una baik-baik aja Ma, ini lagi ada acara kampus gitu".
"Aduh, Mama ganggu ya sayang. Ya udah besok Mama tutup teleponnya ya? Besok Mama telepon lagi". Kata Irene panik. Ia jadi tidak enak karena mengganggu kegiatan Unaya.
"Gak apa-apa Ma, ini acaranya udah selesai kok. Lanjut besok pagi. Eummm... Papa apa kabar Ma?". Tanya Unaya agak ragu. Masalahnya akhir-akhir ini ia sengaja menghindari Papanya. Ada jeda beberapa detik hingga menyebabkan sunyi, Unaya kira panggilan mereka terputus. Tapi setelah dicek masih tersambung.
"Ma? Ada masalah ya?". Tanya Unaya sekali lagi. Terdengar suara isakan Irene diujung sana.
"Mama kenapa nangis? Beneran ada masalah ya? Gara-gara Unaya ya?". Tanya Unaya bertubi-tubi. Gadis itu khawatir jika sesuatu yang buruk terjadi pada mama dan papanya, apalagi kalau hal buruk itu disebabkan oleh Guan.
"Unaya maafkan Mama, Mama harus ceritakan semua ini sama kamu...". Dan mengalirlah cerita Irene, tentang Suryo yang menjadikannya jaminan hutang pada Guan. Unaya jelas shock dan sedih, gadis itu tidak menyangka jika papanya begitu tega. Pantas saja Guan kerap mengaturnya ini-itu, ia dituntut agar menurut. Ternyata karena ia sudah dibeli, dengan uang.
Setelah mengobrol panjang lebar dengan Irene, gadis itu keluar dari kamar mandi dengan berderai air mata. Unaya berlari keluar dari kamar tanpa mengatakan apapun. Jihan, Zara, dan Bebi yang melihatnya saling pandang.
"Kak Unaya kenapa?". Tanya Zara panik. Bebi dan Jihan kompak menggedikan bahu mereka karena memang tidak tahu.
Tujuan Unaya saat ini adalah danau yang letaknya di belakang Villa. Tempat itu sepi jadi tidak akan ada yang melihatnya menangis. Unaya terduduk dibawah rumput sambil memendamkan wajahnya dilipatan tangan. Gadis itu meraung, tidak ragu untuk berteriak karena suaranya teredam lengannya. Teringatlah sedikit obrolannya dengan Irene tadi.
"Terus konsekuensi yang bakal diterima Papa apa Ma? Perjanjian itu pasti udah ada didalam kontrak kan?".
"Mungkin Papamu hanya diminta untuk bayar denda atau mungkin bisa juga dituntut atas dasar penipuan".
"Tapi Mas Guan gak mungkin mau nyelesaiin masalah semudah itu. Masih mending kalau cuma bayar denda, kalau Papa dipenjara gimana?". Ujar Unaya sambil menangis sesenggukan. Meski ia kecewa karena tindakan Papanya, tapi ia tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkan Papanya. Seburuk apapun papanya, lelaki itu tetaplah ayah kandungnya. Didalam darahnya mengalir darah lelaki itu.
"Ya Tuhan kenapa cobaan aku berat banget? Dikeluarin dari agensi, komentar buruk, dan sekarang soal Papa. Besok apalagi?". Keluh Unaya. Katanya Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan umatnya? Tapi ini Unaya merasa udah gak sanggup.
Juwi yang baru saja mengecek keadaan Villa memicingkan mata karena tak sengaja melihat seseorang yang duduk sendirian di dekat danau. Tadinya gadis itu mau menegur dan meminta orang itu untuk kembali ke kamar, namun tidak jadi karena ternyata orangnya adalah Unaya. Ditambah Unaya sedang menangis, Juwi tentu khawatir jika gadis itu kenapa-napa.
"Unaya? Ada masalah?". Unaya langsung menghapus air matanya kasar begitu melihat sosok Juwi. Ia tidak mau terlihat lemah dihadapan gadis itu.
"Gue gak apa-apa kok, masuk aja sana". Sahut Unaya judes tanpa mau menatap kearah Juwi. Bukannya pergi seperti perintah Unaya, Juwi justru duduk disamping gadis itu.
"Aku duduk disini ya?". Ijin gadis cantik itu. Unaya hanya berdehem tanpa mau repot mengeluarkan suara.
"Jeka lagi rapat sama panitia, nanti kalau udah selesai aku bakal suruh dia buat nemenin kamu". Kata Juwi tidak jelas. Unaya menatap Juwi dengan bingung.
"Gak perlu! Emang lo gak cemburu kalau Jeka deket-deket sama gue terus?". Juwi agak kaget karena Unaya berteriak padanya namun sedetik kemudian gadis itu tertawa.
"Kok aku cemburu? Aku gak ada hubungan apa-apa sama Jeka, selama ini kamu salah paham Unaya". Kata Juwi menjelaskan, gadis itu menyentuh tangan Unaya.
"Aku tahu kok kalau kamu bukan saudara kembar Jeka, aku juga tahu kalau kalian saling cinta. Lanjutkan!". Lanjut Juwi sembari mengacungkan jempolnya. Unaya bengong, gadis itu masih mencerna perkataan Juwi. Berarti selama ini ia salah membenci seseorang dong?
"Jadi lo gak ada rasa ke Jeka, Jeka juga gak ada rasa ke lo?". Tanya Unaya karena butuh kejelasan.
"Ya ampun Unaya, Jeka itu bukan tipe aku kali...". Juwi mengibaskan tangannya.
"Dia ngerokok, bad boy, berantakan... gak like. Ya meski aku akuin dia pinter sih. Dijamin dia gak ada rasa sama aku". Kata Juwi meyakinkan. Unaya menghembuskan nafas lega, akhirnya kesalahpahaman ini terurai. Unaya menggenggam tangan Juwi, merasa bersalah sekali karena telah membenci gadis itu karena cemburu.
"Maafin gue ya Wi, gue udah bersikap buruk ke lo selama ini. Padahal lo baik banget".
"Santai aja Unaya. Aku seneng kalau kamu udah gak salah paham lagi. Jangan marah-marah gak jelas ke Jeka ya, kasihan tuh dia stress dan gak fokus kalau kamu lagi ngambek. Aku yang repot karena gantiin dia". Canda Juwi. Unaya mengangguk dengan antusias, tidak ada alasan untuk marah-marah ke Jeka lagi kalau masalah yang ini sudah Clear.
"Kamu lagi ada masalah ya?". Juwi yang kembali melihat wajah sendu Unaya pun memberanikan diri untuk bertanya. Juwi tidak bisa meninggalkan Unaya sendirian, kalau gadis itu nekat lompat ke danau gimana? Bukannya lebay atau su'udzon, hanya saja saat ini Unaya terlihat begitu kalut.
"Rumit banget masalah gue, kayak sinetron. Lo pasti bakal muak dengernya". Sahut Unaya sambil tersenyum kecut.
"It's oke, setahu aku sinetron kadang diadaptasi dari kisah nyata. Toh kita manusia adalah aktor yang memerankan drama garapan Tuhan di dunia". Unaya menarik nafas panjang sebelum mulai bercerita.
"Gue baru aja ninggalin tunangan gue demi Jeka. Papanya tunangan gue ini punya perusahaan dan kerja sama dengan perusahaan Papa gue. Dan yang lebih parahnya lagi, gue dijadiin jaminan hutang...". Juwi mengelus pundak Unaya untuk menguatkan gadis itu.
"Gue gak tahu kalau bakal jadi kayak gini. Papa gue diancem sama mantan tunangan gue itu, gue takut Papa gue kenapa-napa". Isak Unaya.
"Kalau boleh tahu nama perusahaannya apa?". Tanya Juwi hati-hati.
"Guan corp". Juwi terdiam begitu mendengar jawaban Unaya. Beberapa detik hening, gadis itu menarik Unaya agar berdiri.
"Everything will be oke, Na. Percaya sama Juwi. Kita susul Jeka yuk". Ajak Juwi yang tanpa pikir panjang langsung menggandeng Unaya.
--Ex-Bangsat Boys--
Jeka sedang merapatkan soal kegiatan besok dengan pada anggotanya. Setiap anggota diminta untuk memberikan ide kegiatan yang menyenangkan. Pemuda itu agak kesal lantaran Juwi si wakil ketua justru menghilang ditengah rapat. Padahal tadi cuma pamit mau ngecek keadaan vila, tapi ditunggu gak dateng-dateng.
"Si Juwi mana sih? Cariin sono!". Perintah Jeka untuk yang kesekian kalinya namun sama sekali tidak digubris Victor. Pemuda itu malah asyik tik-tokan, berpose sok ganteng sambil cengar-cengir.
"Ciyeeeee... kangen. Cari sendirilah". Sahut Victor kurang ajar.
"Setan!". Umpat Jeka emosi sekali. Pemuda itu memijit pelipisnya, pusing plus ngantuk. Belum sempat istirahat setelah perjalan jauh. Ditambah punya anggota gak ada yang bener, gak guna!
Ditengah kelelahan Jeka, datanglah Juwi bersama Unaya. Sontak saja mata Jeka yang tadinya tinggal lima watt kini terbuka lebar. Unaya dengan canggungnya menyapa panitia ospek, untung saja mereka tidak keberatan jika gadis itu ikut gabung. Kan tahunya Unaya kembaran Jeka, jadi aman.
"Sorry, aku tadi nemenin belahan jiwa kamu yang lagi galau. Aku aja yang lanjutin mimpin rapat, kamu hibur Unaya aja". Bisik Juwi. Juwi mendorong-dorong Unaya agar mendekat pada Jeka kemudian mulai memberikan instruksi pada anggota yang lain.
"Rapat akan saya pimpin, Bos Jeka lagi ada masalah keluarga soalnya. Abaikan dia, jadi gimana kelanjutannya...". Jeka terkekeh melihat tingkah Juwi, baguslah gadis itu peka juga kalau Jeka butuh recharge.
"Sini-sini, berdiri aja sih". Jeka menarik tangan Unaya hingga membuat gadis itu duduk dipangkuannya. Unaya langsung menyender dengan manja, belum cerita sama Jeka karena tidak mau menambah beban pikiran.
"Capek hati, capek pikiran". Keluh Unaya.
"Kenapa lho? Kata Juwi kamu lagi galau, galau kenapa sih? Heum?". Unaya langsung geleng-geleng kepala. Jeka tidak perlu tahu, pemuda itu sudah banyak berjuang. Biar sisanya ia yang urus.
"Gak apa-apa lagi badmood aja, mau mens kali ya". Kata Unaya.
"Haiiiii.... guysssss... selamat datang di live instagram panitia ospek kampus Big Hit. Kita lagi rapat cihuyyyy...". Sapa Victor dan Jimi yang tengah melakukan live instagram. Penontonnya langsung bejibun karena tahu Una Frozen kuliah dikampus itu. Belum lagi sosok ketua ospeknya yang mendadak viral karena ganteng.
"Emang beneran ya Una Frozen kuliah dikampus Big Hit?". Jimi membaca komentar yang cepet banget naiknya.
"Ya beneran lah. Kampus Big Hit tuh isinya anak-anak kece, makannya tahun depan daftar ya". Kata Victor.
"Mau nanya dong, Kak Jeka kalau kentut bau gak?".
"Hahaha. Ini rahasia ya, dia mah kalau kentut bukan bau lagi. Tapi busuk kek sampah". Jimi dan Victor cekikikan. Dua pemuda itu malah membuka aib Jeka, yang nonton live instagram pun terhibur.
"Bentar deh kenapa kalian pada nanyain Jeka mulu, tanyain gue kek apa Jimi". Protes Victor. Yang live siapa yang ditanyain siapa, sakit tapi tidak berdarah.
"GAK MAU KAK VICTOR PAWANGNYA GALAK. UDAH PEYOT KARENA BERANAK SATU".
"Buahahhahaha". Jimi tidak bisa menahan tawanya. Victor yang dihina pun tidak terima, ia belum peyot kok masih kuat.
"Gue enggak peyot ya, nih liat gue bisa break dance". Dan akhirnya Victor menari dengan konyol, tanpa sadar Jimi mengarahkan kameranya tepat dimana Unaya dan Jeka lagi pangku-pangkuan. Kelar sudah!
"Loh itu bukannya Una Frozen? Sama siapa?...".
"Anjir itu Kak Jeka kan?".
"Mereka pacaran?".
"Bukanya mereka saudara kembar? Pliss Kak Jimi jawab!".
"Jijik banget kelakuannya! Gak ada moral!".
"Bener-bener nih si Una Frozen! Jadi selama ini kita ditipu? Mereka bukan saudara kembar?!".
"Boikot Una Frozen!".
"Kenapa cuma Una Frozen aja yang diboikot?! Jeka juga dong! Suruh mundur dari jabatannya!".
Jimi meneguk ludahnya susah payah begitu membaca komentar dari para netizen. Kok bisa sih dia gak nyadar kalau Una dan Jeka ada disini? Victor yang melihat gelagat aneh dari Jimi pun mendekat.
"Kenapa sih Jim? Cinta satu malam lo minta tanggung jawab?". Tanya Victor sembrono.
"Nih baca aja". Jimi memberikan ponselnya pada Victor. Victor langsung membaca komentar-komentar jahat dari netizen yang menonton live mereka. Pemuda itu menatap Jeka dan Unaya yang tengah mesra-mesraan.
"Kok lo gak bilang sih Sat kalau ada mereka?". Umpat Victor lirih setelah mematikan live instagram.
"Mana gue tahu, Sat! Terus ini gimana?".
"Diem aja, diem! Kita gak tahu apa-apa". Ujar Victor sembari menutup kepalanya dengan tudung hoodie kemudian kabur.
--Ex-Bangsat Boys--